Ketika
SD dulu saya dengar istilah ‘singkek’ untuk dilekatkan di belakang kata ‘cina.’
Sebenarnya saya tidak tahu betul apa maksudnya, tetapi yang saya duga itu
adalah istilah untuk orang Cina totok. Orang Cina asli. Sifat yang dilekatkan
pada kata itu adalah pelit, galak, kejam, sombong, mata duitan, dan sebagainya.
Istilah
itu saya dengar sekitar tahun 1998, ketika diskriminasi ras terhadap orang Cina
marak terjadi di mana-mana. Kebetulan di Yogyakarta tak terlalu terasa, apalagi
untuk saya yang masih SD. Di sekolah pun teman-teman saya banyak yang orang
Cina, kok rasanya tenang-tenang saja. Barangkali saya yang tidak tahu/tidak ngeh apa yang sedang terjadi saat itu.
Saya
tak mengalami langsung saat itu. Namun ketika membaca cerita dan melihat
foto-fotonya, saya merasa ngeri. Sangat ngeri. Membayangkan pun saya tak kuat
hati. Ini kekejaman yang sangat mengerikan dan menyingkirkan kata damai di bumi
Indonesia.
Gus
Dur, kyai super pintar yang pernah
jadi presiden itu disebut-sebut sebagai tokoh yang memperjuangkan pluralisme.
Salah satu kebijakan yang diambil adalah mencabut larangan orang Cina di
Indonesia untuk merayakan tradisi leluhur mereka. Semenjak itu tradisi Tahun
Baru Cina, lengkap dengan atribut-atributnya, mulai ditemukan di mana-mana. Tak
salah kalau Gus Dur lalu dikatakan sebagai ‘penyelamat’ bagi orang Cina.
Perbaikan
‘nasib’ orang Cina itu tak memengaruhi saya sedikitpun. Sejak SD hingga
sekarang saya punya teman orang Cina dan hubungan kami baik-baik saja. Bahkan ketika
SMA saya sering bersekongkol dengan teman lain untuk ‘menyerang’ teman-teman
kami yang Cina. Kata-kata yang kami pakai adalah ‘nggak mau rugi’, ‘mata merem’,
dan sebagainya. Namun itu bukan hinaan, itu hanya simbol keakraban kami. Sama
sekali tak ada maksud rasis di situ.
Hingga
suatu saat, lupa tepatnya kapan, pemerintah Indonesia meminta warganya untuk
tak lagi menggunakan kata Cina, tetapi Tiongkok. Kata ‘Cina’ dianggap
mengandung sejarah buruk, sejarah rasisme, sejarah pembantaian yang sangat
menyakiti kemanusiaan kita. Langkah ini awal-awal digunakan oleh media massa
kita sebagai alat ‘pembentuk bahasa’ di
bangsa yang multikultur ini.
Lalu wacana tentang orang Cina ini makin santer
ketika Ahok maju menjadi Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi
tahun 2012. Istilah yang sering muncul saat itu adalah “Udah Cina, Kristen
pula..” untuk menyebut realitas identitas Ahok.
Namun
ternyata Ahok bikin gebrakan luar biasa ketika jadi Gubernur DKI Jakarta
semenjak Jokowi jadi Presiden. Preman, ormas Islam, PNS DKI, anggota DPRD DKI, dan
yang terakhir ini, warga Kampung Pulo, barangkali kaget dengan gebrakan yang
dia lakukan.
Pro
dan kontra pasti terjadi. Berbagai LSM menyebut tindakan Ahok ini tidak
manusiawi, salah satu bentuk represi negara terhadap rakyat, dan sebagainya.
Namun berbagai pihak, termasuk media-media massa, banyak yang mendukung
kebijakan Ahok. Apa sebab? Warga Kampung Pulo ini mendapat ganti rumah susun
yang kondisinya jauh lebih baik, plus perabotan
macam TV dan kulkas di dalamnya. Lagipula penggusuran itu untuk normalisasi
Kali Ciliwung, langkah yang diperlukan untuk membebaskan Jakarta dari banjir.
Sekadar
cerita, di dekat rumah simbah juga ada ‘penggusuran’ warga. Mereka memang
tinggal di tanah milik orang. Suatu ketika orang itu ingin menggunakan tanah
itu dan meminta mereka untuk pindah dengan tetap memberikan uang mahar. Namun
tempat tinggal itu bukan masalah uang, itu masalah eksistensi hidup manusia
barangkali. Entah karena kebetulan sudah sepuh dan sakit, saya mendengar kabar
bahwa warga yang pindah itu tak bertahan lama. Mereka meninggal tak lama
setelah mereka pindah dari rumah yang telah berpuluh-puluh tahun mereka
tempati.
Dari
sisi kemanusiaan, saya mengerti kemarahan warga Kampung Pulo. Namun
bagaimanapun juga harus ada yang dikorbankan untuk menghentikan banjir Jakarta.
Saya tidak akan terlalu jauh ke sana, selain karena saya bukan orang Jakarta
dan saya bukan ahli kebijakan, tulisan ini soal rasis yang rupanya masih ada
dalam diri.
Berbagai
tulisan soal prestasi Ahok ditulis di blog, baik blog pribadi maupun blog
komunitas macam Kompasiana. Saya beberapa kali baca tulisan-tulisan itu. Meski
terkesan dengan keberanian Ahok, saya menjaga
diri agar tak langsung percaya dengan tulisan yang mereka sebarkan
tentang Ahok.
Nah,
sifat rasis yang saya rasakan itu muncul ketika saya terkesima dengan tulisan
yang cukup bagus tentang Ahok. Saya nilai tulisan itu bagus. Namun ketika
sampai di paling bawah dan terlihat foto si penulis yang ternyata juga orang
Cina, entah kenapa saya lalu menilai tulisan itu tak bagus-bagus amat. Bahkan saya
berpikir singkat kalau orang-orang Cina lagi ambil kesempatan ini dengan
diunggulkannya Ahok. ‘Aji mumpung’ kalau kata orang-orang.
Dari
situ saya sadar kalau saya rasis. Mengapa saya tak bisa objektif menilai
tulisan itu dari kualitas keindahan kata dan rangkaian fakta yang disajikan?
Memang kenapa kalau yang nulis orang Cina? Saya tak ingin jadi orang rasis, tak
ingin punya prasangka buruk kepada seseorang karena identitas budaya dan fisik
yang dia miliki.
Kendati
ingin lepas, nyatanya saya masih rasis—dalam arti sesungguhnya. Barangkali
rasisme memang belum terhapus di benak orang-orang seangkatan saya. Saya sebut
itu sebagai ‘kerak’ yang telah lama mengendap di benak. Semoga ‘kerak’ di benak
saya, dan benak-benak orang lain, bisa terkikis oleh usaha-usaha keras untuk
menjernihkan pikiran.
No comments:
Post a Comment