Skip to main content

Karakter Rekaan

saya kenal, atau sekadar tahu, dengan orang yang senang menuliskan ini di jejaring sosial dia:

.: mengklaim dirinya antimainstream
beberapa kali dia membanggakan pekerjaannya yang tak terikat perusahaan, tidak seperti teman yang lain. dia sering bilang lebih nyaman pakai celana jeans daripada celana bahan.

.: bermeditasi
dia mengutip kata.kata dari buku yang dia baca; mengunggah foto buku, lilin, dan secangkir kopi yang menemani dirinya bermeditasi

namun, yang saya lihat justru sebaliknya.

kalau dia antimainstream, kenapa dia punya jejaring sosial dan aktif sekali di dalamnya?
kalau dia antimainstream, kenapa dia pasang fotonya dengan berbagai pose di profil jejaring sosial dia?
bukankah semua yang dia lakukan itu justru mainstream?
lantas stream apa yang dia anti-kan?

lalu soal bermeditasi.. saya hanya ingat cerita seorang teman. seorang pemula pada hobi sepeda motor lawas biasanya sering kebut-kebutan di jalan raya pada hari biasa. sedangkan seorang pehobi sepeda motor lawas yang sudah matang justru berkendara santai, dan baru ngebut ketika sedang touring.

barangkali dia juga begitu. kalau meditasinya sudah cukup dalam, saya rasa dia tak perlu memamerkan aktivitasnya itu dia jejaring sosial. selain karena itu mainstream, meditasi selayaknya membawa kita pada esensi atau hakikat hidup, dan keputusan dia untuk memamerkan di jejaring sosial ini  barangkali justru lepas dari esensi dari bermeditasi.

di lain sisi, kata-kata yang dia kutip itu masih bau terjemahan. aih..

ini bukan bermaksud mengkritik atau pura-pura peduli pada isi postingan seseorang di jejaring sosial mereka. saya rasa kita perlu memelajari ini, bahwa ada orang-orang yang memang bertahan hidup dengan membentuk citra-citra yang (entah palsu atau tidak) di jejaring sosial mereka.

inilah hebatnya jejaring sosial. kita tidak hanya bisa memasang foto dan identitas menjadi siapa saja.

lebih dari itu, kita bisa membentuk karakter rekaan kita yang lalu kita namai dengan nama kita sendiri.
barangkali memang begitu.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.