Skip to main content

Kirab Budaya: Yogyakarta Kota Republik

Kayane pawaine isih adoh, tak maca koran sik wae karo ngenteni..” pikir seorang warga Yogyakarta pada sore itu.


Kemudian mulai terdengar suara gaduh di ujung jalan. Beribu pasang mata mulai berbinar ke arah itu, mencari sumber suara yang mereka nanti-nantikan. Suara yang berasal dari keprihatinan terhadap tindak penguasa yang tidak sensitif terhadap budaya Jawa yang diagung-agungkan di tempat ini.

Bapak tadi mulai menutup korannya dan berdiri menyambut serombongan orang dari berbagai komunitas. Jalan Malioboro sore itu menjadi milik mereka yang berpartisipasi dalam: "Kirab Budaya: Yogyakarta Kota Republik"

Bukan sekadar  festival, kegiatan ini merupakan bentuk aksi politik masyarakat Yogyakarta yang prihatin oleh tingkah penguasa. Dengan pahamnya sendiri si penguasa ingin mengubah tatanan pemerintahan Yogyakarta yang secara tidak langsung mengubah budaya dan seakan mengabaikan sejarah.

Aksi yang berlangsung hari Selasa (4/1) ini didukung sepenuhnya oleh langit. Kurang lebih setengah jam setelah acara di mulai langit di atas rela mengirimkan berjuta titik air untuk menemani perjalanan mereka menuju Kraton Ngayogyakarta.

Tak berselang lama, air turun lebih banyak lagi untuk menemani mereka. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan semangat mereka, tidak pula gambar di bawah ini. Namun ini adalah realitas, mereka menginginkan satu hal: Jogja tetap istimewa..





Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.