02 December 2016

Hati Orang, Siapa yang Tahu?

via republika.co.id
Hanya mau mencatat saja kalau hari ini (2/12) ada aksi super damai di kawasan Monas, Jakarta. Bentuk aksi tersebut adalah salat Jumat bersama. Dari sejumlah informasi yang beredar di lewat online (awas HOAX!) jumlah peserta bisa mencapai 2 hingga 3 juta orang.

Jelas, ini peristiwa luar biasa. Hampir semua media meliput, termasuk media-media internasional. Beberapa kedutaan juga bereaksi dengan meningkatkan keamanan.

Bagaimanapun, sebagai pemuda pengangguran di sebuah kota kecil, saya merasa perlu untuk mencatat beberapa hal.

Istilah Aksi

Ketua GNPF MUI Habib Rizieq dalam siaran pers Jumat (25/11) lalu mengatakan bahwa ini adalah aksi super damai. Beberapa media turut menyebut aksi ini juga dengan istilah “aksi super damai,” ada juga yang menyebutnya “aksi damai” saja.

Presiden Jokowi menyebutnya berbeda. "Kan gak ada demo, siapa bilang akan ada demo. Yang ada doa bersama, bukan demo ya," tegasnya di depan para awak media.

Setahu saya, hanya Kompas TV yang turut menyebut aksi 212 ini (istilah apa lagi ini) dengan “doa bersama.” Barangkali ada media lain yang menyebut serupa, mohon dikoreksi.

Ada yang bilang aksi Bela Islam III. Aksi 212. Tampaknya kalau ini mau dijadikan sejarah, memang perlu ada penyeragaman ya. Atau nggak perlu? Kayaknya generasi ini udah jengah sih dengan penyeragaman, tapi enggak tahan juga dengan keberagaman. Ah sudahlah.

Salkus

Seperti biasa, selalu ada yang bikin salkus alias salah fokus. Pertama, tentu saja, payung biru yang digunakan Jokowi dan rombongannya untuk melindungi diri dari rintik hujan yang menemani untaian doa.

Oh ya, dengar-dengar sudah ada open order. Payung warna biru di luar, abu-abu di dalam. Serius? Setelah jaket bomber? Yeah, ini serius.

Kedua, bapak polisi ganteng yang bagi-bagi air mineral. Dilihat-lihat emang ganteng sih, beliau putih dan bersih gitu. Namun saya belum tertarik, sejauh ini saya masih terangsang kalau lihat perempuan saja.

Ketiga, keempat, kelima, keenam, silakan tambahi sendiri.

Kalau ada salah fokus, lantas fokusnya apa? Sekadar mengingatkan saja, Habib Rizieq menuturkan, "Target kami adalah tetap saudara Basuki Tjahaja Purnama ditahan."

Dengan cara gelar sajadah, salat Jumat bersama, berdoa dan menyebut kebesaran nama Sang Pencipta, dengan tujuan hukum yang spesifik: Ahok ditahan.

Tentu saja, aksi super damai ini tak hanya berisi doa bersama seperti yang dibilang Presiden Jokowi. Bagaimanapun, ini adalah bagian dari unjuk rasa, lengkap dengan yel-yelnya: “Tangkap tangkap tangkap si Ahok. Tangkap si Ahok sekarang juga!”

Tangkap.. hap! Oh. Bukan.. itu bang Ipul.

Pidato Kapolri

Nah, ini yang menarik. Media banyak mengabarkan soal pidato Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang diinterupsi. Namun bagi saya, dan tentu buanyak orang lain, ada yang lebih menarik: cara bapak ini menyinggung KPK.

Beliau mengatakan dalam pidatonya, “Apa yang kami lakukan sudah cukup maksimal. Kenapa? Karena bayangkan, beberapa kali juga [Ahok] diperiksa KPK tidak bisa jadi tersangka. Tapi, setelah ditangani oleh Polri, bisa menjadi tersangka."

Tentu Anda bisa menebak kata-kata apa yang dipekikkan bersama-sama dengan lantang oleh para peserta. Saya nggak mau nyebut. Saya Katolik. Berrisiko dibui, bung, saya belum kawin pula.

