Ketika membaca media online yang bukan media mainstream, biasanya saya hanya lewat saja tanpa pikir-pikir lagi. Apalagi kalau judul dan beritanya terkesan ngawur atau provokatif. Namun kali ini hasrat kepo saya atas sebuah media online tak tertahankan lagi, membuncah dan harus segera dilahap. Demikianlah kisahnya.
Nama
medianya bagus dan terkesan profesional: NasionalTimes. Di dalam laman ‘About
Us’ dituliskan bahwa mereka ‘..mewarnai
jagat pemberitaan online, memberikan konten berita terupdate dan terpercaya..’
untuk meyakinkan pembaca soal kredibilitas. Tak cukup dengan itu, mereka
meyakinkan pembaca lagi bahwa tim mereka ‘..terdiri
atas praktisi muda yang kompeten dalam bidang jurnalistik..’ Maka tak
diragukan lagi, ini adalah situs berita online. Kan begitu.
Baik.
Mari kita lihat produk beritanya.
Ada
dua berita yang menarik bagi saya. Pertama, berita berjudul ‘FBI: 94% SeranganTeroris Pelakunya Bukan Orang Islam’ yang jadi pilihan saya. Berita ini menarik
karena menepis sebagian besar anggapan masyarakat Barat soal orang Islam yang
diasosiasikan dengan pelaku aksi terorisme di berbagai belahan bumi.
Kita
tentu pernah dengar istilah ‘Islamophobia’ untuk menyebut kondisi ketakutan
masyarakat Barat terhadap orang Islam. Berbagai kalangan menyalahkan media
karena telah turut menebarkan ketakutan ini di benak masyarakat. Media yang
begini ini disebut sebagai ‘media sekuler’ yang memang berniat menjatuhkan nama
baik agama mayoritas di Indonesia ini.
Kita
kaji dari sisi judulnya dulu.
Dari
penggunaan imbuhan –nya untuk kata Pelaku, bisa diduga penulis ini terinspirasi
bahasa Jawa—demikian juga saya. Andreas Harsono pernah mengatakan soal ini
dalam tulisan-tulisannya. Di bahasa Jawa sering digunakan imbuhan –e untuk
menyebut banyak maksud. Kedua imbuhan ini yang lalu seringkali dianggap sama
dan dapat digunakan seenak hati. Maka, ‘..Serangan Teroris Pelakunya..’ lebih
baik diganti dengan ‘..Pelaku Serangan Teroris..’
Ada
lagi yang janggal? Ada. Terorisme adalah paham, sedangkan pelakunya adalah
teroris. Nah, kalau ‘Pelaku Serangan Teroris’ lantas bagaimana? Barangkali
maksudnya adalah ‘Pelaku Serangan Terorisme’ atau ‘94% Teroris Bukan Orang
Islam’ begitu.
Itu kritikan
saya soal judul. Namun sebenarnya berita ini menawarkan sesuatu yang cukup baik
untuk kita kenal, yaitu jurnalisme presisi. Intinya jurnalisme presisi ini
mendasarkan fakta yang diberitakan pada hasil-hasil riset yang dilakukan oleh
pihak tertentu. Karena hasil riset ilmiah, asumsinya adalah sudah pasti benar,
objektif, dan dapat dipercaya.
Mereka
membagikan data-data berupa angka, berapa persen serangan terorisme yang
dilakukan oleh orang Islam dan kelompok-kelompok lain. Disebutkan bahwa sejak
tahun 1980-2005 serangan terorisme yang dilakukan oleh ekstrimis Islam hanya 6
persen saja. Angka ini tergolong rendah bila dibandingkan ‘wilayah Latin’ (saya
tak paham maksudnya) yang mencapai 42 persen, kelompok ekstrim kiri 24 persen,
dan sebagainya.
Bahkan,
dalam berita ini dicantumkan dua tabel dan satu bagan untuk mempermudah pembaca
melihat perbandingan yang ada. Ini kan khas jurnalisme presisi. Cobalah lihat
Harian Kompas tiap hari Senin; mereka adalah contoh yang baik soal jurnalisme
yang satu ini.
