Skip to main content

Sepertinya, Kita Tidak Berdiri di Bawah Langit yang Sama

"Baru pertama kali saya lihat langsung langit yang bersih, lalu bintang-bintangnya kelihatan. Indah banget," katanya. Saat bercerita, matanya berkaca-kaca menerawang momen itu. Seakan itu salah satu pengalaman paling berharga pada masa-masa awal kedatangannya ke Australia.

Lelaki pekerja keras ini mulai dimakan usia. Tubuhnya sudah agak bungkuk. Rambut putih juga mulai mengusir kegelapan di kepala. Namun geraknya masih lincah dan tampak kedua kakinya masih kokoh dipakai berjalan jauh. Sejauh perjalanannya dari Jakarta hingga kini menjadi warga negara Australia.

Salah satu alasan terkuatnya meninggalkan Tanah Air adalah kerusuhan rasial tahun '98. Beruntung, dia dan keluarganya tidak menjadi korban langsung karena tinggal di area yang jauh dari amuk massa. Namun situasi mencekam itu membuatnya tidak merasa aman untuk melanjutkan hidup di Indonesia. Lalu entah dengan cara bagaimana, dia tiba di Australia untuk memulai hidup baru.

Negeri kangguru ini bagi dia indah sekali. Udaranya segar. Langitnya bersih dan minim polusi. Kondisi alamnya betul-betul dijaga. Sejak tinggal di sini dia jatuh cinta dengan kegiatan 'jalan-jalan menikmati alam.' 

Suatu waktu dia bersama keluarga kecilnya pergi ke kaki gunung. Mereka dirikan tenda di sana untuk menginap semalam. Lalu percakapan di awal tulisan itu muncul. Dia tampak betul-betul terpukau melihat langit bertabur bintang semacam itu.

"Agak jauh dari sini, sekitar tiga jam juga ada pantai yang bagus. Pasirnya putih, bersih, luas," katanya. Setelah itu dia juga menyebut beberapa pantai yang dia datangi bersama keluarga. Beberapa pantai itu ada di state tetangga, bukan Queensland lagi.

Alih-alih memvisualisasikan situasinya, saya malah jadi penasaran. Kehidupan seperti apa yang dia alami di Jakarta hingga tak pernah melihat langit malam bertabur bintang dan pasir putih yang bersih?

Saya melihat langit malam bertabur bintang di banyak tempat dengan mudah. Di Jogja, Sleman, Muntilan, bahkan Semarang. Tidak harus bermalam di lereng gunung. Bahkan saya pernah mengalami bulan purnama yang cahayanya sangat terang di sebuah pedesaan di Klaten. Saking terangnya sampai bikin kita bisa berjalan malam-malam tanpa bantuan lampu.

Berkendara ke Gunung Kidul, saya ketemu banyak pantai yang indah. Aksesnya tidak semua bagus, memang. Apalagi kalau menelusuri pantai-pantai di Maluku dan sekitarnya. Masih banyak pantai-pantai yang bersih dan tanpa sampah karena memang sepi aktivitas manusia.

Itu semua pernah saya alami langsung, tapi tidak dengan bapak-bapak tadi. Apa karena saya dulu tinggal di Jogja dan dia di Jakarta? Bagaimana kehidupannya dulu ketika di Jakarta?

Saya tidak tahu pasti. Namun dari cerita itu saya kok jadi meragukan omongan bahwa kita semua berada di bawah langit yang sama. Sepertinya kita punya langit sendiri-sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.