06 May 2016

#SaveJogja


Jogja sedang bermasalah. Ini bukan persoalan biasa yang dipandang warga dengan berlebihan. Jogja memang sedang bermasalah. Masalahnya bisa jadi masalah politik, kebudayaan, sosial, ataupun—yang seringkali disebut banyak orang dengan—kemelorotan moral generasi Y.

Saya coba urai pemantik-pemantik besar yang (kebetulan saja) nyantol di kepala. Dimulai dari yang paling baru, yakni kesurupan massal yang dialami siswa Tangerang yang sedang berlibur ke Jogja.

» Kesurupan Massal – Ketidaksopanan Wisatawan


Kabarnya, mereka kesurupan karena ada salah satu dari kawan mereka yang iseng menggeser batu ketika mereka sedang berada di kawasan Candi Borobudur. Lihat akun Twitter @BerandaJogja untuk membaca lebih lanjut.

Tengah malam itu juga siswa pelaku langsung diantar ke Candi Borobudur untuk mengembalikan lokasi batu yang dia geser. Tak lupa dia, dan orang-orang dewasa yang bertanggung jawab atasnya, “meminta maaf” atas ketidaksopanan yang dia lakukan.

Ratusan akun Twitter meretweet informasi yang dibagikan. Responsnya bermacam-macam. Ada yang menulis “Jagalah Jogja beserta isinya” meskipun Candi Borbodur berada di wilayah administratif Magelang (Prov. Jawa Tengah), bukan DIY. Ada juga yang menyinggung soal ketidaksopanan siswa wisatawan dari luar kota yang memang tidak diperhatikan ketika berkunjung ke Jogja.

Nah, untuk yang terakhir ini saya merasakan betul. Memang terasa kecenderungan orang-orang luar kota, terutama dari sekitar kawasan Metropolitan, tidak sopan. Ini bukan persoalan etiket/sopan santun yang punya standar berbeda di tiap kultur. Namun saya lebih melihat bahwa mereka dari “pusat” datang ke “daerah” yang asosiasinya lebih rendah. Mereka datang dari kawasan metro dengan segala kemewahan dan kekerenan, masuk ke kawasan lawas yang sederhana dan mencontoh-contoh orang kota.

Mereka datang dari atas ke bawah. Mereka jalan dan liburan ke Jogja dengan kepala mendongak. Mereka juga punya banyak uang untuk beli nasi-nasi angkringan di sini. Saya menuduh, inilah yang ada di dalam pikiran mereka. Pikiran itu pulalah yang membuat mereka merasa bisa berperilaku seenaknya—termasuk menggeser batu candi.

Namun tentu saja, tidak semua wisatawan demikian. Banyak juga wisatawan yang benar-benar sopan dan mau menghormati kawasan Jogja. Hormat selalu untuk anda yang merasa bagian dari wisatawan yang terakhir ini.

Update: "Penunggu" mengklarifikasi bahwa siswa tersebut bukan menggeser batu, melainkan tidak sengaja "menubruk" dirinya ketika sedang duduk-duduk santai di kawasan candi  baca berita

» Pembubaran Acara Pemutaran Film “Pulau Buru Tanah Air Beta” oleh Polisi


Acara telah berlangsung, tetapi polisi datang dan minta acara ini dibubarkan. Berikut kronologi kejadian yang diunggah dalam akun Facebook “Kota Untuk Manusia”

I. Selasa pukul 08.00 s.d. 09.00 WIB, AJI Yogyakarta mengirimkan surat undangan resmi kepada Kapolda DIY Brigjend Polisi Prasta Wahyu Hidayat dan Kapolresta Yogyakarta, Prihartono Eling Lelakon, agar datang di acara World Press Freedom Day. »lanjut baca

Sebenarnya pemutaran film ini adalah salah satu dari rangkaian acara yang digelar di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Namun dengan negosiasi yang alot, akhirnya polisi memaksa panitia untuk membubarkan acara.

Tentu saja pembubaran acara ini tidak baik- baik saja. Polisi dianggap cuci tangan. Mereka seharusnya mengamankan peserta diskusi dari ancaman ormas di luar kantor. Bukan malah membubarkan acara rutin itu.