Bukankah
itu bagus? Ya, bagus. Mereka menghadirkan nuansa baru di tengah ratusan media
online abal-abal yang hanya bisa copy
paste dan memuat hasutan sana sini. Menghadirkan data yang komplit dan
banyak adalah upaya yang bagus untuk ‘mencerdaskan kehidupan
bangsa’—sebagaimana tertuang dalam visi pertama situs berita online ini.
Namun
tunggu dulu, sebagai orang kepo, kita
harus cari tahu dari mana mereka dapat data
ini?
Syukurlah
mereka cukup terbuka soal ini. Ada dua sumber data yang mereka ajukan kepada
kita. Pertama, dua tabel ini didapat dari laporan tahunan yang dirilis oleh
Europol tahun 2006. Saya googling dan
membuka situs resmi Europol. Langsung saya menemukan apa yang saya cari,
laporan tahunan Europol tahun 2006 yang dirilis setahun sesudahnya. Namun sayang
sekali, barangkali saya yang tidak teliti, saya gagal menemukan data-data yang direferensikan
dalam berita itu.
Kedua,
kita intip situs yang sering mereka gunakan sebagai referensi.
Dalam
berita tersebut mereka mengaku mendapatkan data dari situs
loonwatch.com—belakangan saya tahu kalau situs ini sering mereka gunakan untuk
referensi data. Setelah saya baca, konten yang ada di situs ini sangat menarik.
Namun apa artinya loon? Situs MerriamWebster menyebutkan “loon (noun)”
sebagai [1] a person judged to be legally
or medically insane; [2] a stupid
person.
Pemilik
situs ini cukup serius dalam menciptakan eksistensi dirinya di dunia maya. Mereka
punya situs, laman Facebook, akun Twitter, dan siaran Youtube. Dengan kata
lain, mereka benar-benar memanfaatkan media baru untuk membentuk diri mereka,
untuk menyatakan bahwa di dunia maya ini mereka ada.
Ada yang
menarik soal tagline yang mereka
berikan. Ketika Kompas punya “Amanat Hati Nurani Rakyat” dan Tempo punya “Enak
Dibaca dan Perlu”, loonwatch.com punya “the
mooslims! they’re heeere!” Tagline tersebut
berada di samping seorang yang terlihat berteriak, mata terbuka lebar, dan berekspresi
ketakutan.
Rupanya
ini memang semangat mereka, yang tertuang dalam deskripsi di laman Facebook.
Begini bunyinya:
[tanda
kutip]
Loonwatch.com is a blogzine run by a
motley group of hate-allergic bloggers to monitor and expose the web’s plethora
of anti-Muslim loons, wackos, and conspiracy theorists.
While we find the sheer stupidity and
outrageousness of the loons to be a source of invaluable comedy, we also
recognize the seriousness of the danger they represent as dedicated
hatemongers. And so, while our style reflects our bemusement, our content is
fact checked and our sources well vetted making sure loonwatch.com is a
reliable educational - if entertaining - resource on the rambunctious
underworld of Muslim-bashing.
[tanda
kutip]
Setelah
membaca deskripsi ini, apa sikap anda terhadap kebenaran informasi yang
disampaikan loonwatch.com—yang kemudian direproduksi oleh NasionalTimes?
Biarlah
pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban dari saya. Kalau anda berkenan
menjawab, saya akan dengan senang hati duduk mendengar, mencatat, dan memahami
gagasan anda soal ini.
Lanjut
ke berita selanjutnya. Berita kedua yang saya amati berjudul “Dahulu Membantai
Umat Islam, Kini Myanmar Tertimpa Bencana Banjir Besar 50 Tewas” http://www.nasionaltimes.com/2015/08/04/dahulu-membantai-umat-islam-kini-myanmar-tertimpa-bencana-banjir-besar-50-tewas/479.html
Terus
terang saya sudah lelah, dan tidak cukup menganggarkan waktu, untuk menelusuri
lebih jauh berita ini. Namun dilihat dari judulnya saja kita sudah bisa
menangkap kesan yang muncul. Entah saya yang menginterpretasi secara berbeda
atau bagaimana ya. Setahu saya kata “Dahulu” dan “Kini” sering digunakan untuk
menunjukkan dimensi waktu. Seringkali juga digunakan untuk menunjukkan
perbedaan/perubahan/kontradiksi. Misalnya, “Dahulu aku membencimu, kini kau
tergila-gila mencintaiku.”
