Tidak berlebihan rasanya bila saya menuliskan bahwa film ini adalah satu dari beberapa film terbaik yang pernah saya tonton. Memang rasanya terlalu terlambat untuk menontonnya sebab kalau film ini sudah dirilis sejak tahun 2003. Namun jangka waktu beberapa tahun ini saya rasa tidak mengurangi kualitas cerita film -karena memang tidak ada relevansinya.
Saya yakin bahwa setiap orang yang pernah menonton The Last Samurai akan menangkap tema besar film ini, sebut saja budaya tradisional versus budaya modern. Tentu kita tidak akan berhenti di tema tadi, apalagi kemudian hanya berhenti pada pemenang atas ‘pertarungan’ tersebut.
Harga Diri
Saya menyebutnya harga diri, bukan gengsi. ‘Harga diri’ di tulisan ini dikaitkan dengan frasa ‘bangsa Jepang’ sehingga menjadi ‘harga diri bangsa Jepang’ (lihat betapa janggalnya kalau kita menyebut ‘gengsi bangsa Jepang’, meski mungkin memang gengsi. hehe..). Nah, harga diri bangsa Jepang yang saya maksud direpresentasikan oleh tradisi harakiri.
Sejauh yang saya tahu, harakiri merupakan tradisi yang terhormat bagi bangsa Jepang. Harakiri menyimbolkan penghormatan dan kesetiaan kepada Kaisar - yang dipercaya sebagai titisan dewa. Biasanya harakiri tidak dilakukan sendiri, ada orang lain yang membantunya untuk melakukan tradisi ini. Setelah seseorang menusukkan pedang ke perutnya sendiri dan kemudian merobeknya secara lateral, ada seorang lain yang bertugas untuk memenggal kepala dari sang pelaku harakiri.
Harga diri yang tinggi senantiasa dipegang oleh kaum samurai yang bertahan di pedesaan yang masih perawan dan ingin menjaga tradisi leluhur daripada terbuai oleh budaya barat. Mereka merasa pergeseran budaya ke arah barat ini bergerak terlalu cepat, mereka merasa bangsa Jepang (dalam film tersebut) tersilaukan hingga buta terhadap keluhuran budaya yang dijaga dan diwariskan oleh leluhur mereka.
Atas semangat inilah mereka menyatakan perang terhadap kolonialisme dalam bungkus globalisasi melalui hubungan dagang dengan orang barat (baca: Amerika Serikat). Teknis perang, taktik, kesesuaian kostum, adegan perang, dan sebagainya tidak saya tulis karena memang dapat ditebak bagaimana akhir perang yang dialami tokoh utama.
“Barat” dan “Timur”
Setuju atau tidak setuju, pemahaman bahwa modernisasi datang dari dunia barat sudah masuk di alam bawah sadar kita. Cukup jelas digambarkan dalam film ini, bagaimana bangsa barat menyebarkan kebudayaan mereka yang kemudian dianggap sebagai budaya modern. Bolehlah kita tilik sejenak dan kita renungkan bagaimana dulu Belanda sebagai bangsa barat juga menanamkan budaya mereka ke dalam budaya asli tiap bangsa di Indonesia.
Mungkin jika dilihat secara sekilas, film ini memunculkan makna bahwa Kaisar sadar bahwa Jepang tidak boleh melupakan siapa mereka sebenarnya dan apa asal usul mereka. Artinya Jepang seakan mulai menunjukkan resistensinya terhadap budaya barat, dan resistensi membutuhkan energi yang luar biasa..
Interupsi [Saya jadi teringat ketika melakukan wawancara dengan Ibu Anggi yang merupakan pimpinan Kartapustaka di Yogyakarta. Beliau bercerita pengalaman ketika ada seorang Jepang yang merasa ada bagian dari dirinya yang kosong: budaya. Hal ini tidak hanya dialami oleh teman beliau saja, tetapi juga oleh banyak orang.] Interupsi selesai J
Orang Jepang seakan menjadi pemenang, berhasil melawan budaya barat yang lebih ingin masuk lagi mempengaruhi Jepang. Namun, tidak senaif itu menurut saya. Siapakah orang yang membuat Kaisar akhirnya membatalkan perjanjian dagang yang berarti juga menghentikan infiltrasi budaya barat? Algren. Siapakah yang mengajarkan strategi perang yang terakhir kepada kaum samurai hingga berhasil memporakporandakan pasukan ‘boneka’ bikinan Amerika Serikat? Algren.
Kalau kita anggap bahwa Algren adalah representasi dari orang barat dan orang Jepang adalah representasi dari orang timur, maka kita boleh saja mengatakan: orang barat membuat Jepang menjadi lupa diri, orang barat pula yang membuat Jepang menjadi tahu diri. Orang barat sebagai dalang yang punya kekuatan dan mengatur cerita, orang timur adalah wayang yang pasrah digerakkan hingga dijungkirbalikkan oleh sang dalang.
Bukankah ini makna bahwa bangsa yang inferior, yang masih disetir geraknya oleh bangsa barat yang superior? Dengan berat hati saya harus mengakui, dalam beberapa hal memang demikian adanya. RRC dan Jepang setahu saya mempunyai piutang dalam persentase yang relatif besar kepada Amerika Serikat, namun tetap saja budaya barat yang merasuk ke timur dan bukan sebaliknya.
Tidak mendalam memang ulasan saya, sebab bukan kapasitas saya untuk menulis tentang globalisasi, budaya, film, dan sebagainya. Di sisi lain, saya tak ubahnya padi yang masih hijau. Hanya ini yang mampu saya tulis untuk menanggapi salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Setidaknya film ini menginspirasi saya untuk ………………. melirik wanita Jepang yang –katanya- cantik-cantik. Hehehe…. Salam.
hola!
ReplyDeletesaya juga suka film ini, kecewanya hanya waktu algrennya tidak mati (agak terlalu indah, hehehe).
saya tidak terlalu mempermasalahkan tentang superioritas bangsa barat di film ini karena menganggap algren pada akhirnya sudah menjadi orang jepang, jadi cerita tentang katsumoto yang disampaikan ke kaisar juga sudah dalam perspektif nilai jepang.
malahan bagi saya, kemenangan nilai jepang dibandingkan barat di film ini justru ditunjukkan dengan perubahan hidup algren dan konversi pribadi sampai kesetiaannya.
anyway (boleh omong anyway tidak sih?), ulasan yang menarik!
nb: dalam semangat kalimat terakhir artikel, mari melirik aki kawamura, hikaru koto, dan honoka bersama-sama!
nbb: kata teman saya semua perempuan jepang bertungkai mirip talas (baca: besar), tidak tahu benar atau tidak