04 February 2016

Tetap Tegar Walau Terkilir

Tahun 2006 saya ikut organisasi Pelajar Pecinta Alam van Lith (Papala VL). Mottonya: tetap tegar walau terkilir. Nah, kegiatan di Papala itulah yang membuat saya hingga—paling tidak—awal tahun 2016 ini masih naik gunung. Namun ini bukan soal naik gunung, ini soal sepatu tracking.

Berdasarkan pantauan (baca: kepo) dari media sosial, Papala masih rutin mengadakan pendakian bersama. Sekarang teman-teman Papala keren. Gear pendakiannya bagus dan komplit, sepatunya juga sepatu tracking semua. Sungguh, ini pujian, bukan sindiran. Karena bagaimanapun sepatu tracking itu kan memang didesain untuk keamanan pendaki.

Dulu seingat saya (semoga saya salah ingat) hanya ada satu (atau dua) teman seangkatan yang punya sepatu tracking. Artinya, sepatu tracking itu barang mewah. Bahkan setahu saya pernah ada kakak kelas yang pinjam sepatu tracking punya teman saya. Apakah itu berarti teman seangkatan kakak kelas saya tidak ada punya sepatu tracking? Entah.

Kami dulu naik gunung pakai sepatu olah raga biasa, bukan sepatu tracking. Saya beli Reebok yang lagi didiskon 70 persen, sebagian pakai sepatu lari, sebagian yang lain pakai Converse biasa. Tentu saja solnya licin dan bagian atasnya tak melindungi pergelangan dari risiko terkilir.

Saya tidak tahu mengapa bisa berbeda begini. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dulu sepatu tracking harganya mahal, sekarang lebih terjangkau. Barangkali 10 tahun yang lalu kegiatan pendakian belum sangat populer seperti sekarang—pasca 5 cm. Karena sudah jadi tren lalu banyak variasi sepatu tracking, baik model maupun harga, yang memperebutkan pasar.

Kedua, sepatu tracking mudah dicari. Kembali ke tren tadi, pilihan model dan harga banyak. Beberapa tahun terakhir toko outdoor di Jogja juga jadi banyak sekali. Bisa milih mau beli di mana, model gimana, merek apa, harga berapa, ori atau kw :) Itu di media sosial juga banyak yang jual kalau mau beli online.

Tiga, anak-anak van Lith yang sekarang berasal dari keluarga kaya. Beli sepatu tracking itu mah kecil, hanya seperberapanya dari uang sekolah. Sedangkan kami dulu ngirit, beli parafin buat masak-masak aja urunan--padahal harganya Rp8000/8 keping di Pasar Muntilan.

Barangkali masih banyak kemungkinan lain yang tidak saya tahu. Namun apapun itu, saya berharap semua pendaki berangkat dari tempat tinggal dengan selamat, pulang juga selamat. Sepatu tracking adalah salah satu upaya mencapai keselamatan itu, masih ada banyak upaya lain.

Saya sendiri baru beli sepatu Rei tahun 2010, sampai sekarang masih dipakai meski sudah sedikit robek. Kalau masih rutin naik gunung, mending beli sepatu tracking, gaes. Jangan bilang enggak ada uang. Setiap bulan ada kau habiskan setengah juta rupiah buat kau hisap, masak buat beli sepatu enggak ada uang :)

Ingat, selain utamakan selamat, jaga juga kelestarian ekosistem gunung. Minimal matikan bara api dan bawa turun sampahmu. Mari mendaki lagi.

Baca Tulisan Lain