Dalam
judul ini, kesan yang saya tangkap adalah soal kasualitas alias sebab-akibat. “Dahulu”
dan “Kini” bukan lagi soal waktu, bukan lagi soal perubahan, tapi soal
penyebab. Maka yang saya tangkap adalah “Karena membantai umat Islam, Myanmar
dilanda banjir bla bla bla..”
Ah,
barangkali saya saja yang keliru menginterpretasi. Bagaimana mungkin para tim
redaksi yang “kompeten dalam bidang jurnalistik” dengan sengaja membuat judul
berita yang—kalau boleh saya katakan—provokatif?
Katakanlah
saya keliru, berati banyak orang juga keliru dengan saya. Buktinya? Mereka,
para akun-akun media sosial ini, berkomentar di bawah berita. Begini bunyi
komentarnya:
Pa*nut Ishak
Murka
dan laknat Allah baru turun untuk negara yang membantai umat islam [dapat 23 likes]
Ja*ilah Munir
Azab
Allah itu pasti turun, jika suatu kaum sudah melakukan kejahatan, dan jangan
lupa baca sejarah, bagaimana Allah juga
menimpakan azab bagi kaum yang engkar dan merusak. Maha benar Allah dengan
firman Nya [dapat 16 likes]
*erlina Lina
itu,,,,belum
sebrpa,,,masih ada yg lebih dahsyat lagi,,,,,
ALLAH
yg maha kuasa,,, [dapat 15 likes]
Lihat
kan? Betapa judul bisa memantik orang untuk berkomentar macam-macam? Padahal
kalau kita lihat isi beritanya, tidak ada sedikitpun yang menyinggung soal
pembantaian orang Islam di Myanmar beberapa saat lalu. Saya sendiri turut
bersedih—dan hanya bisa begitu—mendengar cerita pembantaian orang Islam di
Myanmar. Namun ketika isu ini diletakkan dalam judul, dengan konten berita yang
berbeda sama sekali, bukankah kita bisa dengan mudah mencerna ini sebagai
tindakan provokatif dari tim redaksi?
Bukan
hanya itu saja, para pembaca yang baik.. rupanya saya juga menemukan berita
yang sama persis, yaitu berita yang diterbitkan oleh CNN Indonesia dengan
berita berjudul “Dilanda Banjir, Myanmar Terancam Wabah Penyakit”
Ada beberapa
kemungkinan yang bisa kita ambil. Pertama, penulis berita itu adalah wartawan
yang sama, dia bekerja di dua media sekaligus. Kedua, CNN Indonesia melakukan
plagiasi terhadap Nasional Times. Ketiga, NasionalTimes melakukan plagiasi
terhadap CNN Indonesia.
Sekadar
informasi saja, berita yang di CNN Indonesia ditulis oleh Amanda Puspita Sari.
Sedangkan yang di NasionalTimes ditulis oleh Mutia Al Faris. Keduanya sama-sama
ditulis tanggal 4 Agustus 2015.
Andaikan
kita punya dua penulis berita yang berbeda, mana dari antara mereka yang melakukan
plagiasi? Media mana yang beritanya hanya modal “salin-tempel” saja tanpa ada
proses kerja jurnalistik yang memadahi?
Lagi-lagi,
saya akan membiarkan pertanyaan itu menggantung tanpa saya jawab. Barangkali
anda berpikir kalau tulisan ini tendensius; penulisnya tak memberikan jawaban
langsung tapi menyusun fakta-fakta untuk mengarah ke kesimpulan yang sama.
Biarlah begitu saja.
Pesan
moralnya, pilihlah bacaan yang berkualitas. Bukan hanya media mainstream seperti Kompas dan Tempo
saja, tetapi juga situs online yang dikelola komunitas warga. Namun pastikan
dulu situs-situs yang anda baca memang berkualitas, gunakan seluruh intuisi dan
kemampuan me-ngepo anda. Pastikan
anda tak menyia-nyiakan talenta itu.
Uwaaaaaaaaaaa
ReplyDelete