18 April 2016

BU RIDHA, SEMANGAT. SEMANGAT!

Bukan masa yang menyenangkan ketika bertemu Bu Ridha. Tak pernah kami bertemu di tempat lain selain ruang Elizabeth 204 atau 206 di Panti Rapih. Beliau, dan ibu, adalah pasien-pasien kanker yang menjalani kemoterapi beberapa minggu sekali.

Pertemuan pertama kami terjadi pada suatu hari Sabtu. Gambaran Sabtu yang menyenangkan harus disamarkan keprihatinan selama bulan-bulan itu. Kebetulan empat bed pasien di sana terisi penuh oleh ibu-ibu. Ibu kanker kelenjar getah bening, Bu Ridha kanker serviks, ibu-ibu yang lain kanker payudara, dan deretan kanker yang lain.

Kesan pertamaku adalah kesan yang tak pernah habis kusesali. Bu Ridha senang bicara dan terlihat sangat bersemangat. Saking semangatnya sampai dia turun dari bed ketika bicara soal pengalamannya.

"Ibu satu ini pasti egois, suka mendominasi, dan senang bergosip," pikirku ngawur.
Belakangan, setelah mengikuti penderitaan ibu ketika masa-masa kemoterapi, aku menyesal punya kesan demikian. Aku baru sadar kalau itu adalah strategi bertahan; dengan terlihat semangat dan menyemangati pasien lain.

Bu Ridha selalu terlihat sendiri. Suaminya hanya datang di awal, lalu pulang, dan akan datang lagi ketika sesi kemoterapi sudah hampir berakhir. Berbeda dengan ibu. Minimal ada bapak, atau saya, dan seringkali keluarga mbak Karin turut menemani. Tak jarang juga suster dan teman-teman sekantor datang untuk sekadar ngaruhke ibu. Bu Ridha selalu sendirian kala melihat kebersamaan kami.

Meski begitu beliau tetap ramah dan semangat. Setiap sesi kemoterapinya berakhir, dia akan menyalami setiap pasien dan perawat untuk berterima kasih dan pamit pulang.

Aku lama tak dengar kabar soal beliau, karena memang kemoterapi ibu telah selesai. Sekalinya dengar, rupanya ada kabar buruk: kankernya masih ganas meski dihajar obat kemo. Beliau harus kembali ke meja operasi, dan menjalani kemoterapi lagi.

Sabtu (16/4) ibu menemui Bu Ridha. Kondisinya kritis, dengan perut yang membesar karena sebaran kanker ganas. Menurut cerita ibu, beliau sudah tidak bisa membuka mata, tapi masih bisa bicara.

"Apa yang dirasakan, bu?" tanya ibu dalam bahasa Jawa Krama (halus). "Perih," jawab beliau, sambil memegangi perutnya.

Keesokan harinya, Gusti membebaskan beliau dari sakit kanker. Tubuhnya harus berhenti bekerja, tapi aku yakin jiwanya berada dalam kekekalan.

"Semangat untuk sembuh" rupa-rupanya tak selalu membuat pasien menjadi sembuh. Betul, Sang Semesta lah yang menentukan hidup, mati, sakit, dan sembuh. Namun di semestaku, semangat Bu Ridha menjelma titik. Titik yang akan terhubung pada titik-titik lain melalui refleksi seperti ini.

Terima kasih atas semangatmu, Bu Ridha. Maaf sudah berprasangka buruk. Sugeng tindhak..

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain