Hanya mau mencatat saja kalau hari ini (2/12) ada aksi super damai di
kawasan Monas, Jakarta. Bentuk aksi tersebut adalah salat Jumat bersama. Dari sejumlah
informasi yang beredar di lewat online (awas HOAX!) jumlah peserta bisa
mencapai 2 hingga 3 juta orang.
Jelas, ini peristiwa luar biasa. Hampir semua media meliput, termasuk
media-media internasional. Beberapa kedutaan juga bereaksi dengan meningkatkan
keamanan.
Bagaimanapun, sebagai pemuda pengangguran di sebuah kota kecil, saya
merasa perlu untuk mencatat beberapa hal.
Istilah Aksi
Ketua GNPF MUI Habib Rizieq dalam siaran pers Jumat (25/11) lalu
mengatakan bahwa ini adalah aksi super damai. Beberapa media turut menyebut
aksi ini juga dengan istilah “aksi super damai,” ada juga yang menyebutnya “aksi
damai” saja.
Presiden Jokowi menyebutnya berbeda. "Kan gak ada demo, siapa
bilang akan ada demo. Yang ada doa bersama, bukan demo ya," tegasnya di
depan para awak media.
Setahu saya, hanya Kompas TV yang turut menyebut aksi 212 ini (istilah
apa lagi ini) dengan “doa bersama.” Barangkali ada media lain yang menyebut
serupa, mohon dikoreksi.
Ada yang bilang aksi Bela Islam III. Aksi 212. Tampaknya kalau ini mau
dijadikan sejarah, memang perlu ada penyeragaman ya. Atau nggak perlu? Kayaknya
generasi ini udah jengah sih dengan penyeragaman, tapi enggak tahan juga dengan
keberagaman. Ah sudahlah.
Salkus
Seperti biasa, selalu ada yang bikin salkus alias salah fokus. Pertama,
tentu saja, payung biru yang digunakan Jokowi dan rombongannya untuk melindungi
diri dari rintik hujan yang menemani untaian doa.
Oh ya, dengar-dengar sudah ada open order. Payung warna biru di luar,
abu-abu di dalam. Serius? Setelah jaket bomber? Yeah, ini serius.
Kedua, bapak polisi ganteng yang bagi-bagi air mineral. Dilihat-lihat
emang ganteng sih, beliau putih dan bersih gitu. Namun saya belum tertarik,
sejauh ini saya masih terangsang kalau lihat perempuan saja.
Ketiga, keempat, kelima, keenam, silakan tambahi sendiri.
Kalau ada salah fokus, lantas fokusnya apa? Sekadar mengingatkan saja,
Habib Rizieq menuturkan, "Target kami adalah tetap saudara Basuki Tjahaja
Purnama ditahan."
Dengan cara gelar sajadah, salat Jumat bersama, berdoa dan menyebut
kebesaran nama Sang Pencipta, dengan tujuan hukum yang spesifik: Ahok ditahan.
Tentu saja, aksi super damai ini tak hanya berisi doa bersama seperti
yang dibilang Presiden Jokowi. Bagaimanapun, ini adalah bagian dari unjuk rasa,
lengkap dengan yel-yelnya: “Tangkap tangkap tangkap si Ahok. Tangkap si Ahok
sekarang juga!”
Tangkap.. hap! Oh. Bukan.. itu bang Ipul.
Pidato Kapolri
Nah, ini yang menarik. Media banyak mengabarkan soal pidato Kapolri
Jenderal Tito Karnavian yang diinterupsi. Namun bagi saya, dan tentu buanyak
orang lain, ada yang lebih menarik: cara bapak ini menyinggung KPK.
Beliau mengatakan dalam pidatonya, “Apa yang kami lakukan sudah cukup maksimal. Kenapa?
Karena bayangkan, beberapa kali juga [Ahok] diperiksa KPK tidak bisa jadi
tersangka. Tapi, setelah ditangani oleh Polri, bisa menjadi tersangka."
Tentu Anda bisa menebak kata-kata apa yang dipekikkan bersama-sama
dengan lantang oleh para peserta. Saya nggak mau nyebut. Saya Katolik.
Berrisiko dibui, bung, saya belum kawin pula.
