Jogja sedang bermasalah. Ini bukan persoalan biasa yang dipandang warga dengan berlebihan. Jogja memang sedang bermasalah. Masalahnya bisa jadi masalah politik, kebudayaan, sosial, ataupun—yang seringkali disebut banyak orang dengan—kemelorotan moral generasi Y.
Saya coba urai
pemantik-pemantik besar yang (kebetulan saja) nyantol di kepala. Dimulai dari
yang paling baru, yakni kesurupan massal yang dialami siswa Tangerang yang
sedang berlibur ke Jogja.
» Kesurupan Massal –
Ketidaksopanan Wisatawan
Kabarnya, mereka kesurupan karena ada salah satu dari kawan mereka yang iseng menggeser batu ketika mereka sedang berada di kawasan Candi Borobudur. Lihat akun Twitter @BerandaJogja untuk membaca lebih lanjut.
Tengah malam itu juga
siswa pelaku langsung diantar ke Candi Borobudur untuk mengembalikan lokasi
batu yang dia geser. Tak lupa dia, dan orang-orang dewasa yang bertanggung
jawab atasnya, “meminta maaf” atas ketidaksopanan yang dia lakukan.
Ratusan akun Twitter
meretweet informasi yang dibagikan. Responsnya bermacam-macam. Ada yang menulis
“Jagalah Jogja beserta isinya” meskipun Candi Borbodur berada di wilayah
administratif Magelang (Prov. Jawa Tengah), bukan DIY. Ada juga yang
menyinggung soal ketidaksopanan siswa wisatawan dari luar kota yang memang
tidak diperhatikan ketika berkunjung ke Jogja.
Nah, untuk yang
terakhir ini saya merasakan betul. Memang terasa kecenderungan orang-orang luar
kota, terutama dari sekitar kawasan Metropolitan, tidak sopan. Ini bukan
persoalan etiket/sopan santun yang punya standar berbeda di tiap kultur. Namun saya
lebih melihat bahwa mereka dari “pusat” datang ke “daerah” yang asosiasinya
lebih rendah. Mereka datang dari kawasan metro dengan segala kemewahan dan
kekerenan, masuk ke kawasan lawas yang sederhana dan mencontoh-contoh orang
kota.
Mereka datang dari
atas ke bawah. Mereka jalan dan liburan ke Jogja dengan kepala mendongak. Mereka
juga punya banyak uang untuk beli nasi-nasi angkringan di sini. Saya menuduh,
inilah yang ada di dalam pikiran mereka. Pikiran itu pulalah yang membuat mereka
merasa bisa berperilaku seenaknya—termasuk menggeser batu candi.
Namun tentu saja, tidak
semua wisatawan demikian. Banyak juga wisatawan yang benar-benar sopan dan mau
menghormati kawasan Jogja. Hormat selalu untuk anda yang merasa bagian dari
wisatawan yang terakhir ini.
Update: "Penunggu" mengklarifikasi bahwa siswa tersebut bukan menggeser batu, melainkan tidak sengaja "menubruk" dirinya ketika sedang duduk-duduk santai di kawasan candi baca berita
» Pembubaran Acara
Pemutaran Film “Pulau Buru Tanah Air Beta” oleh Polisi
Acara telah berlangsung, tetapi polisi datang dan minta acara ini dibubarkan. Berikut kronologi kejadian yang diunggah dalam akun Facebook “Kota Untuk Manusia”
I. Selasa pukul 08.00 s.d. 09.00 WIB, AJI Yogyakarta mengirimkan surat undangan resmi kepada Kapolda DIY Brigjend Polisi Prasta Wahyu Hidayat dan Kapolresta Yogyakarta, Prihartono Eling Lelakon, agar datang di acara World Press Freedom Day. »lanjut baca
Sebenarnya pemutaran film ini adalah salah satu dari
rangkaian acara yang digelar di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Yogyakarta. Namun dengan negosiasi yang alot, akhirnya polisi memaksa panitia
untuk membubarkan acara.
Tentu saja pembubaran acara ini tidak baik- baik saja. Polisi
dianggap cuci tangan. Mereka seharusnya mengamankan peserta diskusi dari
ancaman ormas di luar kantor. Bukan malah membubarkan acara rutin itu.
