08 September 2015

Radius 1 Kilometer

Akhir bulan kemarin saya ikut event olahraga di almamater. Event ini bisa dikatakan sukses karena tiket sold out pada H-sekian. Dengar-dengar, tiket yang terjual sekitar 3.000 lembar. Beberapa acaranya adalah lari (pakai bubble dan warna), penampilan musik, pembagian doorprize, dan musik ala dugem. Nah, yang terakhir ini yang membuat saya terdiam dan merenung.

Terus terang, kalau tidak gratis dan tidak diajak oleh keluarga, saya tak akan ikut acara ini. Bukan apa-apa, saya hanya tak terbiasa berlari. Dan betul, setelah lari yang hanya 5 kilometer saja kaki rasanya pegal semua. Apalagi kalau acaranya pakai serbuk warna, duh, makin tak minat ikut. Sekalipun tak terlintas untuk bangga belepotan warna lalu selfie bareng teman-teman.

Namun yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Meski judulnya bubble, rupanya mereka juga pakai serbuk warna. Tak bisa menghindar, seluruh badan saya ikut kena warna kuning, hijau, biru, dan merah muda. Campur keringat. Campur bau badan. Sampai garis finish saya langsung ke kamar mandi untuk cuci muka, rambut, tangan, dan ganti kaos.

Kemudian saya mendekat ke panggung untuk menikmati musik. Ratusan anak muda berusia beberapa tahun di  bawah saya melonjak-lonjak di depan panggung. Mereka nyanyi bersama sambil sesekali melemparkan serbuk warna. Badan mereka belepotan warna dan muka mereka memancarkan energi masa muda yang bersenang-senang.

Energi mereka terlihat memuncak ketika acara terakhir adalah pemutaran musik jedag jedug ala dugem. Di panggung ada beberapa orang: DJ, penyanyi, dua orang penari yang seksi (ini beneran seksi), dan mungkin beberapa operator. Saya terdiam melihat energi anak muda sebesar itu. Mereka terlihat bahagia dan lepas sekali.

Dari situlah saya lalu berpikir...saya kok tak merasa bisa seperti itu ya. Loncat-loncat, nyanyi bareng, melepaskan energi, bersenang-senang melupakan kehidupan nyata. Ketika melihat teman-teman sedang merasakan euforia seperti itu, kenapa saya justru teringat orang-orang melas-tertindas yang pasti ada dalam radius 1 kilometer dari tempat mereka berdiri.

Kok bisa ya bersenang-senang sampai lepas begitu, sementara di dekat mereka ada yang merana? Bagaimana bisa mereka bersenang-senang mengeluarkan uang Rp100 ribu untuk beli tiket, lalu ketika pulang melihat para pemulung berebutan ambil botol kemasan yang mereka buang untuk dapat uang yang tak seberapa?

Barangkali saya berlebihan. Orang miskin tentu bukan urusan anak muda. Orang miskin kan diurus oleh negara, begitu bukan?

Begitu juga ketika saya bersepeda di jalan-jalan kota. Rasanya nikmat, berolahraga sambil menyegarkan pikiran setelah duduk beberapa jam untuk bekerja. Namun seringkali saya bertemu orang tua yang naik sepeda butut sambil bawa barang dagangan. Saya bersenang-senang, mereka bekerja keras mencari uang untuk bertahan hidup. Entah dapat duit berapa hari itu, mereka sudah makan atau belum, dan berbagai pikiran iba tiba-tiba merangsek memenuhi diri saya.

Kita harus bersyukur, ya tentu saja. Namun lagi-lagi, syukur saja tak cukup—seperti tulisan saya sebelumnya. Menulis saja juga tak cukup barangkali, tapi setidaknya hal-hal yang menyentuh nurani seperti ini jangan pernah anda abaikan dalam hidup. Suatu saat ketika semua terasa mapan dan siap, saya pasti akan bergerak, tak hanya menulis begini.


Satu hal yang saya garis bawahi, ekspresi dan upaya mencapai kebahagiaan barangkali bisa bermacam-macam. Ikut event lari, lonjak-lonjak menikmati musik, dan menutup mata terhadap kisah sengsara orang lain barangkali beberapa cara untuk mencapai kebahagiaan itu. Namun sepertinya bukan itu cara saya--dan mungkin beberapa dari anda.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain