Aroma e-government rasanya makin menyengat di
ujung hidung publik. Belum rampung dengan urusan e-KTP yang berlubang sana
sini, wacana pelayanan publik kembali dihangatkan dengan rentetan e- yang lain.
Pekan lalu Presiden
terpilih Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan berkumpul dengan sejumlah penggiat
media sosial di Ibukota. Pertemuan itu membahas strategi yang akan dilakukan
pemerintahan yang dia pimpin untuk menjalin komunikasi dengan warga melalui
jaringan media sosial yang populer. Jokowi menggagas terminologi: e-blusukan.
Ada dua hal yang saya
pahami sebagai tujuan dilakukan strategi ini. Pertama, memudahkan warga
memperoleh penjelasan program kerja pemerintah. Kedua, memudahkan warga
menyampaikan keluhan-keluhan pelayanan publik yang perlu segera dibenahi. Kedua
tujuan ini pantas diletakkan dalam kajian tindakan komunikasi antara pemerintah
dengan warga, dan sebaliknya.
Untuk menerapkan
strategi tersebut, Jokowi dilaporkan menggandeng penggiat media sosial yang
lebih memiliki akses luas terhadap netizen—sebutan
untuk warga dunia maya. Belum diinformasikan dengan terang dan rinci bagaimana
mereka akan bekerja, tapi posisi ini sudah dinamai dengan relawan e-blusukan.
Strategi ini mendapat
respon yang menggairahkan di tengah masyarakat. Selain lantaran mampu
memanfaatkan teknologi yang sudah jamak dikenal, cara blusukan terbuktif
efektif untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi warga secara langsung.
Namun demikian, kita patut mengingatkan Presiden terpilih dan diri sendiri
untuk berhati-hati dengan penggunaan internet yang kian hari kian pekat dengan
polusi dalam wacana publik.
Pertama, strategi ini
dikhawatirkan hanya akan menjangkau permasalahan-permasalahan yang dialami oleh
kelas menengah. Menurut data yang tercantum dalam kantor berita Antara, jumlah
masyarakat kelas menengah tahun 2013 menggapai angka 56,7 persen dari total
penduduk. Jumlah ini melesat cukup tajam dari tahun 2004 yang mencapai 37
persen.
Salah satu ciri
termudah yang ditemui pada masyarakat kelas menengah adalah sangat responsif
terhadap inovasi produk. Dalam konteks tulisan ini, gadget smartphone menjadi produk yang paling banyak diburu, pun juga
aplikasi media sosial yang dapat diakses dengan sangat mudah oleh produk
tersebut. Masyarakat kelas menengah mungkin merasakan betapa efektifnya
strategi e-blusukan. Media sosial yang biasanya mereka gunakan untuk berbisnis
atau sekadar hiburan kini bisa digunakan sebagai tempat mereka berpartisipasi
secara politis dalam kapasitas warga negara. Namun, bagaimana dengan sejumlah
besar warga menengah ke bawah yang memenuhi kebutuhan pokok pun kesulitan?
Kekhawatiran ini
tentu sudah dipahami pihak Jokowi. Sejak awal konsep e-blusukan ini memang dibuat
untuk menghemat waktu dan tenaga pemerintah pusat untuk blusukan ke 34 provinsi
secara langsung. Meski demikian, akan tetap ada permasalahan dan aspirasi yang
mungkin tidak dapat tersampaikan melalui cara ini. Blusukan langsung ke daerah,
terutama daerah dengan jumlah masyarakat menengah ke bawah yang banyak, adalah
tetap hal yang perlu dilakukan.
Namun, itu saja tak
cukup. Pemerintah pusat tidak bisa turun langsung ke daerah untuk menyelesaikan
persoalan dan menjawab semua keluhan warga, mengingat diberlakukannya Otonomi
Daerah. Di sinilah pemerintah daerah ditantang untuk bergerak seiring dengan
gerak cepat pemerintah pusat. Koordinasi dan kesesuaian tempo kerja pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah menjadi kunci untuk menjangkau keluhan warga
yang tidak berhasil tersampaikan melalui media sosial.
Solusi ini kemudian
mengantar kita pada masalah yang kedua, sudah siapkah pemerintah daerah untuk
menyesuaikan diri dengan kerja pemerintah pusat? Pertanyaan ini patut diajukan
lantaran strategi yang dicetuskan Presiden terpilih ini berpotensi untuk
menambah jumlah laporan dari warga karena kemudahan yang diperoleh. Integritas
kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah semakin diuji dengan besaran
laporan yang dapat ditangani dan diselesaikan.
Penting diingat
publik, tahun 2013 lalu Ombudsman RI menyatakan instansi pemerintah daerah
menuai aduan paling banyak, yaitu menyundul angka 43,8 persen dari total 4.359
laporan. Lebih dari seperempat masalah maladministrasi yang dilaporkan
masyarakat adalah soal penundaan berlarut. Dua kategori lain yang menyusul
adalah penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.
Strategi e-blusukan
dengan demikian menghadirkan konsekuensi berat yang menghadang pemerintah,
terutama pemerintah daerah. Esensi dari komunikasi antara pemerintah dengan
warga adalah tindakan. Laporan yang tidak berujung pada tindakan, atau malah
penundaan berlarut, adalah bentuk kejahatan yang dilakukan negara terhadap
warga.
Dari kedua
permasalahan tersebut, rasanya perlu dibangun strategi lain untuk menanggapi
konsekuensi besar dari e-blusukan. Strategi tersebut dibangun agar aplikasi
teknologi pada pelayanan publik menjadi lebih punya arti, tidak sekadar
formalitas yang nantinya berujung pada kerja kosong pemerintah. Apa strategi
berikutnya? Mari berdiskusi!
Pedukuhan Panggungan,
Desember 2014
~edisi ditolak media
No comments:
Post a Comment