Skip to main content

Rasa Cabai tak Sepedas Harganya



Sebenarnya saya enggan menulis masalah cabai ini, karena -terus terang- saya malu. Tak perlu saya tulis alasan mengapa saya malu, tak perlu juga saya tuliskan umpatan dan kritikan yang tak jelas arahnya. Hanya sekelumit cerita yang cukup aneh untuk dituliskan dalam blog ini (bahkan terlalu aneh untuk dialami dan dipikirkan) yang dapat saya sumbangkan kepada entah siapa.

Eh, dikeke ngarepku wae, sangang puluh ewu e..” suruh seorang ibu pemilik warung makan kepada pegawainya pada suatu siang (6/1). 


Maksudnya: ibu pemilik warung ingin agar mangkok berisi sambal itu ditaruh persis di hadapannya, karena harga cabai mencapai sembilan puluh ribu. Belakangan dia cerita ke saya, hal itu dilakukannya supaya pembeli merasa sungkan untuk mengambil sambal banyak-banyak. (Dia cerita hal itu ketika saya memindahkan beberapa sendok sambal dari mengkok sambal ke piring saya.. ^^')

Memang kenapa kalau pelanggan warung makan itu mengambil sambal banyak-banyak? Semua juga tahu, biaya produksi menjadi semakin besar padahal pemilik warung makan tidak bisa menambah harga lebih untuk pelanggan yang memakai sambal.

Setelah beberapa kali berdiskusi (baca: ngrasani) dengan kawan, dengan sinisnya saya (mungkin yang lain juga) berpikir: “..ya ora urusan.. yen ora gelem rugi ya ora usah nyediani sambel.. terus terang, yen aku biasa wae njupuk sambel akeh neng ngarepmu.. masalah rugi apa ora kan dudu urusan pelanggan, iku urusan intern perusahaan..”

Manusia tidak mampu bebas dari kepentingan, bukan? Begitu juga pemilik warung makan dan saya sebagai pelanggannya. Jangan-jangan dia memang sedang menyindir saya? (baca: implikasi dari high context culture, salah satu tipikal praktek komunikasi antarpersonal yang dianut Indonesia) Dia dengan kepentingannya untuk mendapat keuntungan, saya dengan kepentingan untuk mendapat makan enak dengan harga murah.

Jika dibayangkan dengan model pertarungan, saya dan pemilik warung makan dihadapkan pada dua sudut berbeda dalam ring yang sama. Kami berhadap-hadapan untuk saling memenangkan diri. Ibu pemilik warung menang, dia berhasil menyindir saya. Saya menang, karena menemukan alasan untuk tetap menikmati sambal.

Tetapi kemenangan kedua pihak ini tidak mengubah apapun.. mungkin cabai memang pedas, tetapi tak sepedas harganya sekarang ini (seperti judul di atas). Kemenangan tadi tidak membuat pemilik warung berhenti bicara dan menyindir, tidak juga membuat saya semakin banyak makan sambal.



Bagi yang membaca tulisan ini: jangan memahami kekacauan yang sedang atau telah anda baca.. keacuhan anda adalah kemenangan anda, sedangkan kebingungan anda adalah kemenangan saya.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.