Skip to main content

titik dua petik tunggal kurung tutup adalah selamat tinggal

Tante pegawai punya media sosial. Dia pakai akun itu untuk buku harian dan album fotonya. Setiap hari dia cerita kalau dia sedang bahagia, kecewa, hingga marah. Dia juga cerita soal pacar, mantan(nya) pacar, teman kantor, hingga orang rumah. Pernah dia cerita kalau habis gajian, katanya bikin semangat kerja. Pernah juga dia unggah capture-an obrolan di grup karena dia habis menyapa anggota grup satu-per-satu.

Setiap saat dia unggah foto selfie—yang mukanya gitu-gitu aja. Pagi sampai kantor selfie (sambil bilang ‘muka bantal’), istirahat siang selfie, nganggur habis makan siang selfie, ketika bekerja selfie, hingga ketika leyeh-leyeh di rumah dia motret foto kakinya (termasuk selfie nggak ini?). Setiap minggu pagi dia unggah foto selfie (atau wefie?) bareng ibunya di gereja atau di dalam mobil mau ke gereja. Tak lupa dia bilang, “Happy Sunday all..”

Suatu saat ada tombol bersinar yang mencuri pandang. Kalau nggak salah tulisan di tombol itu “unfriend.”

Seketika tante pegawai lenyap dari pandangan. Buku harian dan etalase fotonya kini sedang dipikul oleh orang lain dengan wajah datar.


:’) 

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.