Berpikir
buruk: suudzon
Berpikir
baik: husnudzon
Tidak
berpikir: fadlizon
Pernah
dengar plesetan ini?
Hinaan
ini menjadi populer di media sosial setelah Fadli Zon turut hadir di acara bakal
calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Trump Tower, New York, Amerika
Serikat beberapa waktu yang lalu. Tentu saja tindakan yang diambilnya ini
membuat rakyat sangat kecewa. Selain karena ada sentimen kebencian terhadap
negara adidaya ini, rakyat juga sensitif dengan agenda perjalanan luar negeri
para anggota DPR yang menghabiskan duit hingga miliaran rupiah. Penggunaan
anggaran dianggap tidak transparan, dan rakyat tidak langsung merasakan
hasilnya.
Barangkali
sebagian besar dari kita sudah telanjur yakin bahwa anggota DPR itu bodoh, tak
bermoral, sok cerdas, sok pakai kata-kata tingkat tinggi, pemalas, penggila
bokep, gampang disogok, serta keburukan lain
yang adalah seburuk-buruknya manusia. Sebajingan-bajingannya orang.
Seasu-asunya manusia hidup. Namun teman-teman... kok menurut saya itu tidak lantas
membuat kita berhak mengata-ngatai anggota DPR sesuka hati ya.
Betul
bahwa kita bebas berpendapat. Betul bahwa kita juga bebas mengkritik siapapun,
apalagi pejabat negara yang hidupnya kita tanggung (betapa pedenya kita!).
Namun apakah kita nggak bosan tuh baca kata-kata pisuhan mengalir di mana-mana?
Kata-kata keras dan umpatan-umpatan merendahkan lama-lama menjadi sangat biasa,
terutama ketika ditulis di kolom komentar yang cuma seuprit. Netizen nulis
hanya sekian kata atau sedikit kalimat, tapi kata-kata umpatannya udah beberapa
kali disebut. Ya itu ungkapan kekesalan saja ya mungkin, tapi terus terang kita
lama-lama juga perlu mengidentifikasi komentar macam itu sebagai sampah. Sampah
yang tak lebih baik dari mereka yang dikritik.
Salah
satu contoh yang menarik muncul belakangan ini. Pada Kamis (17/9) seorang
reporter hai-online.com Yorgi Guzman menurunkan berita soal tulisan Fadli Zon
tahun 1990 yang mengkritik musik metal, lirik, serta selera anak muda di
jamannya yang dianggapnya latah. Saat itu Fadli Zon masih sekolah di SMA 31
Jakarta Timur.
Baca: Fadli Zon Mengkritik Musik Metal di Kolom Pembaca Majalah Hai
Saya
ulangi sekali lagi, saat itu tahun 1990 dan Fadli Zon masih SMA. Kalau sekarang
umur dia 44 tahun, tulisan itu dibikin ketika dia umur 19 tahun (umur segitu
kalian ngapain, bung?). Hal ini tampaknya tidak begitu disadari oleh para
komentator ulung di bawah berita itu. Mereka menolak keras pendapat Fadli Zon
ini, seakan-akan Fadli Zon mengatakannya baru beberapa menit lalu dan
berkapasitas sebagai Wakil Ketua DPR. Guys,
mas, bos, bung, om, itu sudah 25 tahun yang lalu kali. Lagipula kalau dilihat
secara objektif, tulisan itu juga opini yang disuarakan lewat media. Selain beropini
itu seperti yang sering dibilang tadi (bebas—red), tulisan itu juga dimuat di
media, artinya media tersebut juga punya misi yang ingin disampaikan lewat
opini tersebut.
Maka,
meskipun hanya plesetan saja, saya menolak kalau Fadli Zon itu disebut tidak
berpikir. Menulis opini itu nggak mudah, apalagi untuk seusia anak SMA. Maksud
saya, dia bisa berpikir, bung! Coba deh, kalau mau kita bikin tulisan tandingan atas opini Fadli Zon
tadi, tapi yang nulis adalah orang-orang yang komen pating ceblung tadi. Tulis yang panjang, pakai data dan contoh,
bangun argumen yang rapi. Ah, bagaimanapun ini pasti nggak adil ya, karena
tahun 1990 punya dinamika informasi yang
sangat beda dengan tahun 2015.
Bukan,
saya bukan mau membela Fadli Zon, ngapain juga saya bela. ‘Dosa’nya juga tidak
berkurang walaupun dia sudah dicaci dengan kata apapun, karena apapun. Saya cuma
resah aja sama keadaan ‘kebebasan berpendapat’ macam begini. Betul orang bebas
berpendapat dan itu bagian dari demokrasi yang diimpi-impikan, tapi sebaiknya
tingkatkan dulu kapasitas intelektual untuk mengungkapkan pendapat itu. Sekarang
udah bukan jamannya lagi ngata-ngatain pejabat pakai kata-kata umpatan, itu
sudah sejak jaman Gie jadi aktivis berpuluh-puluh tahun lampau. Sebaiknya sekarang
saatnya mengeksplorasi ide, memperkaya istilah dan kosakata, ketangkasan
membangun argumentasi, dan kecerdasan melahirkan solusi untuk menanggapi
kebiadaban para pejabat ini.
Seperti
yang dilakukan Endank Soekamti, misalnya, mereka melawan industri musik
Indonesia tidak dengan frontal berhadap-hadapan dengan pelaku, tetapi dengan
menciptakan pilihan lain alias menciptakan alternatif. Proyek alternatif
seperti itu nggak akan bisa jalan kalau nggak punya kecerdasan yang cukup serta
ketangguhan mental yang prima. Ikuti aja video-video mereka di Youtube,
melelahkan bos!
Balik
lagi ke tulisan Fadli Zon, banyak orang bilang dia tidak konsisten. Dari mana
mereka memberi label itu? Dari tulisan Fadli Zon 25 tahun lampau dengan apa
yang dia lakukan sekarang? Semoga bukan. Sebab kalau memang iya, betapa ndagelnya
kita.
Masalahnya,
25 tahun itu waktu yang sangat memungkinkan bagi seseorang untuk berkembang.
Gie, misalnya, selama masa remaja dan kuliah dia adalah orang yang sangat
kritis. Namun beberapa bulan sebelum dia meninggal sehari sebelum ulang tahun
ke 27, dia menulis bahwa dirinya sudah berubah, tak lagi seperti dulu. Marx
juga begitu, tulisan Marx Muda dan Marx Tua juga punya perbedaan yang tajam. Barangkali
kedua tokoh ini nggak sebanding dengan Fadli Zon, ya? Baiklah, tapi poin yang
ingin saya tuju adalah orang sangat mungkin mengalami perkembangan pikiran
dalam waktu sekian tahun. Soal berkembangnya ke arah mana, itu soal lain lagi. Barangkali
itu juga yang terjadi pada Fadli Zon.
Untuk
menutup tulisan ini, saya sekadar mengingatkan diri sendiri dan anda semua
untuk rajin membaca, rajin berpikir, berdiskusi, dan jangan lupa mengendapkan
rasa dan pikiran yang melayang-layang. Umpatan dan kata kasar tak akan mengubah
anggota DPR dan tak akan membuat rakyat makmur. Percayalah. Mari mulai melatih
diri sendiri untuk jadi orang pintar berbuat, bukan mengumpat saja.
Sekali lagi,
saya tak membela Fadli Zon, hanya memberikan alternatif pandangan lain yang
lebih jernih saja soal tulisan dia dan tulisan kebanyakan dari kita.
No comments:
Post a Comment