Bukan masa yang
menyenangkan ketika bertemu Bu Ridha. Tak pernah kami bertemu di tempat lain
selain ruang Elizabeth 204 atau 206 di Panti Rapih. Beliau, dan ibu, adalah
pasien-pasien kanker yang menjalani kemoterapi beberapa minggu sekali.
Pertemuan pertama
kami terjadi pada suatu hari Sabtu. Gambaran Sabtu yang menyenangkan harus
disamarkan keprihatinan selama bulan-bulan itu. Kebetulan empat bed pasien di
sana terisi penuh oleh ibu-ibu. Ibu kanker kelenjar getah bening, Bu Ridha
kanker serviks, ibu-ibu yang lain kanker payudara, dan deretan kanker yang
lain.
Kesan pertamaku
adalah kesan yang tak pernah habis kusesali. Bu Ridha senang bicara dan
terlihat sangat bersemangat. Saking semangatnya sampai dia turun dari bed
ketika bicara soal pengalamannya.
"Ibu satu ini
pasti egois, suka mendominasi, dan senang bergosip," pikirku ngawur.
Belakangan, setelah
mengikuti penderitaan ibu ketika masa-masa kemoterapi, aku menyesal punya kesan
demikian. Aku baru sadar kalau itu adalah strategi bertahan; dengan terlihat
semangat dan menyemangati pasien lain.
Bu Ridha selalu
terlihat sendiri. Suaminya hanya datang di awal, lalu pulang, dan akan datang
lagi ketika sesi kemoterapi sudah hampir berakhir. Berbeda dengan ibu. Minimal
ada bapak, atau saya, dan seringkali keluarga mbak Karin turut menemani. Tak
jarang juga suster dan teman-teman sekantor datang untuk sekadar ngaruhke ibu.
Bu Ridha selalu sendirian kala melihat kebersamaan kami.
Meski begitu beliau
tetap ramah dan semangat. Setiap sesi kemoterapinya berakhir, dia akan
menyalami setiap pasien dan perawat untuk berterima kasih dan pamit pulang.
Aku lama tak dengar
kabar soal beliau, karena memang kemoterapi ibu telah selesai. Sekalinya
dengar, rupanya ada kabar buruk: kankernya masih ganas meski dihajar obat kemo.
Beliau harus kembali ke meja operasi, dan menjalani kemoterapi lagi.
Sabtu (16/4) ibu
menemui Bu Ridha. Kondisinya kritis, dengan perut yang membesar karena sebaran
kanker ganas. Menurut cerita ibu, beliau sudah tidak bisa membuka mata, tapi
masih bisa bicara.
"Apa yang
dirasakan, bu?" tanya ibu dalam bahasa Jawa Krama (halus).
"Perih," jawab beliau, sambil memegangi perutnya.
Keesokan harinya,
Gusti membebaskan beliau dari sakit kanker. Tubuhnya harus berhenti bekerja,
tapi aku yakin jiwanya berada dalam kekekalan.
"Semangat untuk
sembuh" rupa-rupanya tak selalu membuat pasien menjadi sembuh. Betul, Sang
Semesta lah yang menentukan hidup, mati, sakit, dan sembuh. Namun di semestaku,
semangat Bu Ridha menjelma titik. Titik yang akan terhubung pada titik-titik
lain melalui refleksi seperti ini.
Terima kasih atas
semangatmu, Bu Ridha. Maaf sudah berprasangka buruk. Sugeng tindhak..
No comments:
Post a Comment