Lebih dari itu, pembubaran ini menunjukkan represi
menjijikkan yang dilakukan pemerintah kepada rakyat. Pemutaran film dokumenter
itu adalah sarana pembelajaran. Warga diajak untuk berpikir kritis, memahami
persoalan dengan terang, dan belajar dari pengalaman supaya mencegah kebuntuan
nalar ketika mengalami hal yang sama lagi.
Anehnya, media pembelajaran itu dianggap sebagai propaganda komunisme.
Inilah hebatnya Orde Baru, efeknya masih terasa hingga sekarang.
Mau tahu lebih parah
lagi? Menurut laporan wartawan Tempo, Sri Sultan malah mendukung para polisi tengik itu. Sri Sultan adalah
Raja, beliau simbol otoritas pemerintahan di Yogyakarta. Sebagai Raja, beliau
adalah kepanjangan tangan Tuhan yang punya tugas memimpin dan melindungi dari
bahaya. Ayahnya, Sri Sultan HB IX, sudah menunjukkan teladan luar biasa untuk
melindungi rakyat Yogyakarta. Sayangnya, teladan itu tidak dijalani Raja yang kini berkuasa.
» Pembunuhan
Mahasiswi UGM
Kampus Pascasarjana FMIPA UGM geger ketika ditemukan jenazah di kamar mandi lantai lima. Terus terang, saya sangat sedih dan merasa iba dengan almarhum. Kejadian ini adalah tragedi yang menyesakkan. Tak berselang lama, pelakunya ditemukan. Dia adalah petugas kebersihan yang akan habis masa kontrak dan tidak akan diperpanjang lagi. Motif pembunuhan itu adalah kebutuhan ekonomi.
Uang hasil gadai dua
buah handphone dan power bank sebesar Rp650 ribu langsung dipakai buat beli
bensin, rokok, sepatu wanita, sandal anak kecil, dsb. Teman saya, Heni, adalah
satu-satunya yang bilang kalau dia kasihan dengan pelaku. Kasihan karena
kebutuhan ekonomilah yang menjadikan dia pembunuh. Sungguh, ini tragedi. Yakin,
fenomena ini adalah gunung es.
» Penyayatan Lengan oleh
Orang Tak Dikenal
Tiga orang di jalanan
menjadi korban penyayatan di lengan kanan. Mereka disayat dengan menggunaakan
senjata tajam oleh orang tidak dikenal. Korban mengalami luka, dan tentu saja,
hal ini menambah daftar alasan orang harus takut berkendara sendirian di
jalanan. Tak berselang lama, pelaku juga ditemukan. Rupa-rupanya dia mengalami
gangguan jiwa. Taik!
» Knalpot Bombongan
Nah, ini juga menjijikkan. Jaman sekarang masih saja ada konvoi kendaraan bermotor untuk kampanye. Memalukan sekali, karena menunjukkan keberhentian logika, mengagungkan kedunguan pikiran. Bedanya, sekarang mereka bisa selfie lalu diunggah di media sosial dengan pongahnya.
Terakhir kemarin ada
konvoi kendaraan bermotor yang lalu memakan satu korban tewas. Korban adalah
salah satu peserta konvoi. Dia diserang menggunakan bom molotov oleh orang
tidak dikenal.
Sebenarnya sudah
banyak kalangan yang meminta pemerintah untuk melarang konvoi kendaraan
bermotor. Petisi online telah disebar dan mendapatkan ribuan tanda tangan,
tetapi aturan pelarangan belum juga dikeluarkan. Petisi itu muncul menyusul
kerusuhan yang dilakukan para peserta konvoi di beberapa wilayah di Yogyakarta.
Menjijikkan.
Tak usahlah menunggu
korban lagi. Bukankah suara raungan knalpot itu sudah cukup mengganggu,
mengintimidasi, dan meneror sebagian warga? Kalau warga merasa takut, di mana
peran para pelindung? Aih.
» Pertumbuhan Hotel Tak Terkendali
Berita tentang perlawanan warga untuk menanggapi pembangunan hotel yang gila-gilaan di Jogja ini kebetulan jadi topik penelitian saya. Warga sudah melawan selama beberapa tahun, tetapi hotel masih saja dibangun. Selama ada IMB dari Dinas Perizinan, hotel memang lalu diijinkan membangun. Soal sumur warga yang mengering? Soal tanah Jogja yang menurun tiap tahun karena beban bertambah? Ini masalah besar, yang oleh pemerintah nanti akan disebut sebagai "keprihatinan bersama."
Begitulah.
No comments:
Post a Comment