via techbloke.com |
Banyak orang merasa
perlu dikenal. Lalu nama (dan ‘nama’) menjadi begitu penting untuk mereka
sebarkan dengan banyak cara: mulai dari cara yang halus dan elegan, sampai cara
yang murahan dan umpak-umpakan. Tujuannya
sama, supaya mereka tidak menjadi nobody di
tengah kumpulan manusia yang plural ini; supaya mereka punya identitas.
Namun janganlah
jauh-jauh ke persoalan identitas, mari bicara dahulu soal nama.
Para calon anggota
legislatif menempelkan nama (termasuk foto dan nomor urut) mereka di setiap
ruang publik.
Nama anak digunakan
sebagai merek bakpia di daerah Patuk, Jalan KS Tubun, Yogyakarta.
Nama ibu atau nama
sendiri (biasa pakai kata ‘mbok’) digunakan sebagai merek gudeg di banyak
tempat di Yogyakarta.
Kantor hukum dan law
firm menggunakan nama besar pengacara sebagai merek mereka. Biasanya dua nama,
atau satu nama saja dengan ditambahi ‘dan partner.’ Biasanya hlo ya.
Di kalangan anak-anak
nongkrong pun mereka saling bersalaman lalu menyebut nama masing-masing.
Dengan mengingat dan
menyebut nama, orang dianggap menghargai orang lain. Kadang, mengingat nama juga adalah tanda keakraban.
“Maaf saya ingat
kamu, tapi lupa namamu,” jadi sering diucapkan. Lupa nama seseorang adalah
kesalahan.
Namun dunia tak
sesempit itu.
Di Yogyakarta, penting tidaknya sebuah nama bisa jadi sangat
cair - setidaknya itu yang saya rasakan.
Kira-kira begini. Para
wisatawan, atau pendatang baru, biasa cari makan di angkringan yang sudah punya
nama besar. Terkenal. Apalagi instagramable.
Namun orang Jogja,
atau yang sudah lama tinggal di Jogja, biasanya tak ambil pusing. Mereka sangat
menikmati makan di angkringan-angkringan kecil tak bernama. Angkringan yang hanya
menyediakan dua jenis nasi kucing, dengan lauk-lauk yang biasa saja.
Di dalamnya bertemu
dengan penjual dan pembeli, lalu ngobrol soal cuaca sampai politik. Memanggil
penjual dengan ‘lik’ (singkatan dari ‘pak lik’; ‘bapak cilik’) yang artinya
paman. Bilang ‘amit’ kalau mau ambil sendok atau gorengan di depan orang.
Berpamitan kalau mau pulang duluan.
Rasanya hangat,
dekat, dan bersahabat. Lebih penting lagi, mereka belum tentu mengetahui nama
satu sama lain. Mereka juga tak tahu apakah mereka akan bertemu lagi di
angkringan yang sama suatu saat nanti.
Jadi,
mengenal dan mengingat nama tidak penting?
Penting. Namun dalam konteks
tertentu, perjumpaanlah yang membuat kita lebih mengenal orang lain. Dengan mengenal, kita menghargai. Dengan menghargai, kita memanusiakan manusia.
Bukankah tugas kita memang untuk menjadi manusia seutuhnya?
Jadi.. mari kita segera
berjumpa; dengan atau tanpa nama.
Mari kita berjumpa dan berelasi.
ReplyDelete