Akhir
bulan kemarin saya ikut event olahraga di almamater. Event ini bisa dikatakan
sukses karena tiket sold out pada H-sekian. Dengar-dengar, tiket yang terjual
sekitar 3.000 lembar. Beberapa acaranya adalah lari (pakai bubble dan warna), penampilan musik, pembagian doorprize, dan musik ala dugem. Nah, yang terakhir ini yang membuat
saya terdiam dan merenung.
Terus
terang, kalau tidak gratis dan tidak diajak oleh keluarga, saya tak akan ikut
acara ini. Bukan apa-apa, saya hanya tak terbiasa berlari. Dan betul, setelah lari
yang hanya 5 kilometer saja kaki rasanya pegal semua. Apalagi kalau acaranya
pakai serbuk warna, duh, makin tak minat ikut. Sekalipun tak terlintas untuk
bangga belepotan warna lalu selfie bareng
teman-teman.
Namun
yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Meski judulnya bubble, rupanya mereka juga pakai serbuk warna. Tak bisa menghindar,
seluruh badan saya ikut kena warna kuning, hijau, biru, dan merah muda. Campur keringat.
Campur bau badan. Sampai garis finish saya langsung ke kamar mandi untuk cuci
muka, rambut, tangan, dan ganti kaos.
Kemudian
saya mendekat ke panggung untuk menikmati musik. Ratusan anak muda berusia
beberapa tahun di bawah saya melonjak-lonjak
di depan panggung. Mereka nyanyi bersama sambil sesekali melemparkan serbuk
warna. Badan mereka belepotan warna dan muka mereka memancarkan energi masa
muda yang bersenang-senang.
Energi
mereka terlihat memuncak ketika acara terakhir adalah pemutaran musik jedag
jedug ala dugem. Di panggung ada beberapa orang: DJ, penyanyi, dua orang penari
yang seksi (ini beneran seksi), dan mungkin beberapa operator. Saya terdiam
melihat energi anak muda sebesar itu. Mereka terlihat bahagia dan lepas sekali.
Dari
situlah saya lalu berpikir...saya kok tak merasa bisa seperti itu ya. Loncat-loncat,
nyanyi bareng, melepaskan energi, bersenang-senang melupakan kehidupan nyata. Ketika
melihat teman-teman sedang merasakan euforia seperti itu, kenapa saya justru
teringat orang-orang melas-tertindas yang pasti ada dalam radius 1 kilometer
dari tempat mereka berdiri.
Kok
bisa ya bersenang-senang sampai lepas begitu, sementara di dekat mereka ada
yang merana? Bagaimana bisa mereka bersenang-senang mengeluarkan uang Rp100
ribu untuk beli tiket, lalu ketika pulang melihat para pemulung berebutan ambil
botol kemasan yang mereka buang untuk dapat uang yang tak seberapa?
Barangkali
saya berlebihan. Orang miskin tentu bukan urusan anak muda. Orang miskin kan diurus
oleh negara, begitu bukan?
Begitu
juga ketika saya bersepeda di jalan-jalan kota. Rasanya nikmat, berolahraga
sambil menyegarkan pikiran setelah duduk beberapa jam untuk bekerja. Namun seringkali
saya bertemu orang tua yang naik sepeda butut sambil bawa barang dagangan. Saya
bersenang-senang, mereka bekerja keras mencari uang untuk bertahan hidup. Entah
dapat duit berapa hari itu, mereka sudah makan atau belum, dan berbagai pikiran
iba tiba-tiba merangsek memenuhi diri saya.
Kita
harus bersyukur, ya tentu saja. Namun lagi-lagi, syukur saja tak cukup—seperti
tulisan saya sebelumnya. Menulis saja juga tak cukup barangkali, tapi
setidaknya hal-hal yang menyentuh nurani seperti ini jangan pernah anda abaikan
dalam hidup. Suatu saat ketika semua terasa mapan dan siap, saya pasti akan
bergerak, tak hanya menulis begini.
Satu
hal yang saya garis bawahi, ekspresi dan upaya mencapai kebahagiaan barangkali
bisa bermacam-macam. Ikut event lari, lonjak-lonjak menikmati musik, dan
menutup mata terhadap kisah sengsara orang lain barangkali beberapa cara untuk
mencapai kebahagiaan itu. Namun sepertinya bukan itu cara saya--dan mungkin beberapa dari anda.
No comments:
Post a Comment