30 May 2016

Dengan atau Tanpa Nama, Mari Kita Berjumpa !

via techbloke.com

Banyak orang merasa perlu dikenal. Lalu nama (dan ‘nama’) menjadi begitu penting untuk mereka sebarkan dengan banyak cara: mulai dari cara yang halus dan elegan, sampai cara yang murahan dan umpak-umpakan. Tujuannya sama, supaya mereka tidak menjadi nobody di tengah kumpulan manusia yang plural ini; supaya mereka punya identitas.

Namun janganlah jauh-jauh ke persoalan identitas, mari bicara dahulu soal nama.

Para calon anggota legislatif menempelkan nama (termasuk foto dan nomor urut) mereka di setiap ruang publik.

Nama anak digunakan sebagai merek bakpia di daerah Patuk, Jalan KS Tubun, Yogyakarta.

Nama ibu atau nama sendiri (biasa pakai kata ‘mbok’) digunakan sebagai merek gudeg di banyak tempat di Yogyakarta.

Kantor hukum dan law firm menggunakan nama besar pengacara sebagai merek mereka. Biasanya dua nama, atau satu nama saja dengan ditambahi ‘dan partner.’ Biasanya hlo ya.

Di kalangan anak-anak nongkrong pun mereka saling bersalaman lalu menyebut nama masing-masing.

Dengan mengingat dan menyebut nama, orang dianggap menghargai orang lain. Kadang, mengingat nama juga adalah tanda keakraban.

“Maaf saya ingat kamu, tapi lupa namamu,” jadi sering diucapkan. Lupa nama seseorang adalah kesalahan.
 
via angkringansegokucing.blogspot.co.id
Namun dunia tak sesempit itu.

Di Yogyakarta, penting tidaknya sebuah nama bisa jadi sangat cair - setidaknya itu yang saya rasakan.

Kira-kira begini. Para wisatawan, atau pendatang baru, biasa cari makan di angkringan yang sudah punya nama besar. Terkenal. Apalagi instagramable.

Namun orang Jogja, atau yang sudah lama tinggal di Jogja, biasanya tak ambil pusing. Mereka sangat menikmati makan di angkringan-angkringan kecil tak bernama. Angkringan yang hanya menyediakan dua jenis nasi kucing, dengan lauk-lauk yang biasa saja.

Di dalamnya bertemu dengan penjual dan pembeli, lalu ngobrol soal cuaca sampai politik. Memanggil penjual dengan ‘lik’ (singkatan dari ‘pak lik’; ‘bapak cilik’) yang artinya paman. Bilang ‘amit’ kalau mau ambil sendok atau gorengan di depan orang. Berpamitan kalau mau pulang duluan.

Rasanya hangat, dekat, dan bersahabat. Lebih penting lagi, mereka belum tentu mengetahui nama satu sama lain. Mereka juga tak tahu apakah mereka akan bertemu lagi di angkringan yang sama suatu saat nanti.

Jadi, mengenal dan mengingat nama tidak penting?

Penting. Namun dalam konteks tertentu, perjumpaanlah yang membuat kita lebih mengenal orang lain. Dengan mengenal, kita menghargai. Dengan menghargai, kita memanusiakan manusia. 

Bukankah tugas kita memang untuk menjadi manusia seutuhnya?

Jadi.. mari kita segera berjumpa; dengan atau tanpa nama.

1 comment:

Baca Tulisan Lain