Skip to main content

#KalaKala

untuk bugisan, tesis, dan wiwoho

Saya duduk di meja besar yang bisa dipakai enam orang sekaligus. Tepat di depan ada teks-teks berita dan komputer jinjing kepunyaan ibu. Kebetulan saya duduk menghadap utara, dengan matahari yang mulai menyengat dari sebelah kiri meja saya. Kancing kemeja mulai saya buka dua biji supaya belahan dada kelihatan angin lebih gencar menyapa tubuh yang mulai sepanas baterai gadget yang susah sinyal.

Pukul 13.30, di jauh sebelah kiri terlihat beberapa kelompok anak lelaki SMA berseragam yang nongkrong. Tentu saja, sebatang rokok terjepit di antara  telunjuk dan jari tengah mereka. Sebentar saja nongkrong sambil ngobrol (sambil pegang gadget tentu), sebentar kemudian bermain bilyard dengan gaya profesional yang bikin mereka tampak keren. Lalu mereka gantian, begitu terus entah sampai pukul berapa.

Sedang beberapa meter di sebelah kanan, di ujung ruangan terbuka ini, ada sepasang anak SMA juga yang duduk santai berhadapan. Sepertinya mereka berpacaran. Saya jarang dengar mereka saling bicara. Pernah sekali intip, rupanya mereka sedang menatap layar gadget masing-masing. Namun sekalinya mereka bicara, nada yang terdengar adalah rayuan dari laki-laki dan lenguhan manja dari yang perempuan.

Nongkrong berjam-jam nggak jelas sudah pernah saya lakoni. Mulai dari main kartu, “perjamuan kudus”, hingga saling curhat dengan para sahabat. Pacaran berjam-jam setiap hari, mulai dari yang sehat hingga mengundang nikmat juga sudah khatam saya lakukan. Namun sekarang saya sedang menulis sebuah karya yang mengantar diri ini ke masa depan yang (semoga) lebih baik. Seiring bertambahnya usia, tanggung jawab memang semakin besar.

Semua memang ada masanya. Betul?


Keterangan judul:
Kala bisa diartikan sebagai waktu, binatang sejenis laba-laba, bintang, jerat, sutra, dsb. Maksud di judul ini adalah #JeratWaktu

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.