Tujuan dari kerja bakti
itu baik. Selain membuat lingkungan bersih dan nyaman, interaksi antarwarga
juga terjadi sehingga lebih guyub. Bahkan ada juga yang mengatakan kerja bakti
adalah tempat praktik nilai-nilai Pancasila. Namun saya meyakini satu hal:
tidak setiap warga itu menikmati kerja bakti. Sama dengan pendapatmu?
Berbekal keyakinan
tersebut saya telah membuat survei abal-abal hanya dengan tiga pertanyaan amat
sangat teramat sederhana:
- Menurut saya, kerja bakti itu [wajib / sukarela]
- Menurut saya, warga yang tidak mau ikut kerja bakti itu [kebangetan / biasa saja]
- Pernahkah kamu / keluargamu sengaja untuk pergi atau tidak keluar rumah untuk menghindari ikut kerja bakti? [pernah / belum pernah]
Ketiga pertanyaan ini adalah pertanyaan tertutup (dan memang hanya bisa dua pilihan). Saya share
pertanyaan ini lewat IG Story dan dengan demikian 99,99 persen respondennya
adalah follower akun IG saya. Saya lupa mencatat jumlah jawaban pada setiap
pertanyaan, hanya ada persentasenya saja. Jumlah responden pada setiap
pertanyaan bisa jadi berbeda-beda.
Namun, apapun, mari kita
ulas sedikit survei abal-abal ini!
Wajib
atau Sukarela
Menurut saya, kerja
bakti itu sukarela. Dia tidak bisa diwajibkan, dan orang yang berkuasa di
tingkat RT atau RW juga sebenarnya tak punya legitimasi untuk mewajibkan setiap
warganya iktu kerja bakti. Namun bagaimana menurut responden?
Sebanyak 32 persen
responden mengatakan kerja bakti itu bersifat wajib (diikuti warga). Berita
baiknya, 68 persen responden sealiran dengan saya: kerja bakti itu sukarela.
Namun mungkin, sifatnya yang sukarela itu membuka banyak pilihan bagi warga.
Misalnya:
1.
Ikut
kerja bakti dengan sungguh-sungguh. Membawa alat kebersihan dan apapun yang
diperlukan. Bekerja dari awal hingga selesai.
2.
Ikut
kerja bakti dengan sungguh-sungguh. Tetapi karena akan ada acara lain, dia
pamitan mendahului tetangga yang lain.
3.
Ikut
kerja bakti, tetapi tanpa bawa alat. Bahkan ada yang kerja bakti dengan bawa
handphone yang dia gunakan untuk motret-motret. Ceritanya jadi seksi
dokumentasi!
4.
Tidak
ikut kerja bakti dengan cara pergi dari rumah sebelum / ketika kerja bakti. Bisa
jadi memang ada acara yang tak bisa ditunda, bisa juga sengaja cari-cari acara
supaya keluar dari lingkungan tempat tinggal.
5.
Tidak
ikut kerja bakti dengan cara tidak keluar rumah.
Dan masih banyak lagi
peluang lain yang bisa dilakukan warga dengan persepsi ini.
Persepsi
tentang Penghindar
Oke. Hampir 70 responden
percaya kalau kerja bakti itu sukarela. Namun bagaimana pandangan mereka
mengenai warga yang tidak mau ikut kerja bakti? Kalau dilihat secara telanjang
sih responden bakal memilih jawaban “biasa saja” untuk melabeli warga yang
menghindar itu. Namun benarkah survei mengatakan demikian?
Well, ternyata responden
kita ini konsisten. Persentasenya sama persis, sebanyak 68 persen responden
berpendapat bahwa biasa saja kalau ada warga yang tidak mau ikut kerja bakti. Sisanya
bilang kalau mereka yang tak mau ikut kerja bakti itu keterlaluan.
Namun, sebenarnya ada
yang menarik jika diimajinasikan secara kualitatif. Saya bayangkan kalau
pertanyaan ini dilemparkan di lingkungan tempat saya tinggal, mungkin sebagian besar
jawabannya sama: biasa saja. Tetapi sebenarnya mungkin tidak seperti itu karena
buktinya selalu ada yang ‘dirasani’ atau diomongin di belakang oleh warga.
Entah bapak-bapak, entah ibu-ibu.
Kalau mau dapat jawaban
yang ‘jujur’ pertanyaan tertutup kualitatif ini tidak cocok untuk orang-orang
dengan latar belakang kultur Jawa. Pengalaman kecil saya, ketika tanya
pertanyaan “Apakah di desa ini aman? Tidak ada masalah?” orang akan selalu
jawab, “Aman. Semuanya rukun.” Padahal yang terjadi tidak demikian. Pasti selalu
ada konflik yang memang sengaja untuk tidak terbuka; dan baru kelihatan kalau
digali lebih jauh.
Menjadi
Penghindar Kerja Bakti
Nah, pertanyaan terakhir
ini menarik karena menuntut kejujuran responden. Mereka sudah berpendapat
tentang kerja bakti, juga tentang sikap pada warga yang menolak ikut kerja
bakti. Pertanyaannya, pernah mereka menghindar ikut kerja bakti?
Menariknya, jawaban yang
pernah menghindar dan belum pernah menghindar itu relatif seimbang: 49 dan 51.
Apa artinya angka-angka
ini? Meskipun sebagian besar dari responden melihat kerja bakti itu kegiatan
sukarela, dan warga yang tidak mau ikut kerja bakti itu biasa saja, tetapi
hanya hampir separuh dari responden yang pernah menghindari kerja bakti.
Apakah itu berarti kesimpulannya adalah:
kita senang ikut kerja bakti?
Tentu saja terlalu
prematur untuk melihat kesimpulan itu. Pengalaman pe-kerja-bakti-an tiap
individu responden tentu berbeda, dan sulit untuk menggenaralisir
jawaban-jawaban mereka. Bisa jadi di lingkungan mereka itu kerja bakti bersifat
senang-senang saja, sebagian besar pekerjaan kebersihan lingkungan telah dilimpahkan
kepada pihak ketiga secara profesional. Bisa jadi di lingkungan mereka tinggal
sudah tidak ada lagi kerja bakti karena setiap orang sibuk sendiri. Juga masih
banyak kemungkinan lain.
Refleksi dari saya
adalah, apakah kerja bakti masih relevan untuk keluarga muda yang tinggal di
daerah urban? Apakah kerja bakti masih relevan untuk mereka yang menghabiskan
waktu dan tenaga untuk pekerjaan di weekday dan ingin rebahan atau rekreasi
bersama keluarga di kala weekend? Jika tujuannya adalah untuk mengakrabkan
warga, apakah tidak ada kegiatan lain yang—katakanlah—tidak kalah Pancasilais
dibanding kerja bakti?
No comments:
Post a Comment