“Kamu kenapa, yan?
Kayak lagi kepikiran apa,” tanya Samdy suatu sore. Dia reporter harian bisnis
ternama di Ibu Kota. Orangnya agak kaku, kadang bertindak sesuka hati, tapi
perlakuan dia ke saya sangat baik. Beberapa hari kemudian dia menghubungi lewat telepon ketika saya “bersemedi”
di kamar kos. Seingat saya, dia satu-satunya kawan yang menelepon ketika itu.
Kembali pada kisah
sore itu, saya memang sedang gamang. Saya ingin segera mengakhiri tanggung
jawab sebagai reporter di sana. Barangkali ini memang tak profesional, tapi
saya rasa kesalahan masa muda yang seperti ini janganlah sampai terulang lagi.
Belum sempat saya
bercerita kepadanya, dia sudah menyarankan kepada saya untuk pergi jalan-jalan melihat
orang lain yang hidupnya lebih keras.
“Aku gitu, yan. Kadang
jalan-jalan ke Senen, lihat orang-orang yang di jalan itu. Rasanya jadi lebih
bersyukur,” katanya membagi cerita.
Waktu itu saya
hanya mengangguk saja. Saya juga pernah mengalaminya, persis seperti itu.
Ketika hidup sedang terasa berat, lihatlah orang lain yang punya hidup jauh
lebih berat. Niscaya hidup kita akan terasa lebih ringan.
Teman saya yang
lain lagi juga pernah cerita hal serupa. Dia melakukannya dengan naik angkot ke
sekitar tempat kosnya. Dari angkot satu menyambung ke angkot yang lainnya. Dia
menjadi bersyukur dan hatinya gembira setelah melakukan hal itu.
Namun saya lalu
punya pertanyaan yang sebenarnya enggan saya tanyakan ke diri sendiri. Selain
karena tak tahu jawabnya, pertanyaan itu memunculkan rasa bersalah.
Pertanyaannya,
bukankah kita lalu menjadi egois jika demikian? Kita mengambil ‘keuntungan’
dari penderitaan yang mereka alami bukan? Mereka menderita, hidup sengsara,
lalu kita melihat mereka, mengamati dari jauh, lantas kita bersyukur dan
menjalani hidup kita dengan lebih baik. Andaikan kita jadi lebih baik, lalu
mereka bagaimana?
Kita tentu sepakat
bahwa yang kita lihat itu adalah manusia nyata yang menjalani kehidupan nyata
yang benar-benar keras. Narasi penderitaan mereka bukanlah seperti cerita film
yang bisa dibuat-buat oleh penulis cerita. Mereka manusia yang merasakan
penderitaan yang nyata. Pantaskah kita untuk memandang penderitaan mereka dan
mengambil manfaat itu untuk hidup kita sendiri?
Lantas saya
membela diri dengan menjawab asal, “Kita kan bisa membantu mereka, diri. Kita
sudah ambil kisah mereka untuk bikin hidup kita baik. Kita lalu bantu mereka,
meringankan penderitaan mereka.”
Namun bagian diri
lain menyela dengan cukup kerasnya, “Memang kamu bisa bantu apa, ha? Kasih
uang? Pasti habis! Lagipula, memangnya mereka pengemis yang butuh uang? Mau
kasih nasi bungkus? Kamu kira mereka bakal makan sendirian di jalan? Di rumah
ada keluarga mereka yang juga butuh makan! Mau kasih hiburan dengan datang ke
rumah? Memangnya dia butuh hiburan apa? dst..dst..”
Diri terus
bertanya dengan kejamnya. Tak habis-habis. Tanpa beri waktu dan jeda untuk
mencari jawab.
Dalam kekejaman
pertanyaan diri itu saya melanjutkan pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari ‘ketikan’,
jadi penulis konten website. Tidak sangat berat karena targetnya lebih
realistis bagi saya. Bagaimanapun, kadang itu membuat saya melamun di jalan.
Dalam lamunan di
atas kendaraan itu saya melaju di dekat SMA Bosa. Di sana saya melihat seorang
bapak tua yang menarik gerobak sampah
warna kuning pudar. Isi gerobak sudah agak penuh dengan sampah. Saya tak tahu
dia jalan dari mana ke mana, tapi dia jalan lambat sekali.
Tahu kenapa?
Tangan kanan
menarik gerobak, tangan kiri pegang tongkat. Ya, dia berjalan pakai tongkat
sambil tetap bekerja menarik gerobak sampah.
Pada usia sepuh seperti itu.
Saya sedikit
menutup mata untuk menghindari rasa bersalah yang bisa datang tiba-tiba. Diam-diam
saya berjanji tak akan mensyukuri pekerjaan menulis ini setelah melihat perjuangan
bapak tua tadi. Sebelum saya bisa melakukan apa-apa untuk mereka, saya tak
ingin menjadikan mereka ‘sarana’ untuk bersyukur.
No comments:
Post a Comment