Em.. entah apa yang ada di pikiran bapak ini. Belakangan beliau dipuji
dan diapresiasi karena berhasil mencapai kesepakatan yang sangat baik dengan
GNPF MUI. Namun saya pantau di media sosial, banyak pihak kecewa dengan
pernyataan yang satu ini. Seakan gendang perang dengan KPK ditabuh kembali....
kan ngeri.
Kebersamaan
Ini yang luar biasa. Banyak masyarakat turun tangan menyumbang apapun
yang mereka bisa. Mulai dari memasak, membagikan bekal nasi atau roti kepada
para peserta. Tak lupa konsumsi air putih yang tentu saja sangat dibutuhkan. Bahkan
panitia aksi juga menyediakan colokan listrik bagi peserta yang butuh mengisi
ulang daya baterai ponselnya. Sumber listriknya? Sumbangan pribadi. Keren kan?
Terus juga ada cerita para santri yang berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta.
Mereka berjalan bersama rombongan dan dikawal patroli macam-macam. Ini tidak
main-main, bung. Berdasarkan pencarian di Google Maps (lihat gambar di bawah),
jarak tempuh mereka bisa mencapai 270 kilometer.
Ada juga momen kebersamaan (dan tanggung jawab) yang tak kalah keren,
yaitu bersih-bersih sampah. Baik di jalur pendakian maupun di jalanan
metropolitan, hukumnya selalu sama: di
mana ada manusia, di situ ada sampah. Ya, kadang ini agak lebay. Tapi memang
betul ‘kan? Buktinya ada banyak sampah yang dipunguti bersama-sama. Ini contoh
yang baik dalam unjuk rasa. Serius. Komitmen ini patut sekali dicontoh.
Jelas, kebersamaan muncul dan terlihat. Apapun konteks dan tujuannya,
apapun cara dan modus-modusnya, nyatanya kebersamaan itu terlihat. Aksi ini
nyatanya mengundang banyak pihak untuk turut terlibat. Bukan hanya di Jakarta,
aksi serupa dikabarkan juga ada di daerah lain, bahkan di luar negeri.
Bagaimanapun, tetap ada sekelompok orang yang resisten. Mereka tak
terpengaruh. Kendati biasa ikut unjuk rasa, mereka tetap fokus pada perjuangan
mereka. Siapakah? Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) salah satunya.
Organisasi ini fokus pada isu buruh, yaitu pengupahan. Dalam setiap
aksinya, isu tersebut selalu menjadi agenda tuntutan kepada pemerintah. Isu
politik, eh, agama seperti ini, menurut mereka, tidak terkait dengan tuntutan
yang mereka perjuangkan.
“Kami memandang aksi 2 Desember sudah bergeser ke isu politik dan soal
ras, di mana banyak pihak yang terindikasi sudah sengaja ‘menggoreng’ isu aksi
tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya,” tutur Ketua KSPN Rustadi
sebagaimana dikutip wartawan Tempo.
Barangkali ini memang kuncinya:
memandang.
KSPN memandang isu penistaan ini bergeser ke isu politik dan soal ras.
Kelompok lain melihat ini murni isu politik yang diserang menggunakan isu agama
dan ras.
Sedangkan kelompok lainnya lagi, saya sendiri tak pernah tahu seberapa
banyak, memandang ini murni isu penistaan agama. Nggak ada lah itu kaitan
dengan politik dan ketakutan terhadap dominasi ras tertentu.
Soal kelompok yang terakhir, rasanya ini yang paling banyak. Setidaknya,
banyak sekali nih di teman-teman di media sosial bilang “tergetar hatiku” atau “merinding”
melihat jemaat salat Jumat bersama dalam jumlah yang sebanyak itu. Diguyur
hujan pula.
Singkatnya, para peserta aksi Bela Islam III itu berangkat dari
panasnya penistaan agama. Disejukkan oleh kebersamaan dan untaian doa. Lantas
dibakar kebencian lewat kata-kata “Tangkap Ahok!”
Tentu orang boleh memandang dan berkata macam-macam soal aksi ini.
Tapi, hati orang, siapa yang tahu? (*)
Desember di Jogja,
sembari menanti Natal
Desember di Jogja,
sembari menanti Natal
No comments:
Post a Comment