25 August 2015

Pantaskah Kita Bersyukur Saja?


“Kamu kenapa, yan? Kayak lagi kepikiran apa,” tanya Samdy suatu sore. Dia reporter harian bisnis ternama di Ibu Kota. Orangnya agak kaku, kadang bertindak sesuka hati, tapi perlakuan dia ke saya sangat baik. Beberapa hari kemudian dia menghubungi lewat telepon ketika saya “bersemedi” di kamar kos. Seingat saya, dia satu-satunya kawan yang menelepon ketika itu.
Kembali pada kisah sore itu, saya memang sedang gamang. Saya ingin segera mengakhiri tanggung jawab sebagai reporter di sana. Barangkali ini memang tak profesional, tapi saya rasa kesalahan masa muda yang seperti ini janganlah sampai terulang lagi.

Belum sempat saya bercerita kepadanya, dia sudah menyarankan kepada saya untuk pergi jalan-jalan melihat orang lain yang hidupnya lebih keras.
“Aku gitu, yan. Kadang jalan-jalan ke Senen, lihat orang-orang yang di jalan itu. Rasanya jadi lebih bersyukur,” katanya membagi cerita.
Waktu itu saya hanya mengangguk saja. Saya juga pernah mengalaminya, persis seperti itu. Ketika hidup sedang terasa berat, lihatlah orang lain yang punya hidup jauh lebih berat. Niscaya hidup kita akan terasa lebih ringan.
Teman saya yang lain lagi juga pernah cerita hal serupa. Dia melakukannya dengan naik angkot ke sekitar tempat kosnya. Dari angkot satu menyambung ke angkot yang lainnya. Dia menjadi bersyukur dan hatinya gembira setelah melakukan hal itu.
Namun saya lalu punya pertanyaan yang sebenarnya enggan saya tanyakan ke diri sendiri. Selain karena tak tahu jawabnya, pertanyaan itu memunculkan rasa bersalah.
Pertanyaannya, bukankah kita lalu menjadi egois jika demikian? Kita mengambil ‘keuntungan’ dari penderitaan yang mereka alami bukan? Mereka menderita, hidup sengsara, lalu kita melihat mereka, mengamati dari jauh, lantas kita bersyukur dan menjalani hidup kita dengan lebih baik. Andaikan kita jadi lebih baik, lalu mereka bagaimana?
Kita tentu sepakat bahwa yang kita lihat itu adalah manusia nyata yang menjalani kehidupan nyata yang benar-benar keras. Narasi penderitaan mereka bukanlah seperti cerita film yang bisa dibuat-buat oleh penulis cerita. Mereka manusia yang merasakan penderitaan yang nyata. Pantaskah kita untuk memandang penderitaan mereka dan mengambil manfaat itu untuk hidup kita sendiri?
Lantas saya membela diri dengan menjawab asal, “Kita kan bisa membantu mereka, diri. Kita sudah ambil kisah mereka untuk bikin hidup kita baik. Kita lalu bantu mereka, meringankan penderitaan mereka.”
Namun bagian diri lain menyela dengan cukup kerasnya, “Memang kamu bisa bantu apa, ha? Kasih uang? Pasti habis! Lagipula, memangnya mereka pengemis yang butuh uang? Mau kasih nasi bungkus? Kamu kira mereka bakal makan sendirian di jalan? Di rumah ada keluarga mereka yang juga butuh makan! Mau kasih hiburan dengan datang ke rumah? Memangnya dia butuh hiburan apa? dst..dst..”
Diri terus bertanya dengan kejamnya. Tak habis-habis. Tanpa beri waktu dan jeda untuk mencari jawab.
Dalam kekejaman pertanyaan diri itu saya melanjutkan pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari ‘ketikan’, jadi penulis konten website. Tidak sangat berat karena targetnya lebih realistis bagi saya. Bagaimanapun, kadang itu membuat saya melamun di jalan.
Dalam lamunan di atas kendaraan itu saya melaju di dekat SMA Bosa. Di sana saya melihat seorang bapak tua  yang menarik gerobak sampah warna kuning pudar. Isi gerobak sudah agak penuh dengan sampah. Saya tak tahu dia jalan dari mana ke mana, tapi dia jalan lambat sekali. 
Tahu kenapa?
Tangan kanan menarik gerobak, tangan kiri pegang tongkat. Ya, dia berjalan pakai tongkat sambil tetap bekerja menarik gerobak sampah. 
Pada usia sepuh seperti itu.

Saya sedikit menutup mata untuk menghindari rasa bersalah yang bisa datang tiba-tiba. Diam-diam saya berjanji tak akan mensyukuri pekerjaan menulis ini setelah melihat perjuangan bapak tua tadi. Sebelum saya bisa melakukan apa-apa untuk mereka, saya tak ingin menjadikan mereka ‘sarana’ untuk bersyukur.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain