Skip to main content

How A Man Miss Some Random Moments

Night was always be a missed moment a year ago. This was a beautiful time to enjoy youth-time with some friends—and some random things of course. We played card games after had a jogging-chatting. We were jogging for 30 minutes (or less), chatting for 30 minutes, and playing card for more than 4 hours. What a great night.
 
Yogyakarta’s road situation is one thing that make the missed moment more deeply. After 3 months had a job at Jakarta, driving a motorcycle on Yogyakarta’s road is a heaven. Trully a heaven. We’ll seldom hear some klaxon from a big-arrogant-car. Only some area we’ll meet traffic jam. Compared to Jakarta, time in Yogyakarta also move slower.

One night I had an appointment with some best friends in Denggung field. It’s just about 15 minutes from my house. 8 p.m. o’clock I arrived, they had already waiting me. What would we do in that night? We just wanted to eat a big portion of fried chicken. My friend said, “These are too large for me. I can take it all my self.” After finished, again, we’re just talking random things until 1-2 a.m.

And still so many memories about how we spend our night.

But now, night isn’t a missed moment again. I’ve realized it this morning. All of my best friends have already moved from Yogyakarta. They come back to their home town, get a job there. I also have a job, and one thesis writing. So I don’t have a reason to spend my night like a year ago. I really never miss night again.

Now, my missed time is early morning. It’s a time when we can meet fresh air, natural sounds (insect, wind, river, etc.), and if lucky enough, we can feel how the fog touch our face. Huft.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.