06 January 2011

Rasa Cabai tak Sepedas Harganya



Sebenarnya saya enggan menulis masalah cabai ini, karena -terus terang- saya malu. Tak perlu saya tulis alasan mengapa saya malu, tak perlu juga saya tuliskan umpatan dan kritikan yang tak jelas arahnya. Hanya sekelumit cerita yang cukup aneh untuk dituliskan dalam blog ini (bahkan terlalu aneh untuk dialami dan dipikirkan) yang dapat saya sumbangkan kepada entah siapa.

Eh, dikeke ngarepku wae, sangang puluh ewu e..” suruh seorang ibu pemilik warung makan kepada pegawainya pada suatu siang (6/1). 


Maksudnya: ibu pemilik warung ingin agar mangkok berisi sambal itu ditaruh persis di hadapannya, karena harga cabai mencapai sembilan puluh ribu. Belakangan dia cerita ke saya, hal itu dilakukannya supaya pembeli merasa sungkan untuk mengambil sambal banyak-banyak. (Dia cerita hal itu ketika saya memindahkan beberapa sendok sambal dari mengkok sambal ke piring saya.. ^^')

Memang kenapa kalau pelanggan warung makan itu mengambil sambal banyak-banyak? Semua juga tahu, biaya produksi menjadi semakin besar padahal pemilik warung makan tidak bisa menambah harga lebih untuk pelanggan yang memakai sambal.

Setelah beberapa kali berdiskusi (baca: ngrasani) dengan kawan, dengan sinisnya saya (mungkin yang lain juga) berpikir: “..ya ora urusan.. yen ora gelem rugi ya ora usah nyediani sambel.. terus terang, yen aku biasa wae njupuk sambel akeh neng ngarepmu.. masalah rugi apa ora kan dudu urusan pelanggan, iku urusan intern perusahaan..”

Manusia tidak mampu bebas dari kepentingan, bukan? Begitu juga pemilik warung makan dan saya sebagai pelanggannya. Jangan-jangan dia memang sedang menyindir saya? (baca: implikasi dari high context culture, salah satu tipikal praktek komunikasi antarpersonal yang dianut Indonesia) Dia dengan kepentingannya untuk mendapat keuntungan, saya dengan kepentingan untuk mendapat makan enak dengan harga murah.

Jika dibayangkan dengan model pertarungan, saya dan pemilik warung makan dihadapkan pada dua sudut berbeda dalam ring yang sama. Kami berhadap-hadapan untuk saling memenangkan diri. Ibu pemilik warung menang, dia berhasil menyindir saya. Saya menang, karena menemukan alasan untuk tetap menikmati sambal.

Tetapi kemenangan kedua pihak ini tidak mengubah apapun.. mungkin cabai memang pedas, tetapi tak sepedas harganya sekarang ini (seperti judul di atas). Kemenangan tadi tidak membuat pemilik warung berhenti bicara dan menyindir, tidak juga membuat saya semakin banyak makan sambal.



Bagi yang membaca tulisan ini: jangan memahami kekacauan yang sedang atau telah anda baca.. keacuhan anda adalah kemenangan anda, sedangkan kebingungan anda adalah kemenangan saya.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain