Skip to main content

Manusia Tanpa Titik

Manusia Tanpa Titik

"aku lelah" katamu dalam
deretan panjang gatra
sombong sarat nafsu

...

(sementara waktu masih
giat menggerus usia dan
bahagia yang rentan lepas)

...

suatu kala sang titik
mendatangimu perlahan
sangat pelan bahkan dalam
gelap gulita,
supaya kau tak malu
bertemu dengannya

dia tawarkan tikar
plastik merah agar kau
sejenak bersila, sambil
menyapa sebatang rokok dan
segelas kopi yang ampuh
lagi ramah.

tapi kau bajingan tengik
bocah ingusan
berbaju pangeran

tak sekadar kau tolak
tikar pun kau koyak-koyak,
sambil siram kopi di atasnya
kau teriak membentak:

"pergi kau, titik!
kau membuatku tampak lemah!
siapa butuh tempat istirahat?!
aku hanya butuh tuhan yang
membuatku lebih kuat!"

titik tersenyum kecil,
tidak hanya sekali dia
ditolak begini

dia tahu tidak banyak
orang yang berani
menghadapi titik

mereka kira titik adalah
akhir, atau mereka takut
tak kuat mulai lagi berjalan
setelah sampai titik

...

(titik kembali cari
orang-orang kuat yang
berpengharapan)

sementara kau
merengek-rengek
minta kekuatan
ke tuhan.

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.