Tahun 2006 saya ikut organisasi
Pelajar Pecinta Alam van Lith (Papala VL). Mottonya: tetap tegar walau terkilir. Nah,
kegiatan di Papala itulah yang membuat saya hingga—paling tidak—awal tahun 2016
ini masih naik gunung. Namun ini bukan soal naik gunung, ini soal sepatu
tracking.
Berdasarkan pantauan (baca: kepo) dari media sosial, Papala
masih rutin mengadakan pendakian bersama. Sekarang teman-teman Papala keren.
Gear pendakiannya bagus dan komplit, sepatunya juga sepatu tracking semua.
Sungguh, ini pujian, bukan sindiran. Karena bagaimanapun sepatu tracking itu
kan memang didesain untuk keamanan pendaki.
Dulu seingat saya (semoga saya salah
ingat) hanya ada satu (atau dua) teman seangkatan yang punya sepatu tracking.
Artinya, sepatu tracking itu barang mewah. Bahkan setahu saya pernah ada kakak
kelas yang pinjam sepatu tracking punya teman saya. Apakah itu berarti teman
seangkatan kakak kelas saya tidak ada punya sepatu tracking? Entah.
Kami dulu naik gunung pakai sepatu
olah raga biasa, bukan sepatu tracking. Saya beli Reebok yang lagi didiskon 70
persen, sebagian pakai sepatu lari, sebagian yang lain pakai Converse biasa.
Tentu saja solnya licin dan bagian atasnya tak melindungi pergelangan dari
risiko terkilir.
Saya tidak tahu mengapa bisa berbeda
begini. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dulu sepatu tracking harganya mahal,
sekarang lebih terjangkau. Barangkali 10 tahun yang lalu kegiatan pendakian
belum sangat populer seperti sekarang—pasca 5 cm. Karena sudah jadi tren lalu
banyak variasi sepatu tracking, baik model maupun harga, yang memperebutkan
pasar.
Kedua, sepatu tracking mudah dicari.
Kembali ke tren tadi, pilihan model dan harga banyak. Beberapa tahun terakhir
toko outdoor di Jogja juga jadi banyak sekali. Bisa milih mau beli di mana,
model gimana, merek apa, harga berapa, ori atau kw :) Itu di media
sosial juga banyak yang jual kalau mau beli online.
Tiga, anak-anak van Lith yang
sekarang berasal dari keluarga kaya. Beli sepatu tracking itu mah kecil, hanya
seperberapanya dari uang sekolah. Sedangkan kami dulu ngirit, beli parafin buat
masak-masak aja urunan--padahal harganya Rp8000/8 keping di Pasar Muntilan.
Barangkali masih banyak kemungkinan
lain yang tidak saya tahu. Namun apapun itu, saya berharap semua pendaki
berangkat dari tempat tinggal dengan selamat, pulang juga selamat. Sepatu
tracking adalah salah satu upaya mencapai keselamatan itu, masih ada banyak
upaya lain.
Saya sendiri baru beli sepatu Rei
tahun 2010, sampai sekarang masih dipakai meski sudah sedikit robek. Kalau
masih rutin naik gunung, mending beli sepatu tracking, gaes. Jangan bilang
enggak ada uang. Setiap bulan ada kau habiskan setengah juta rupiah buat kau
hisap, masak buat beli sepatu enggak ada uang :)