Skip to main content

Masturbasi yang Menggebu-gebu

Apa yang digelisahkan oleh Gie (dalam film “Gie”) kini nyata terjadi di depanku. Gie sinis pada kawan-kawan aktivis yang dulunya turut menumbangkan pemerintah, tapi lalu jadi pejabat di pemerintahan berikutnya. Perjuangan memperbaiki sistem dari dalam katamu? Ah. Segala alasan dan motif memang bisa dibuat(-buat).


Konteks yang kualami tentu berbeda, tetapi narasi “penyeberangan” ini masih sama dan berulang terjadi. Seakan pengkhianatan dengan berbagai skala ini adalah pola-pola yang sudah mapan di semesta raya kita.

Ini adalah tentang kawan semasa remaja (masa yang baru saja berakhir) yang menggebu-gebu. Mereka ikut demo ke sana ke mari bersama kawan mahasiswa yang bangga bertudung “aktivis.” Foto-foto ketika mereka berorasi dengan kaos merah disebar di akun-akun media sosialnya. 

Mereka ikut diskusi pergerakan, rapat-rapat koordinasi untuk aksi, melahap buku-buku berbau Marxisme, turut menyanyi lagu “Darah Juang”, dan ya, sempat memanggil teman-temannya dengan sebutan “Camerad!”

1 Mei seperti ini, wah, seakan hari itu adalah milik mereka. Rencana aksi di pusat-pusat keramaian kota Jogja sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Termasuk juga rencana-rencana B, C, D, dan seterusnya bila ada hal-hal yang terjadi di luar rencana pada hari H.

Tak lupa, mereka juga bising di media sosial. Sudah seperti anak abege, atau merasa masih abege, yang update status sedang nonton film “AADC?2” yang katanya bikin ingat mantan. Status, twit, dan segala bentuk updatean tentang perjuangan mereka memperbaiki nasib buruh ditumpah-ruahkan pada momen internasional itu.

..setelah berbelas-belas purnama.
setelah bergelas-gelas air tanpa nama..

Dalam waktu yang tak lama, mereka harus pakai toga. Usai tali dipindahkan oleh Rektor, seketika itu juga mereka harus melepaskan diri dari pakaian kebesaran mahasiswa. Biasanya, momen itu dirayakan dengan pesta kecil-kecilan. Di sudut-sudut kampus, di ruang-ruang rapat, dan di tempat bersejarah lainnya.

Lalu, kenyataan hidup menghajar mereka tanpa ampun. Bagai sapi yang ditusuk hidungnya, mereka berbaris rapi dan berduyun-duyun masuk pabrik. Nyatanya, mereka yang dulu alergi dengan istilah “kapitalisme”, “buruh”, dan “pemodal” kini dengan manisnya jadi bagian dari sistem itu.

Diam-diam, mereka kini menikmati hidup sebagai buruh—yang adalah sarjana. Jadi anak buah, punya atasan, beberapa sudah punya bawahan, bekerja keras pada jam-jam yang telah diatur, lalu digaji setiap bulan. Dari gaji itu mereka lalu bisa hang out dengan kawan-kawan di sejumlah cafe ternama, berfoto, lalu upload fotonya di media sosial.

“Teman masa perjuangan,” tulis mereka di caption.

Barangkali memang ada, keringat-keringat berbau perjuangan yang sering menyeruak dari balik kemeja-kemeja rapi mereka. Namun yakinlah, bau itu akan teralihkan oleh aroma wangi dari receh-receh yang dilimpahkan pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. 

Apalagi kalau mereka sudah mulai bawa mobil, cicil rumah, membiayai adik, mau menikah, dan sebagainya. Tumbanglah sudah kata-kata tanpa makna yang mereka tumpahkan di jalan beberapa taun silam.

“Ya tidak apa-apa to mereka seperti itu. Paling tidak mereka sadar berada dalam sistem kapitalisme yang mereka hina-hina dulu,” kata sebagian dari diriku.

Namun apa kabar buruh-buruh tak bernama yang mereka perjuangkan dulu? Apakah gaji mereka naik? Hak mereka terpenuhi? Mereka menjadi semakin dimanusiakan oleh perusahaan? Hidup mereka jadi sejahtera?

Nasib para mantan aktivis mahasiswa itu lebih baik. Mereka sarjana, punya skill, punya pengalaman organisasi, dan juga berasal dari keluarga yang sudah mapan sebelumnya. Bisalah minta koneksi dari orang tua kalau mau kerja yang dapat posisi baik. « ini sungguhan banyak terjadi!

Aku sadar perubahan tidak bisa seketika terjadi. Apalagi menggulingkan sistem kapitalisme? Hahaha.. itu mimpi yang sungguh mimpi. Poin yang kukritik bukanlah gerakan mahasiswa, bukan juga mereka-mereka para “penyeberang”—kalau tidak mau dikatakan “pengkhianat.”

Aku hanya menuduh, mereka yang dulunya demo panas-panasan di jalan dan kini duduk manis di ruangan ber-AC itu, hanyalah memenuhi hasratnya semasa muda. Pokoknya satu kata, “Lawan!” gitu. 

Mereka tidak benar-benar berorientasi pada persoalan buruh dan politik. Mereka hanya menguji diri mereka, menantang kemampuan berpikir mereka, menambah jumlah kawan, dan menantang nyali mereka untuk berhadap-hadapan dengan polisi di jalanan.

Ya, aku menuduh, mereka hanya (ber-)masturbasi.

#Note
Jangan sakit hati dengan tulisan ini. Anggaplah saja gumaman habis bangun tidur. Lagipula, itu ada tugas-tugas dari bos di meja kerjamu. Mereka lebih penting, paling tidak ada duitnya lah. Kerjakan dengan rajin dan penuh loyalitas ya.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.