Sumber: iflix.com |
Film serial Korea
yang baru saja saya tuntaskan dalam waktu singkat ini berjudul “Diary of A
Prosecutor.” Total ada 16 seri, dengan durasi masing-masing sekitar satu jam.
Secara umum film ini bukan berisi kisah cinta, tetapi kisah jaksa dalam menghadapi
berbagai persoalan di kantor dan di luar kantor. Target penontonnya barangkali
usia 30 tahunan ke atas. Sepertinya bukan untuk remaja. Cinta-cintaan tetap ada
sih, tetapi sebagai pemanis saja.
Oh ya, sebelum
baca lebih jauh, ada dua hal yang perlu saya sampaikan ke pembaca. Pertama,
saya tidak akan menuliskan alur ceritanya. Saya hanya akan menulis hal-hal yang
menarik dan membuat bertanya-tanya. Kedua, saya tidak tahu (dan tidak terlalu
peduli) dengan siapa sutradara, produser, artis, dll. Oke lanjut.
Promosi Wisata
Saya melihat
film ini sebagai bagian dari promosi wisata negara Korea Selatan. Dulu saya
pernah dengar kalau produksi masal drama Korea ini sangat didukung oleh
pemerintah. Salah satu tujuannya adalah menarik kunjungan wisatawan mancanegara
ke Korea Selatan. Saya tidak tahu kabar itu benar atau tidak. Kalau benar, saya
duga film ini terindikasi mengarah ke situ. Apa sebab?
Film ini berlatar
belakang di sebuah kota di wilayah Jinyoung. Saya tidak tahu mengapa saya tidak
menemukan nama wilayah ini di peta, mungkin tidak teliti. Kota ini digambarkan
terletak di tepi selatan Korea Selatan. Jadi banyak dimunculkan pemandangan
laut dari atas, jembatan panjang yang menghubungkan pulau, kapal-kapal kecil
maupun besar untuk menyeberang. Saya jadi teringat Kota Ambon kalau dilihat
dari atas begitu. Mungkin ini adalah salah satu bentuk promosi kota ini.
Seoul vs Kota Kecil
Beberapa
adegan ini juga mengkontraskan Seoul dan kota kecil. Seoul digambarkan sebagai
kota besar yang menjadi jujugan orang dari seluruh wilayah Korea Selatan untuk
mendapat akses pendidikan dan ekonomi yang lebih baik. Seoul adalah tempat karier
dibangun dengan menjanjikan, sekaligus rawan dimanfaatkan, karena perputaran
uang dan dekat dengan pusaran kekuasaan politik di Korea Selatan.
Tetapi, Seoul
juga digambarkan sebagai kota yang menuntut para pekerjanya untuk bekerja lebih
keras. Di salah satu scene itu aktor utama bilang, “Saya di sana bekerja sampai
sekarat.” Bahkan ketika ada perpisahan kecil karena ada penyidik yang dipindah
ke Seoul, dia mendapat buah tangan vitamin dengan pesan, “Di sana kau akan
bekerja jauh lebih keras. Tubuhmu harus tetap sehat.” Kondisi kerja di Seoul
juga cenderung individualis dan punya relasi yang dingin dibandingkan dengan kondisi
kerja di kota kecil. Intinya, metropolitan sekali. Kayak sering dengar ya? 😏
Persoalan Kelas
Film ini
mengangkat dengan cukup apik persoalan kelas di kota itu. Pada sebuah inspeksi
yang dilakukan oleh kejaksaan pusat, si tokoh utama ditanya, “Ada kecenderungan
kau memberikan hukuman ringan untuk orang miskin dan hukuman yang berat untuk
orang kaya. Mengapa?” Sekali lagi, isu kelas di film ini digambarkan dengan
apik. Beberapa film lain yang saya tonton isu kelas ini sebatas gadis yang
berasal dari keluarga miskin yang terlibat kisah romantis dengan pria dari
keluarga kaya. Begitu terus polanya.
Tapi isu kelas
di film ini berbeda, dan barangkali cenderung realistis. Orang-orang kaya yang
digambarkan dalam film ini adalah penipu, kasar, manipulatif, pengusaha besar
yang penuh kecurangan hingga menimbulkan korban jiwa, pengusaha yang senang
mabuk, dsb. Tentu saja, mereka juga sering berhadapan dengan hukum, dan
seringkali keluar sebagai pemenang karena kekuatan modal yang dimiliki.
Ada suatu
scene yang menggambarkan si orang kaya itu kalah dalam persidangan. Sebelumnya mereka
sudah ada kesepakatan jahat dengan jaksa kepala cabang, tetapi kesepakatan itu
dipatahkan oleh jaksa yang bertugas di persidangan. Si orang kaya ini dituntut
hukuman 7 tahun penjara sesuai dengan tuntutan awal.
Isu Sosial
Film ini juga
banyak angkat tentang isu sosial yang sangat realistis. Sangat sehari-hari. Misalnya,
isu perundungan anak-anak. Anak dari tokoh utama ini diceritakan melakukan
kekerasan verbal kepada salah seorang temannya dengan memanggil dia “bajingan”.
Selain itu dia juga memperlakukan teman itu sebagai kurir, disuruh untuk
membelikan makanan.
