28 August 2015

Singkek dan Kerak Rasis yang Enggan Hilang

Ketika SD dulu saya dengar istilah ‘singkek’ untuk dilekatkan di belakang kata ‘cina.’ Sebenarnya saya tidak tahu betul apa maksudnya, tetapi yang saya duga itu adalah istilah untuk orang Cina totok. Orang Cina asli. Sifat yang dilekatkan pada kata itu adalah pelit, galak, kejam, sombong, mata duitan, dan sebagainya.

Istilah itu saya dengar sekitar tahun 1998, ketika diskriminasi ras terhadap orang Cina marak terjadi di mana-mana. Kebetulan di Yogyakarta tak terlalu terasa, apalagi untuk saya yang masih SD. Di sekolah pun teman-teman saya banyak yang orang Cina, kok rasanya tenang-tenang saja. Barangkali saya yang tidak tahu/tidak ngeh apa yang sedang terjadi saat itu.

Saya tak mengalami langsung saat itu. Namun ketika membaca cerita dan melihat foto-fotonya, saya merasa ngeri. Sangat ngeri. Membayangkan pun saya tak kuat hati. Ini kekejaman yang sangat mengerikan dan menyingkirkan kata damai di bumi Indonesia.

Gus Dur, kyai super pintar yang pernah jadi presiden itu disebut-sebut sebagai tokoh yang memperjuangkan pluralisme. Salah satu kebijakan yang diambil adalah mencabut larangan orang Cina di Indonesia untuk merayakan tradisi leluhur mereka. Semenjak itu tradisi Tahun Baru Cina, lengkap dengan atribut-atributnya, mulai ditemukan di mana-mana. Tak salah kalau Gus Dur lalu dikatakan sebagai ‘penyelamat’ bagi orang Cina.

Perbaikan ‘nasib’ orang Cina itu tak memengaruhi saya sedikitpun. Sejak SD hingga sekarang saya punya teman orang Cina dan hubungan kami baik-baik saja. Bahkan ketika SMA saya sering bersekongkol dengan teman lain untuk ‘menyerang’ teman-teman kami yang Cina. Kata-kata yang kami pakai adalah ‘nggak mau rugi’, ‘mata merem’, dan sebagainya. Namun itu bukan hinaan, itu hanya simbol keakraban kami. Sama sekali tak ada maksud rasis di situ.

Hingga suatu saat, lupa tepatnya kapan, pemerintah Indonesia meminta warganya untuk tak lagi menggunakan kata Cina, tetapi Tiongkok. Kata ‘Cina’ dianggap mengandung sejarah buruk, sejarah rasisme, sejarah pembantaian yang sangat menyakiti kemanusiaan kita. Langkah ini awal-awal digunakan oleh media massa kita sebagai alat ‘pembentuk bahasa’ di  bangsa yang multikultur ini.

Lalu wacana  tentang orang Cina ini makin santer ketika Ahok maju menjadi Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi tahun 2012. Istilah yang sering muncul saat itu adalah “Udah Cina, Kristen pula..” untuk menyebut realitas identitas Ahok.

Namun ternyata Ahok bikin gebrakan luar biasa ketika jadi Gubernur DKI Jakarta semenjak Jokowi jadi Presiden. Preman, ormas Islam, PNS DKI, anggota DPRD DKI, dan yang terakhir ini, warga Kampung Pulo, barangkali kaget dengan gebrakan yang dia lakukan.

Pro dan kontra pasti terjadi. Berbagai LSM menyebut tindakan Ahok ini tidak manusiawi, salah satu bentuk represi negara terhadap rakyat, dan sebagainya. Namun berbagai pihak, termasuk media-media massa, banyak yang mendukung kebijakan Ahok. Apa sebab? Warga Kampung Pulo ini mendapat ganti rumah susun yang kondisinya jauh lebih baik, plus perabotan macam TV dan kulkas di dalamnya. Lagipula penggusuran itu untuk normalisasi Kali Ciliwung, langkah yang diperlukan untuk membebaskan Jakarta dari banjir.

Sekadar cerita, di dekat rumah simbah juga ada ‘penggusuran’ warga. Mereka memang tinggal di tanah milik orang. Suatu ketika orang itu ingin menggunakan tanah itu dan meminta mereka untuk pindah dengan tetap memberikan uang mahar. Namun tempat tinggal itu bukan masalah uang, itu masalah eksistensi hidup manusia barangkali. Entah karena kebetulan sudah sepuh dan sakit, saya mendengar kabar bahwa warga yang pindah itu tak bertahan lama. Mereka meninggal tak lama setelah mereka pindah dari rumah yang telah berpuluh-puluh tahun mereka tempati.

Dari sisi kemanusiaan, saya mengerti kemarahan warga Kampung Pulo. Namun bagaimanapun juga harus ada yang dikorbankan untuk menghentikan banjir Jakarta. Saya tidak akan terlalu jauh ke sana, selain karena saya bukan orang Jakarta dan saya bukan ahli kebijakan, tulisan ini soal rasis yang rupanya masih ada dalam diri.

Berbagai tulisan soal prestasi Ahok ditulis di blog, baik blog pribadi maupun blog komunitas macam Kompasiana. Saya beberapa kali baca tulisan-tulisan itu. Meski terkesan dengan keberanian Ahok, saya menjaga  diri agar tak langsung percaya dengan tulisan yang mereka sebarkan tentang Ahok.

Nah, sifat rasis yang saya rasakan itu muncul ketika saya terkesima dengan tulisan yang cukup bagus tentang Ahok. Saya nilai tulisan itu bagus. Namun ketika sampai di paling bawah dan terlihat foto si penulis yang ternyata juga orang Cina, entah kenapa saya lalu menilai tulisan itu tak bagus-bagus amat. Bahkan saya berpikir singkat kalau orang-orang Cina lagi ambil kesempatan ini dengan diunggulkannya Ahok. ‘Aji mumpung’ kalau kata orang-orang.

Dari situ saya sadar kalau saya rasis. Mengapa saya tak bisa objektif menilai tulisan itu dari kualitas keindahan kata dan rangkaian fakta yang disajikan? Memang kenapa kalau yang nulis orang Cina? Saya tak ingin jadi orang rasis, tak ingin punya prasangka buruk kepada seseorang karena identitas budaya dan fisik yang dia miliki.

Kendati ingin lepas, nyatanya saya masih rasis—dalam arti sesungguhnya. Barangkali rasisme memang belum terhapus di benak orang-orang seangkatan saya. Saya sebut itu sebagai ‘kerak’ yang telah lama mengendap di benak. Semoga ‘kerak’ di benak saya, dan benak-benak orang lain, bisa terkikis oleh usaha-usaha keras untuk menjernihkan pikiran.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain