Skip to main content

Letakkan Kameramu!

Sebuah artikel di Fotokita.net tahun 2012 pernah menulis soal tips memotret matahari terbit di gunung. Bukan iklan, tapi situs ini cukup memenuhi kebutuhan bacaan saya soal fotografi. Dia mengulas banyak hal soal tips memotret, kamera, lensa, dan banyak hal yang terkait di dalamnya.

Soal tulisan ini, saya rasa juga cukup baik. Langkah-langkah yang diperlukan untuk ambil gambar matahari terbit sudah jelas. Selain itu juga diberi pertimbangan apa alternatif lain selain memotret matahari saja, pertimbangan pakai lensa tele atau wide, dan sebagainya.

Artikel ini menjadi semakin menarik bagi saya karena diposting tanggal 7 Januari 2012. Apa istimewanya tanggal itu? Bukan tanggalnya, tapi tahunnya. Tahun 2012, lebih tepatnya 12 Desember 2012, bagi saya merupakan titik awal “bencana” di dunia pendakian. 12-12-12 adalah tanggal diputar perdananya film “5 cm”, yang kemudian diyakini memicu banjir pendaki di setiap gunung.

Sejauh yang saya tahu, ekosistem gunung akan terganggu ketika kebanjiran pendaki. Maka benar bahwa harus ada kebijakan setahun sekali setidaknya jalur pendakian harus ditutup beberapa lama untuk mengembalikan ekosistem. Ini belum soal sampah pula. Aih. Sampah ini sungguh jadi masalah. Silakan lihat sendiri, betapa menjijikkannya kita.

Kembali lagi soal memotret matahari terbit. Saya sangat mengapresiasi artikel di atas, tapi kemungkinan besar tak akan saya terapkan. Selain karena naik gunung—dari dulu hingga sekarang— adalah aktivitas yang berat bagi saya, saya tak melihat istimewanya foto matahari terbit.

Barangkali saya akan lebih enak untuk mematikan kamera. Menutup lensa. Memasukkan kamera di tas. Duduk merenung, sambil ngopi. Mengkonsumsi obat herbal. Lalu melihat bagaimana matahari terbit itu muncul perlahan dari balik awan, dekat cakrawala sana.

2015
Besole; rindu tanjakan

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.