Lebih dari itu, pembubaran ini menunjukkan represi menjijikkan yang dilakukan pemerintah kepada rakyat. Pemutaran film dokumenter itu adalah sarana pembelajaran. Warga diajak untuk berpikir kritis, memahami persoalan dengan terang, dan belajar dari pengalaman supaya mencegah kebuntuan nalar ketika mengalami hal yang sama lagi.

Anehnya, media pembelajaran itu dianggap sebagai propaganda komunisme. Inilah hebatnya Orde Baru, efeknya masih terasa hingga sekarang.

Mau tahu lebih parah lagi? Menurut laporan wartawan Tempo, Sri Sultan malah mendukung para polisi tengik itu. Sri Sultan adalah Raja, beliau simbol otoritas pemerintahan di Yogyakarta. Sebagai Raja, beliau adalah kepanjangan tangan Tuhan yang punya tugas memimpin dan melindungi dari bahaya. Ayahnya, Sri Sultan HB IX, sudah menunjukkan teladan luar biasa untuk melindungi rakyat Yogyakarta. Sayangnya, teladan itu tidak dijalani Raja yang kini berkuasa.

» Pembunuhan Mahasiswi UGM


Kampus Pascasarjana FMIPA UGM geger ketika ditemukan jenazah di kamar mandi lantai lima. Terus terang, saya sangat sedih dan merasa iba dengan almarhum. Kejadian ini adalah tragedi yang menyesakkan. Tak berselang lama, pelakunya ditemukan. Dia adalah petugas kebersihan yang akan habis masa kontrak dan tidak akan diperpanjang lagi. Motif pembunuhan itu adalah kebutuhan ekonomi.

Uang hasil gadai dua buah handphone dan power bank sebesar Rp650 ribu langsung dipakai buat beli bensin, rokok, sepatu wanita, sandal anak kecil, dsb. Teman saya, Heni, adalah satu-satunya yang bilang kalau dia kasihan dengan pelaku. Kasihan karena kebutuhan ekonomilah yang menjadikan dia pembunuh. Sungguh, ini tragedi. Yakin, fenomena ini adalah gunung es.

» Penyayatan Lengan oleh Orang Tak Dikenal

Tiga orang di jalanan menjadi korban penyayatan di lengan kanan. Mereka disayat dengan menggunaakan senjata tajam oleh orang tidak dikenal. Korban mengalami luka, dan tentu saja, hal ini menambah daftar alasan orang harus takut berkendara sendirian di jalanan. Tak berselang lama, pelaku juga ditemukan. Rupa-rupanya dia mengalami gangguan jiwa. Taik!

» Knalpot Bombongan


Nah, ini juga menjijikkan. Jaman sekarang masih saja ada konvoi kendaraan bermotor untuk kampanye. Memalukan sekali, karena menunjukkan keberhentian logika, mengagungkan kedunguan pikiran. Bedanya, sekarang mereka bisa selfie lalu diunggah di media sosial dengan pongahnya.

Terakhir kemarin ada konvoi kendaraan bermotor yang lalu memakan satu korban tewas. Korban adalah salah satu peserta konvoi. Dia diserang menggunakan bom molotov oleh orang tidak dikenal.

Sebenarnya sudah banyak kalangan yang meminta pemerintah untuk melarang konvoi kendaraan bermotor. Petisi online telah disebar dan mendapatkan ribuan tanda tangan, tetapi aturan pelarangan belum juga dikeluarkan. Petisi itu muncul menyusul kerusuhan yang dilakukan para peserta konvoi di beberapa wilayah di Yogyakarta. Menjijikkan.

Tak usahlah menunggu korban lagi. Bukankah suara raungan knalpot itu sudah cukup mengganggu, mengintimidasi, dan meneror sebagian warga? Kalau warga merasa takut, di mana peran para pelindung? Aih.

» Pertumbuhan Hotel Tak Terkendali


Berita tentang perlawanan warga untuk menanggapi pembangunan hotel yang gila-gilaan di Jogja ini kebetulan jadi topik penelitian saya. Warga sudah melawan selama beberapa tahun, tetapi hotel masih saja dibangun. Selama ada IMB dari Dinas Perizinan, hotel memang lalu diijinkan membangun. Soal sumur warga yang mengering? Soal tanah Jogja yang menurun tiap tahun karena beban bertambah? Ini masalah besar, yang oleh pemerintah nanti akan disebut sebagai "keprihatinan bersama."

Begitulah.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain