Sumber: www.pinterest.com |
Ipul; pemuda aktivis surau yang tekun di
desa sebelah. Sejak bangunan masih kecil, hingga kini bertingkat dua (karena
bantuan dana dari calon anggota DPRD), dia masih jadi petugas yang bekerja
tanpa pamrih.
Dia tidak lulus SMP karena kurang
pandai. Tiap hari dia berusaha baca Quran, tapi tetap tak satupun kata yang dia
pahami. Namun dia tak jadi berandalan seperti kawan sebayanya. Dengan tutur
halus dan suara lembut, dia memilih nongkrong di surau daripada menarik gas di
motor-motor dua tak—sebagaimana dilakukan kawan-kawannya.
Kelebihannya itu lalu disadari oleh
kelompok bapak-bapak di desa.
“Meski bodoh, Ipul itu tekun. Suaranya
juga lembut. Bagaimana kalau dia kita jadikan pembaca pengumuman di surau?
Warga pasti akan sangat senang tiap kali Ipul bicara,” usul seorang bapak
berpeci lusuh.
“Dia bodoh. Bagaimana orang bodoh bisa
bicara lancar untuk mengumumkan? Janganlah tugas sepenting itu diberikan orang
bodoh!” sanggah yang lain.
“Dia sudah bisa baca. Kita tulis saja
dengan lengkap, lalu biarkan dia baca sampai habis,” tutur seorang bapak di
sudut sambil menepis abu dari rokok yang dia jepit.
Lalu jadilah Ipul—sang pembaca
pengumuman di surau desa sebelah.
Dia bekerja dengan gembira. Setiap kali
mulutnya berada di depan pengeras suara, dia merasa jadi orang paling berarti.
Setiap kali dia baca salam pembuka “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..”
rasanya kedamaian betul-betul menjalar di hati tiap warga.
Dengan secarik kertas, dia baca
pengumuman. Dua minggu sekali, dia baca pengumuman: ajakan kepada warga untuk
kerja bakti. Lalu pada waktu-waktu tertentu dia baca pengumuman mengenai kabar
lelayu. Kabar lelayu itu tidak hanya dari desa sebelah, tetapi juga beberapa
desa di sekelilingnya. Biasalah, desa-desa itu biasanya masih dihuni oleh
keluarga besar—teramat besar. Jadi mereka saling kenal.
Lama kelamaan Ipul bosan. Dia mulai baca
kertas tanpa berpikir. Dia baca saja tulisan di kertas sampai habis. Bahkan karena
kebodohannya, dia berulang kali baca kertas pengumuman yang sama.
Suatu malam minggu yang biasa, desa sebelah
geger. Sekumpulan pemuda dari luar teler karena air mabuk
murahan. Parahnya, mereka bikin rusuh dan masuk ke desa sebelah.
Tawuran tak terhindarkan. Batu-batu
beterbangan tanpa arah, kayu dan bambu haus akan darah di kepala, dan pisau-pisau dapur giat menyabet tiap-tiap
anggota tubuh. Dalam sekejap, bau anyir darah memenuhi seisi desa. Ketika pertempuran
berhenti, sisa rintihan luka dan tangisan bayi masih saja terdengar.
Keesokan harinya, Ipul bangun pagi dan
mendapati secarik kertas di surau. Isinya berita duka, tentang nama-nama pemuda
yang jadi korban jiwa atas tawuran murahan itu.
Ipul berulang kali baca kertas itu, tapi
tak sedikitpun suara keluar dari pengeras suara. Dia lalu resah dan hampir putus asa. Barangkali Ipul memang
terlalu bodoh, berulang kali namanya sendiri dia baca pagi itu.
fiksi.
Jogja, 2016
No comments:
Post a Comment