24 January 2016

Bergerak Menolak Hoax!

Pekan lalu muncul berita ironis di TribunSumsel.com. Berita itu berjudul “Kesal Perawat Digoda, Dokter Pukul Pasien Sekali Tinju Hingga Tewas.” Pada berita tersebut dinarasikan bahwa sang dokter dari Rusia memukul pasien karena dianggap telah menggoda perawat. Terasa tipis aroma seksualitas pada berita ini, yang lalu banyak dibaca dan di-like oleh jutaan pembaca dalam hitungan menit. Isu seksualitas secara umum memang sensitif secara kultural, sehingga sering mendapat perhatian meski sepintas saja (Mc Bride et al, 2007).

Namun berita tersebut rupanya hoax. Ada beberapa versi mengenai asal istilah hoax, tetapi secara umum disepakati bahwa hoax adalah informasi yang bohong, palsu, atau tak sesuai kenyataan. Berita mengenai kebohongan yang disebar oleh sebuah media online korporasi yang besar tentu menjadi ironi—bila tak disebut tragedi. Parahnya, ini adalah fenomena gunung es. Sangat terasa ketika serangan teroris “Bom Thamrin” pekan lalu informasi tersebar begitu cepat tanpa kita bisa mengkonfirmasi. Meminjam gagasan Bucy (2011), di era digital ini kita memang lebih cepat memproduksi informasi dari pada mengonsumsinya.

via hoax-slayer.com
Berita baiknya, resistensi akan kepalsuan itu juga muncul dari media sosial sendiri. Sebut saja salah satu yang aktif mencerahkan benak publik dari hoax itu adalah komunitas dan halaman Facebook bernama Indonesian Hoaxes yang juga memiliki website. Dengan tagline “Membongkar Kebohongan dan Mengekspos Penipuan” mereka bekerja secara sistematis untuk memeriksa kebenaran sebuah informasi.

Untuk kasus berita di atas, misalnya, mereka  awalnya melakukan pembacaan ulang dari sumber berita. Langkah awal ini digunakan terutama untuk berita-berita yang hanya diterjemahkan dari situs web di luar negeri. Dari langkah pertama saja mereka bisa menemukan kesalahan. Langkah kedua adalah mencari data bandingan dari sumber lain yang lebih kredibel dan memberitakan kelanjutan dari berita tersebut. Akhirnya mereka menemukan data  hasil investigasi kasus tersebut yang mengatakan bahwa bukan godaan yang memicu dokter naik pitam dan memukul, tetapi karena pasien menendang perawat terlebih dahulu.

Di tengah angka 93,4 juta pengguna Internet di Indonesia (tahun 2015) kita boleh merasa optimis lantaran masih ada segelintir pengguna yang menunjukkan upaya cerdas untuk mencerahkan benak publik. Tindakan yang dilakukan oleh Indonesian Hoax ini sejalan dengan apa yang disebut Jeremy Keeshin sebagai ‘pembacaan kritis’—yang menurutnya jauh lebih penting dari kebenaran dalam media. Gagasan pembacaan kritis ini diawali dengan selalu mempertanyakan informasi yang masuk dalam benak kita. Setelah itu informasi diletakkan dalam konteks pengetahuan anda, sembari tetap memegang prinsip bahwa sebuah pesan terletak pada apa yang ‘tidak dikatakan’ oleh pengirim pesan.

Kendati optimis, masih ada persoalan penting yang mestinya dituntut oleh warga, yakni kegagalan (media dalam proses jurnalisme. Penyebaran berita hoax  oleh media online korporasi adalah tanda kesuraman kualitas media kita. Sebagaimana dituliskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, disiplin verifikasi adalah pembeda dari jurnalisme dengan berita hiburan, propaganda, fiksi, dan sebagainya. Verifikasi dari informasi idealnya sudah dilakukan di proses jurnalisme sejak awal, mulai dari wartawan di lapangan hingga redaktur di atasnya. Verifikasi yang dilakukan oleh warga digital macam tadi sepantasnya jadi cambukan keras bagi redaksi-redaksi media di Indonesia untuk memperbaiki kualitas pemberitaan.




No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain