05 October 2015

Menyoal Blusukan Virtual


Aroma e-government rasanya makin menyengat di ujung hidung publik. Belum rampung dengan urusan e-KTP yang berlubang sana sini, wacana pelayanan publik kembali dihangatkan dengan rentetan e- yang lain.
Pekan lalu Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan berkumpul dengan sejumlah penggiat media sosial di Ibukota. Pertemuan itu membahas strategi yang akan dilakukan pemerintahan yang dia pimpin untuk menjalin komunikasi dengan warga melalui jaringan media sosial yang populer. Jokowi menggagas terminologi: e-blusukan.

Ada dua hal yang saya pahami sebagai tujuan dilakukan strategi ini. Pertama, memudahkan warga memperoleh penjelasan program kerja pemerintah. Kedua, memudahkan warga menyampaikan keluhan-keluhan pelayanan publik yang perlu segera dibenahi. Kedua tujuan ini pantas diletakkan dalam kajian tindakan komunikasi antara pemerintah dengan warga, dan sebaliknya.

Untuk menerapkan strategi tersebut, Jokowi dilaporkan menggandeng penggiat media sosial yang lebih memiliki akses luas terhadap netizen—sebutan untuk warga dunia maya. Belum diinformasikan dengan terang dan rinci bagaimana mereka akan bekerja, tapi posisi ini sudah dinamai dengan relawan e-blusukan.

Strategi ini mendapat respon yang menggairahkan di tengah masyarakat. Selain lantaran mampu memanfaatkan teknologi yang sudah jamak dikenal, cara blusukan terbuktif efektif untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi warga secara langsung. Namun demikian, kita patut mengingatkan Presiden terpilih dan diri sendiri untuk berhati-hati dengan penggunaan internet yang kian hari kian pekat dengan polusi dalam wacana publik.

Pertama, strategi ini dikhawatirkan hanya akan menjangkau permasalahan-permasalahan yang dialami oleh kelas menengah. Menurut data yang tercantum dalam kantor berita Antara, jumlah masyarakat kelas menengah tahun 2013 menggapai angka 56,7 persen dari total penduduk. Jumlah ini melesat cukup tajam dari tahun 2004 yang mencapai 37 persen.

Salah satu ciri termudah yang ditemui pada masyarakat kelas menengah adalah sangat responsif terhadap inovasi produk. Dalam konteks tulisan ini, gadget smartphone menjadi produk yang paling banyak diburu, pun juga aplikasi media sosial yang dapat diakses dengan sangat mudah oleh produk tersebut. Masyarakat kelas menengah mungkin merasakan betapa efektifnya strategi e-blusukan. Media sosial yang biasanya mereka gunakan untuk berbisnis atau sekadar hiburan kini bisa digunakan sebagai tempat mereka berpartisipasi secara politis dalam kapasitas warga negara. Namun, bagaimana dengan sejumlah besar warga menengah ke bawah yang memenuhi kebutuhan pokok pun kesulitan?

Kekhawatiran ini tentu sudah dipahami pihak Jokowi. Sejak awal konsep e-blusukan ini memang dibuat untuk menghemat waktu dan tenaga pemerintah pusat untuk blusukan ke 34 provinsi secara langsung. Meski demikian, akan tetap ada permasalahan dan aspirasi yang mungkin tidak dapat tersampaikan melalui cara ini. Blusukan langsung ke daerah, terutama daerah dengan jumlah masyarakat menengah ke bawah yang banyak, adalah tetap hal yang perlu dilakukan.

Namun, itu saja tak cukup. Pemerintah pusat tidak bisa turun langsung ke daerah untuk menyelesaikan persoalan dan menjawab semua keluhan warga, mengingat diberlakukannya Otonomi Daerah. Di sinilah pemerintah daerah ditantang untuk bergerak seiring dengan gerak cepat pemerintah pusat. Koordinasi dan kesesuaian tempo kerja pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menjadi kunci untuk menjangkau keluhan warga yang tidak berhasil tersampaikan melalui media sosial.

Solusi ini kemudian mengantar kita pada masalah yang kedua, sudah siapkah pemerintah daerah untuk menyesuaikan diri dengan kerja pemerintah pusat? Pertanyaan ini patut diajukan lantaran strategi yang dicetuskan Presiden terpilih ini berpotensi untuk menambah jumlah laporan dari warga karena kemudahan yang diperoleh. Integritas kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah semakin diuji dengan besaran laporan yang dapat ditangani dan diselesaikan.

Penting diingat publik, tahun 2013 lalu Ombudsman RI menyatakan instansi pemerintah daerah menuai aduan paling banyak, yaitu menyundul angka 43,8 persen dari total 4.359 laporan. Lebih dari seperempat masalah maladministrasi yang dilaporkan masyarakat adalah soal penundaan berlarut. Dua kategori lain yang menyusul adalah penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.

Strategi e-blusukan dengan demikian menghadirkan konsekuensi berat yang menghadang pemerintah, terutama pemerintah daerah. Esensi dari komunikasi antara pemerintah dengan warga adalah tindakan. Laporan yang tidak berujung pada tindakan, atau malah penundaan berlarut, adalah bentuk kejahatan yang dilakukan negara terhadap warga.

Dari kedua permasalahan tersebut, rasanya perlu dibangun strategi lain untuk menanggapi konsekuensi besar dari e-blusukan. Strategi tersebut dibangun agar aplikasi teknologi pada pelayanan publik menjadi lebih punya arti, tidak sekadar formalitas yang nantinya berujung pada kerja kosong pemerintah. Apa strategi berikutnya? Mari berdiskusi! 


Pedukuhan Panggungan,

Desember 2014

~edisi ditolak media

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain