Keberadaan kolom komentar pada
media online di Indonesia seakan menjadi perangkat wajib bagi setiap redaksi
media online. Ketersediaan bagian ini memungkinkan setiap pembaca dapat
menuliskan komentar atas berita yang mereka baca di atasnya. Komentar
barangkali jarang diperhatikan sebagai objek kajian, tetapi studi pada media
online sekiranya perlu menilik ke sana. Pasalnya, komentar pembaca adalah
representasi proses akhir dari jurnalisme: interpretasi pembaca (Reich, 2011).
Di lain sisi, Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel mengingatkan
bahwa jurnalisme mestinya menyediakan ruang komentar dan kekritisan bagi publik.
Kendati banyak dipandang
sebagai komitmen media atas kebebasan berbicara bagi publik, kolom
komentar—berikut kebijakan redaksi dan kontennya—menyimpan berbagai persoalan
yang belum selesai. Persoalan pertama adalah mengenai kualitas komentar. Karena
kemunculan kolom komentar ini adalah kepanjangan dari demokrasi, maka kualitas
komentarpun perlu merujuk ke arah sana. Mengadopsi dari gagasan Habermas
(1996), kualitas komentar dilihat dari dua hal, yaitu argumentasi dan adanya
diskusi.
via dryicons.com |
Riset yang dilakukan atas
komentar pada media online Detik.com, Kompas.com, dan VivaNews menunjukkan
tingkat argumentasi yang relatif rendah (Sanjaya, 2013). Rata-rata hanya
sebesar 22 persen dari sampel komentar yang mencantumkan argumentasi dari
dalil-dalil yang dituliskan. Hal ini masih diperburuk dengan ketidakmampuan
para komentator untuk mencantumkan sumber atau tautan online atas informasi
yang mereka sampaikan yang sebanyak 88,1 persen. Sedangkan tingkat
responsivitas penulis komentar juga terhitung rendah. Rata-rata 14,7 persen
saja komentar yang menanggapi (baik dalam bentuk sanggahan, dukungan, atau
pertanyaan) komentar lain. Tentu saja peluang diskusi menjadi teramat kecil
ketika penulis komentar tidak saling merespons dalil yang mereka ajukan.
Data tersebut sekiranya
merepresentasikan bahwa kualitas komentar pembaca di media online kita masih
belum mengarah kepada demokrasi yang berdiri di atas akal sehat. Informasi dan
data yang berasal dari sumber valid tentu dibutuhkan bagi seseorang untuk membangun
argumentasi yang kuat. Argumentasi tersebut yang nantinya akan dibenturkan pada
data lain yang juga kuat untuk kemudian membentuk sebuah diskusi yang saling
responsif. Namun hal tersebut jelas belum muncul dalam kolom komentar.
Belum selesai dengan persoalan
pertama mengenai konten komentar, persoalan kedua yang sulit untuk diantisipasi
adalah kehadiran akun robot yang turut berkomentar. Dalam konteks media sosial
Twitter, saat jelang Pemilihan Presiden 2014 kemarin, tercatat ribuan
akun robot bertambah setiap
harinya. Jamak juga ditemukan akun serupa dalam media online. Belum bisa
dibuktikan apakah ada orang-orang yang bertugas untuk membuat akun baru
kemudian membom kolom tersebut dengan komentar-komentar yang bernada sama guna
membentuk opini umum.
Barangkali lebih tepat bukan
disebut sebagai akun robot, tetapi pengguna yang tidak valid. Artinya, dia
tidak mengungkapkan identitas dirinya secara jujur, sebagaimana dia gunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Kaskazi (2014) menyebut pemakaian akun palsu ini
akan membuat pengguna lebih bebas
dalam berekspresi. Mereka tak akan khawatir ada orang yang mereka kenal
menyadari apa yang mereka katakan dalam dunia maya. Namun tidak menutup
kemungkinan ada motif lain, seperti melepas tanggung jawab atas
kecurigaan-kecurigaan tak berdasar yang diungkapkan dalam komentar.
Lantas apa yang perlu
dilakukan oleh redaksi untuk menanggulangi persoalan ini? Penulis mengajukan
dua gagasan yang sudah banyak dimulai. Pertama, mensyaratkan pengguna untuk
mendaftar sebelum menuliskan komentar. Kompas.com, misalnya, memberikan pilihan
untuk registrasi atau dihubungkan dengan akun media sosial
Facebook/Twitter/Google+. Sedangkan pada HarianJogja.com pembaca yang hendak
berkomentar “diwajibkan” memiliki akun Facebook. Komentar di media tersebut akan
muncul pula pada akun Facebook anda. Meskipun ada kemungkinan nama di akun
jejaring sosial juga palsu, tetapi ini menanggulangi orang untuk langsung
berkomentar.
Gagasan kedua, adalah dengan
melakukan moderasi. World Editor Forum menuliskan panduan-panduan yang
menarik soal ini. Pada dasarnya, moderasi ini diperlukan guna menjaga nama baik
organisasi media dengan cara menghadirkan diskusi-diskusi yang berkualitas
tinggi. Pada kenyataannya, di Indonesia, moderasi online yang efektif
barangkali terjadi pada platform-platform diskusi, bukan pada kolom komentar.
Yang dilakukan moderator pada kolom komentar sejauh ini adalah menghapus
komentar atau mengganti kata-kata yang sensitif (misal: kata “tsunami” pada
pemberitaan tentang Aceh) dengan tanda bintang (*).
No comments:
Post a Comment