Em.. entah apa yang ada di pikiran bapak ini. Belakangan beliau dipuji dan diapresiasi karena berhasil mencapai kesepakatan yang sangat baik dengan GNPF MUI. Namun saya pantau di media sosial, banyak pihak kecewa dengan pernyataan yang satu ini. Seakan gendang perang dengan KPK ditabuh kembali.... kan ngeri.

Kebersamaan

Ini yang luar biasa. Banyak masyarakat turun tangan menyumbang apapun yang mereka bisa. Mulai dari memasak, membagikan bekal nasi atau roti kepada para peserta. Tak lupa konsumsi air putih yang tentu saja sangat dibutuhkan. Bahkan panitia aksi juga menyediakan colokan listrik bagi peserta yang butuh mengisi ulang daya baterai ponselnya. Sumber listriknya? Sumbangan pribadi. Keren kan?

Terus juga ada cerita para santri yang berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta. Mereka berjalan bersama rombongan dan dikawal patroli macam-macam. Ini tidak main-main, bung. Berdasarkan pencarian di Google Maps (lihat gambar di bawah), jarak tempuh mereka bisa mencapai 270 kilometer.




Ada juga momen kebersamaan (dan tanggung jawab) yang tak kalah keren, yaitu bersih-bersih sampah. Baik di jalur pendakian maupun di jalanan metropolitan, hukumnya selalu sama: di mana ada manusia, di situ ada sampah. Ya, kadang ini agak lebay. Tapi memang betul ‘kan? Buktinya ada banyak sampah yang dipunguti bersama-sama. Ini contoh yang baik dalam unjuk rasa. Serius. Komitmen ini patut sekali dicontoh.

Jelas, kebersamaan muncul dan terlihat. Apapun konteks dan tujuannya, apapun cara dan modus-modusnya, nyatanya kebersamaan itu terlihat. Aksi ini nyatanya mengundang banyak pihak untuk turut terlibat. Bukan hanya di Jakarta, aksi serupa dikabarkan juga ada di daerah lain, bahkan di luar negeri.

Bagaimanapun, tetap ada sekelompok orang yang resisten. Mereka tak terpengaruh. Kendati biasa ikut unjuk rasa, mereka tetap fokus pada perjuangan mereka. Siapakah? Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) salah satunya.

Organisasi ini fokus pada isu buruh, yaitu pengupahan. Dalam setiap aksinya, isu tersebut selalu menjadi agenda tuntutan kepada pemerintah. Isu politik, eh, agama seperti ini, menurut mereka, tidak terkait dengan tuntutan yang mereka perjuangkan.

“Kami memandang aksi 2 Desember sudah bergeser ke isu politik dan soal ras, di mana banyak pihak yang terindikasi sudah sengaja ‘menggoreng’ isu aksi tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya,” tutur Ketua KSPN Rustadi sebagaimana dikutip wartawan Tempo.

Barangkali ini memang kuncinya: memandang.

KSPN memandang isu penistaan ini bergeser ke isu politik dan soal ras. Kelompok lain melihat ini murni isu politik yang diserang menggunakan isu agama dan ras.

Sedangkan kelompok lainnya lagi, saya sendiri tak pernah tahu seberapa banyak, memandang ini murni isu penistaan agama. Nggak ada lah itu kaitan dengan politik dan ketakutan terhadap dominasi ras tertentu.

Soal kelompok yang terakhir, rasanya ini yang paling banyak. Setidaknya, banyak sekali nih di teman-teman di media sosial bilang “tergetar hatiku” atau “merinding” melihat jemaat salat Jumat bersama dalam jumlah yang sebanyak itu. Diguyur hujan pula.

Singkatnya, para peserta aksi Bela Islam III itu berangkat dari panasnya penistaan agama. Disejukkan oleh kebersamaan dan untaian doa. Lantas dibakar kebencian lewat kata-kata “Tangkap Ahok!”

Tentu orang boleh memandang dan berkata macam-macam soal aksi ini. Tapi, hati orang, siapa yang tahu? (*)


Desember di Jogja,
sembari menanti Natal

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain