Skip to main content

Mengkritik Para Tukang Kritik

Sementara otak di belakang mata sibuk menyusun kalimat runtut dari semesta ide yang begitu chaos, jutaan informasi di Facebook malah sedang gemar bikin rusuh.

Mereka, para anggota golongan yang dianggap pintar, tampaknya memang dituntut untuk melihat dari sisi lain. Dari akun Facebook itu mereka pamer pandangannya yang beda dari orang kebanyakan.

Itu buruk? Itu bagus. Kita butuh bantuan untuk melepaskan diri dari jerat pandangan dominan yang seringkali angkuh dan dungu.

Namun kadang kapasitas mereka kurang untuk itu. Sebenarnya sih pantas-pantas saja untuk punya pandangan berbeda. Asal.... asal mereka bisa menjelaskan argumennya dengan runtut dan terang.

Bayangkan kalau tidak? Mereka tak beda dengan pemuda seusia SMA yang sedang nakal-nakalnya dan pokoknya “waton beda” kalau sedang dinasehati guru.

Ya.. semacam inilah, orang-orang yang ikut-ikutan tokoh terhormat seperti Gus Dur yang senang bilang “Gitu aja kok repot?”

Pastikan kapasitas intelektual kita setara dengan Gus Dur, baru pantas bilang begitu. Bukan apa-apa, tapi menurut saya ungkapan itu muncul dari hasil kompleksitas berpikir, bukan malas dan terbatas.

Ungkapan itu tak hanya hasil dari melahap segudang buku dan diskusi, tetapi juga pengolahan batin yang taat.

Jadi, pantaskan diri dululah.

Tapi kan tetap bebas mas nulis di Facebook? Akun akun saya ini, enggak suka tinggal delete friend beres.

Iyo wis, betul. Biar cepet.

Ha trus kamu ini ngapain mas? Kerja enggak, tugas akhir enggak rampung-rampung, malah mengkritik mereka yang tukang kritik. Emang kapasitasmu udah pantas buat melontarkan kritik? Argumenmu apa mas? Mas?? Mas!? Woo.. AS*!!

.... (kencangkan suara musik)...


Jogja 

23052016

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.