Skip to main content

Melewatkan Informasi

Beberapa kali hal menarik melintas di depan mata. Pikiran saya langsung ke jalur: wah menarik ini kalau dibawa ke prodi. Maklum, tujuh tahun terbiasa berpikir dengan jalur otak yang begitu. Namun tiba-tiba tersadar kalau saya bukan lagi dosen--dan itu langkah yang saya pilih sendiri. 

Lalu sempat berpikir untuk menghubungi kawan-kawan yang masih ada di sana. Namun saya tersadar lagi, mereka pasti punya kesibukan dan prioritas sendiri. Saya juga kemungkinan keliru kalau mereka tak dapat informasi menarik itu. Hla wong sama-sama generasi digital (meski imigran).

Jadi mau diapakan yang menarik itu? Bagikan ke kawan-kawan dosen atau biarkan saja? Kalau ada yang terlalu menarik untuk dilewatkan, saya pasti bagikan. Kalau perlu ajak kolaborasi. Contohnya beberapa waktu lalu menulis bareng salah satu kawan dosen dalam salah satu kompetisi, kami dapat peringkat dua. 

Kalau informasi lainnya? Ya mungkin biarkan lewat saja.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.