Skip to main content

Jangan Baca, Anda Berisiko Sakit Hati

cerita kali ini nylekit, dungu, nyinyir, dan beraura negatif. anda-anda yang tidak siap sakit hati lebih baik berhenti baca sampai di sini.

saya punya banyak cerita soal kepalsuan di sekitar saya. soal ucapan-ucapan bela sungkawa yang menurut saya hanya mbanyaki; ikut tenar sajamisal, ketika tragedi paris terjadi lalu banyak yang mengecam di media sosial sambil menyertakan foto diri mereka dengan latar belakang menara terkenal itu. mau berbela sungkawa, mbanyaki, atau pamer?

begitu juga dengan mereka yang mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya rama puja. mereka share foto, share nasihat, seakan ingin mengatakan, “saya dekat, dan saya kehilangan.” rama puja memang uskup di keuskupan agung semarang, beliau orang tertinggi di struktur lembaga agama katolik di keuskupan tersebut. meski begitu dia sangatlah rendah hati, lembut tutur katanya, dan baik budinya.

atau ucapan bela sungkawa karena seorang mahasiswa indonesia meninggal karena kecelakaan bus di as beberapa waktu lalu. almarhum 4 tahun di bawah saya, kami satu alma mater. berita soal ini tersebar di berbagai media mainstream. di media sosial banyak teman yang mengucapkan, seakan-akan mereka kenal secara pribadi. seakan-akan ingin semua orang tahu bahwa almarhum dan dirinya berasal dari satu sekolah yang sama. untuk apa?

namun saya menahan ketiga tulisan itu dan merangkumnya jadi satu. itupun tanpa penjelasan panjang lebar. mengapa? karena saya akhirnya sadar telah menghabiskan energi untuk hal yang sia-sia saja. ada banyak hal yang lebih layak dituliskan hingga leher mengeras kaku. ada banyak hal yang lebih bisa diperjuangkan daripada ngurusi orang-orang yang kaget dengan teknologi ini.

maka mari lupakan tulisan ini, ampuni pikiran buruk saya, lantas melanjutkan tugas masing-masing yang telah menanti.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.