Skip to main content

Omong Kosong dan Kepedulian Kita

via www.multiraedt.nl
Media sosial itu layaknya pemutar musik. Ketika kita buka, kita menyalakan tombol “Play”—seketika riuh terjadi. Ketika kita menutupnya, tombol “Stop” lah yang kita tekan. Barangkali tidak  hening, tapi kita akan dengar suara lain selain musik.

Kemarin (13/10) beberapa kawan di media sosial membagikan hashtag #NoBraDay di akun mereka. Entah harus disebut dengan apa: perayaan, peringatan, gerakan, solidaritas, kampanye, atau apa?

Aksi No Bra Day mulai dilakukan tahun 2011 di Amerika Serikat sana. Penggagas aksi mengajak para perempuan untuk tak mengenakan bra dalam sehari itu.

CNN Indonesia menyebut ini sebagai aksi solidaritas terhadap penderita kanker payudara. Senada, Kompas.com menuliskan salah satu tujuannya untuk memberikan semangat kepada breast cancer survivor di seluruh dunia.

Lalu sampailah di Indonesia, negeri yang sering tak percaya diri. Kutip kultur sana sini agar dibilang modern. Bahasa Jermannya, melu-melu. Kawan-kawan rupanya tak luput terkena virus itu—barangkali saya juga begitu.

Ada yang share gambar dan menuliskan kata-kata yang masih netral. Ini masih bisa diterima. Ada juga yang nulis agak porno. Ini juga bisa diterima meski meleset. Namun yang paling aneh adalah ada yang sedikit curhat bilang betapa nyamannya lepas bra. Ya, itu di media sosial.

Istilahnya, dia pengin ditanya banget. Efektif sih. Beberapa laki-laki lalu nimbrung tanya—barangkali sambil membayangkan.

Sudahlah, lupakan akun itu. Kita kembali ke No Bra Day saja.

Adakah kaitan antara lepas bra dengan kanker? Benar bahwa ukuran bra yang terlalu sempit (/ketat) tidak baik untuk kesehatan payudara. Ada riset yang menunjukkan keterkaitan antara mereka. Namun riset-riset terbaru menunjukkan tak ada hubungan antara lepas bra dengan penyakit kanker.

Lantas buat apa ada aksi ini? Jelas-jelas ini untuk membangun awareness. Kesadaran akan bahaya kanker payudara harus dibangun di benak perempuan (dan laki-laki). Perempuan diminta untuk melakukan pemeriksaan payudara sendiri (Sadari) secara rutin. 

Lihat langkahnya di laman Yayasan Kanker Indonesia. 

Selain itu perempuan juga diminta untuk melakukan pemeriksaan ke dokter lewat USG atau mamografi.

Sudah jelas sekarang, tujuannya adalah membangun kesadaran untuk deteksi dini penyakit ini. Jadi kalau hanya posting gambar #NoBraDay tanpa ajakan deteksi penyakit dini ya itu namanya penyembelihan.

Bung Karno pernah bilang ke kita untuk jangan “mengambil abu dan bukan apinya.” Barangkali kita sering melanggar nasihat ini. Kita senang memotret ide “no bra”nya daripada ide membangun awareness terhadap “breast cancer”nya.

Maka tak berlebihan kalau postingan-postingan kemarin itu omong kosong. Demikian juga dengan tulisan ini.

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.