Skip to main content

Kerja Bakti: Bukan Kewajiban, tapi Diminati?


Sumber: www.semarangkota.go.id

Tujuan dari kerja bakti itu baik. Selain membuat lingkungan bersih dan nyaman, interaksi antarwarga juga terjadi sehingga lebih guyub. Bahkan ada juga yang mengatakan kerja bakti adalah tempat praktik nilai-nilai Pancasila. Namun saya meyakini satu hal: tidak setiap warga itu menikmati kerja bakti. Sama dengan pendapatmu?

Berbekal keyakinan tersebut saya telah membuat survei abal-abal hanya dengan tiga pertanyaan amat sangat teramat sederhana:
  1. Menurut saya, kerja bakti itu [wajib / sukarela]
  2. Menurut saya, warga yang tidak mau ikut kerja bakti itu [kebangetan / biasa saja]
  3. Pernahkah kamu / keluargamu sengaja untuk pergi atau tidak keluar rumah untuk menghindari ikut kerja bakti? [pernah / belum pernah]

Ketiga pertanyaan ini adalah pertanyaan tertutup (dan memang hanya bisa dua pilihan). Saya share pertanyaan ini lewat IG Story dan dengan demikian 99,99 persen respondennya adalah follower akun IG saya. Saya lupa mencatat jumlah jawaban pada setiap pertanyaan, hanya ada persentasenya saja. Jumlah responden pada setiap pertanyaan bisa jadi berbeda-beda.

Namun, apapun, mari kita ulas sedikit survei abal-abal ini!

Wajib atau Sukarela

Menurut saya, kerja bakti itu sukarela. Dia tidak bisa diwajibkan, dan orang yang berkuasa di tingkat RT atau RW juga sebenarnya tak punya legitimasi untuk mewajibkan setiap warganya iktu kerja bakti. Namun bagaimana menurut responden?

Sebanyak 32 persen responden mengatakan kerja bakti itu bersifat wajib (diikuti warga). Berita baiknya, 68 persen responden sealiran dengan saya: kerja bakti itu sukarela. Namun mungkin, sifatnya yang sukarela itu membuka banyak pilihan bagi warga. Misalnya:
1.      Ikut kerja bakti dengan sungguh-sungguh. Membawa alat kebersihan dan apapun yang diperlukan. Bekerja dari awal hingga selesai.
2.      Ikut kerja bakti dengan sungguh-sungguh. Tetapi karena akan ada acara lain, dia pamitan mendahului tetangga yang lain.
3.      Ikut kerja bakti, tetapi tanpa bawa alat. Bahkan ada yang kerja bakti dengan bawa handphone yang dia gunakan untuk motret-motret. Ceritanya jadi seksi dokumentasi!
4.      Tidak ikut kerja bakti dengan cara pergi dari rumah sebelum / ketika kerja bakti. Bisa jadi memang ada acara yang tak bisa ditunda, bisa juga sengaja cari-cari acara supaya keluar dari lingkungan tempat tinggal.
5.      Tidak ikut kerja bakti dengan cara tidak keluar rumah.
Dan masih banyak lagi peluang lain yang bisa dilakukan warga dengan persepsi ini.

Persepsi tentang Penghindar

Oke. Hampir 70 responden percaya kalau kerja bakti itu sukarela. Namun bagaimana pandangan mereka mengenai warga yang tidak mau ikut kerja bakti? Kalau dilihat secara telanjang sih responden bakal memilih jawaban “biasa saja” untuk melabeli warga yang menghindar itu. Namun benarkah survei mengatakan demikian?

Well, ternyata responden kita ini konsisten. Persentasenya sama persis, sebanyak 68 persen responden berpendapat bahwa biasa saja kalau ada warga yang tidak mau ikut kerja bakti. Sisanya bilang kalau mereka yang tak mau ikut kerja bakti itu keterlaluan.

Namun, sebenarnya ada yang menarik jika diimajinasikan secara kualitatif. Saya bayangkan kalau pertanyaan ini dilemparkan di lingkungan tempat saya tinggal, mungkin sebagian besar jawabannya sama: biasa saja. Tetapi sebenarnya mungkin tidak seperti itu karena buktinya selalu ada yang ‘dirasani’ atau diomongin di belakang oleh warga. Entah bapak-bapak, entah ibu-ibu.

Kalau mau dapat jawaban yang ‘jujur’ pertanyaan tertutup kualitatif ini tidak cocok untuk orang-orang dengan latar belakang kultur Jawa. Pengalaman kecil saya, ketika tanya pertanyaan “Apakah di desa ini aman? Tidak ada masalah?” orang akan selalu jawab, “Aman. Semuanya rukun.” Padahal yang terjadi tidak demikian. Pasti selalu ada konflik yang memang sengaja untuk tidak terbuka; dan baru kelihatan kalau digali lebih jauh.

Menjadi Penghindar Kerja Bakti

Nah, pertanyaan terakhir ini menarik karena menuntut kejujuran responden. Mereka sudah berpendapat tentang kerja bakti, juga tentang sikap pada warga yang menolak ikut kerja bakti. Pertanyaannya, pernah mereka menghindar ikut kerja bakti?

Menariknya, jawaban yang pernah menghindar dan belum pernah menghindar itu relatif seimbang: 49 dan 51.

Apa artinya angka-angka ini? Meskipun sebagian besar dari responden melihat kerja bakti itu kegiatan sukarela, dan warga yang tidak mau ikut kerja bakti itu biasa saja, tetapi hanya hampir separuh dari responden yang pernah menghindari kerja bakti. 

Apakah itu berarti kesimpulannya adalah:
kita senang ikut kerja bakti?

Tentu saja terlalu prematur untuk melihat kesimpulan itu. Pengalaman pe-kerja-bakti-an tiap individu responden tentu berbeda, dan sulit untuk menggenaralisir jawaban-jawaban mereka. Bisa jadi di lingkungan mereka itu kerja bakti bersifat senang-senang saja, sebagian besar pekerjaan kebersihan lingkungan telah dilimpahkan kepada pihak ketiga secara profesional. Bisa jadi di lingkungan mereka tinggal sudah tidak ada lagi kerja bakti karena setiap orang sibuk sendiri. Juga masih banyak kemungkinan lain.

Refleksi dari saya adalah, apakah kerja bakti masih relevan untuk keluarga muda yang tinggal di daerah urban? Apakah kerja bakti masih relevan untuk mereka yang menghabiskan waktu dan tenaga untuk pekerjaan di weekday dan ingin rebahan atau rekreasi bersama keluarga di kala weekend? Jika tujuannya adalah untuk mengakrabkan warga, apakah tidak ada kegiatan lain yang—katakanlah—tidak kalah Pancasilais dibanding kerja bakti?


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.