Isu yang lain
adalah kekerasan pada perempuan di dalam keluarga. Ada dua cerita kekerasan
yang dialami oleh istri, dilakukan oleh suami. Salah seorang tokoh utama, Jaksa
Cha, rupanya berangkat dari keluarga yang melakukan kekerasan itu. Jaksa Cha,
yang saat itu masih anak-anak, merasa tidak tahan melihat ibunya babak belur
dipukuli ayahnya. Dia lalu memutuskan untuk menutup mata dengan kabur dari
rumah. Alur ke belakang ini muncul karena dia menangani kasus seorang istri
yang dituntut karena membunuh suaminya. Dia membunuh karena selama 40 tahun dia
mengalami kekerasan oleh suami. Salah satu faktor yang melanggengkan kekerasan
dalam rumah adalah anak laki-laki yang tidak peduli dengan apa yang terjadi. Scene
yang ini menurut saya paling emosional.
Isu yang lain
lagi adalah kondisi ibu yang bekerja. Struktur masyarakat yang cenderung
patriarkal membebankan kewajiban mengasuh anak ada pada ibu, tidak memandang
apakah dia bekerja di publik atau tidak. Jaksa Oh, adalah salah satunya. Selain
bekerja sebagai jaksa di pagi sampai siang hari, dia juga menjadi ibu yang
mengasuh sepasang anak kembar yang masih bayi. Suaminya digambarkan bekerja di
kota lain.
Isu berikutnya
adalah soal kerja paksa. Ini isu yang diangkat dengan sangat hati-hati di film
ini. Seingat saya hanya disebut di seri 16 yang adala seri terakhir. Ada apa
ya? Apakah pernah ada praktik-praktik kerja paksa di Korea Selatan belum lama
ini?
Kultur Kerja
Karena berlatar
belakang dunia kerja, setiap adegan di film ini menggambarkan bagaimana kultur
kerja di Korea Selatan. Pertama, penjilat. Ini mungkin tidak hanya di Korea
Selatan, tetapi juga di seluruh dunia. Sungguh saya melihat banyak sekali
adegan penjilatan kepada pantat atasan atau pantat orang penting lainnya—tentu bukan
arti sebenarnya. Ada adegan Jaksa Choi (kepala cabang) yang sampai mengikatkan
tali sepatu seseorang untuk menjilatnya.
Kedua, kerja
lembur. Kerja lembur di film ini mengerikan karena betul-betul lembur sampai
pagi. Sekitar jam 1 atau 2 pagi. Bahkan ada yang sampai terang juga.
Menariknya, setiap kerja lembur itu selalu digambarkan kantor yang dalam
kondisi gelap dan satu-satunya lampu yang menyala adalah lampu di meja kerja
karyawan yang lembur. Saya tidak tahu apakah memang begitu kerja orang lembur?
Saya tidak
tahu kebiasaan ini karena pekerjaan saya bisa dilakukan di rumah kalau tidak
selesai di kantor. Di rumah, saya bisa menulis kapanpun. Misalnya, artikel ini,
ditulis mulai pukul setengah dua pagi. Hehe.
Ketiga,
kesetiaan pada atasan. Di film itu digambarkan dengan sangat jelas bagaimana
relasi bawahan dengan atasan. Bagaimana relasi middle manager dengan top
manager. Bagaimana juga relasi antara senior dengan junior. Bahkan kata-kata
yang saya dengar sering diucapkan oleh bawahan kepada atasan adalah “Saya akan
melayanimu dengan baik.” Mereka bisa seperti teman sebaya pada saat biasa, bisa
mendebat jika diperlukan, tetapi siap pergi dan sangat menghormati ketika
diusir oleh atasan.
Keempat,
persaingan kerja. Saya jadi tahu cara menjegal teman sekantor dari film ini. Cara
paling mudah tentu saja dengan menjilat atasan. Para jaksa ini rupanya juga
saling berebut kasus yang menarik, kasus yang penting, yang dianggap bisa
menaikkan prestasi mereka, yang akhirnya berujung pada kenaikan jabatan.
Hati Nurani vs Profesionalitas yang Dingin
Terakhir,
tentang hati nurani versus profesionalitas. Seringkali kerja jaksa dikritik
karena mereka tidak ‘adil’ dalam menuntut seorang terdakwa. Ada dua orang
dengan pelanggaran yang sama, dengan kondisi sama-sama belum pernah melakukan
pelanggaran yang lain, tetapi dituntut dengan hukuman yang berbeda karena
mereka memiliki sikap yang berbeda ketika diinterogasi. Profesional atau tidak?
Atau tentang
menuntut bebas seorang istri yang membunuh suaminya padahal dia mengaku punya
niat untuk membunuh. Pertimbangannya adalah istri itu sudah mengalami kekerasan
dari suami begitu parahnya selama 40 tahun pernikahan. Profesional atau tidak?
Epilog
Ego pribadi
atau keutuhan organisasi? Prestasi pribadi atau kinerja kelompok? Citra
kejaksaan atau keadilan? Konflik-konflik batin dan konflik antarpekerja ini
dibalut dengan baik dalam film ini. Eksplorasi pemandangan keindahan kota pesisir
juga menambah kenyamanan dalam menonton. Menurut saya, yang orang awam dalam
film (apalagi film Korea Selatan), angka 9/10 layak untuk diberikan. Lanjut lagi ah. Ada saran?
No comments:
Post a Comment