Yesus
telah mati ribuan tahun lalu. Namun ajarannya masih hidup dan dihidupi manusia
sampai saat ini. Mereka bercita-cita mengikuti Yesus, menjadi murid Yesus,
meneladan Yesus. Untuk yang terakhir ini, mungkinkah mereka betul-betul mampu
meneladani Yesus?
Yesus
seringkali digambarkan sebagai sosok yang mampu mengampuni dosa (Lukas 5:20). Bahkan
setelah didera, Yesus juga berdoa kepada Allah: “Ya Bapa, ampunilah mereka,
sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:24). Kata-kata ini
muncul setelah Yesus dikhianati murid, ditangkap, disiksa, dipermalukan, diarak
untuk memanggul salib, lalu dipaku di atas salib yang dia panggul sendiri.
Namun,
jangan lupa, Yesus adalah juga simbol perlawanan. Mungkin saya sedikit memaksa,
tapi izinkan saya mempertentangkan antara ‘pengampunan’ dengan ‘perlawanan’
dalam konteks politis-sosiologis. Ingat saat Yesus mengobrak-abrik Bait Allah
(Matius 21:12; Lukas 19:45; Yohanes 2:15-16)? Ingat juga saat Yesus dengan
keras menyindir (dan mengkritik) praktik beragama orang-orang Farisi (banyak
sekali di Injil)?
Maka
tak heran dalam perspektif tertentu, kematian Yesus dianggap sebagai fenomena
politik. Tak lain, Yesus dianggap sebagai korban politik. Kematiannya
menyangkut posisi penguasa pada saat itu: Pontius Pilatus. Dia yang di-skakmat
oleh Yesus setelah bilang, “Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk
membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” (Yohanes
19:10). Yesus menjawab, “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku,
jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas..” (Yohanes 19:11).
Selain
itu tentu saja Yesus digambarkan sebagai penyembuh, seorang yang bijak, seorang
yang pandai ber-retorika, dan sebagaimana nabi pada umumnya. Yang bikin
penasaran, di Alkitab apakah ada penggambaran Yesus sebagai orang yang humoris?
Pertanyaan
ini mungkin tak masuk akal, atau setidaknya, tak relevan. Maksudnya, untuk apa
sifat humoris Yesus dipertanyakan? Pada saat Alkitab ditulis, humoris mungkin bukan
sifat yang ingin dibangun dari seorang nabi, seorang utusan, atau seorang yang
dikultuskan.
Persoalannya,
Yesus perlu tahu (atau mungkin dia sudah tahu hehehe) bahwa gambaran tentang
dirinya ini banyak dijadikan lelucon. Atau hinaan. Atau mungkin memang
lelucon-yang menghina. Atau apapun itulah. Terserah padamu bagaimana
menyebutnya.
Minggu
lalu saya melakukan survei abal-abal dengan metodologi riset yang tak dapat
dipertanggungjawabkan. Awalnya saya posting di Instagram Story beberapa gambar
Yesus yang dijadikan hinaan/lelucon. Saya dapat beberapa gambar itu dari
Twitter. Sebenarnya ada banyak sekali, tapi beberapa yang saya posting adalah
sebagai berikut:
Setelah
itu saya bikin polling dengan pertanyaan apakah gambar-gambar tadi sebuah
hinaan atau sebuah lelucon. Hasilnya begini:
Oh
ya, ini informasi penting. Dugaan saya, sebagian besar follower akun Instagram
saya adalah penganut agama Katolik dan Kristen Protestan. Setelah itu baru
penganut agama mayoritas di Indonesia: Islam. Mengapa penting? Profil agama
responden ini mungkin bisa menjelaskan angka-angka persenan jawaban dari
survei. Tapi bukannya ini abal-abal? Serius banget elah.
Oke
lanjut. Pertanyaan kedua (dan terakhir. Yes, survei abal-abal ini cuma terdiri
dari dua pertanyaan ora penting ahahahaha) adalah: kira-kira apa reaksi Yesus?
Tertawa atau mengumpat (marah)? Begini hasilnya:
Nah,
mari kita bahas. Pertanyaan pertama, tentang lelucon atau hinaan. Saya cukup
terkejut, beberapa kenalan dekat saya (beragama Katolik dan Kristen Protestan)
melihat hal ini sebagai hinaan. Awalnya saya menyangka mereka punya sifat yang
ingin digambarkan oleh agama minoritas ini: santuy.
Semacam
“Salib, gambar, patung, kitab suci, dan barang-barang gerejawi lainnya adalah
simbol. Mereka sebatas alat atau sarana untuk membantu kita berdoa kepada
Tuhan. Perusakan dan penghinaan terhadap simbol tak akan menggoyahkan iman
kami. Santuy.” Begitu.
Ada
kawan dekat saya lalu berpendapat lewat DM:
Sedih yaa Njay. Beberapa yg share gambar tersebut justru orang nasrani sendiri. Mungkin tujuannya ingin menunjukkan eksistensi bahwa nasrani itu seloo, gak baperan bila Tuhannya dinistakan. Bikin meme gak masalah, memang Tuhan Maha Asyik, tapi tetap tunjukin rasa hormat kepadaNya.
Mereka
yang beragama lain ada yang bilang ini hinaan? Ada kok. Bahkan tidak sedikit.
Mereka tak menjelaskan lewat DM sih, tapi saya kok menduga mereka turut
berempati ketika gambar Yesus dijadikan hinaan/lelucon seperti ini.
Hanya
saja saya tak berharap mereka berpikiran kalau yang bikin gambar-gambar ini
adalah kaum mereka. Mengapa? Karena bisa jadi yang bikin adalah orang Katolik
atau Kristen Protestan sendiri. Persis seperti yang dikatakan kawan dekat saya:
Kita
beranjak ke pertanyaan kedua: apa reaksi Yesus? Terus terang, setelah saya
pikir-pikir kembali, saya sendiri merasa bingung dengan pertanyaan ini. Terima
kasih mas Nipeng sudah DM saya untuk menjelaskan tentang ini. Kalau saya
berkaca dalam tingkah laku saya sehari-hari, saya sering mengumpat (misuh)
sambil tertawa ngakak. Kalau dikonversi dalam chat kira-kira jadi:
“hahahahahasuuuu..” atau “hahahahahahabajingan..”
Semogalah
para responden yang berbahagia ini tahu maksudnya. “Ngakak” berarti tertawa,
tidak masalah dengan gambar-gambar itu. Tidak baperlah untuk bahasa sekarang.
Sementara “misuh” berarti marah, tidak berkenan dengan gambar-gambar itu.
Berbanding
lurus dengan pertanyaan pertama, sebagian besar menjawab “ngakak”
Berdasarkan
penerawangan saya setelah puasa merokok sehari semalam, hal ini berarti mereka
membayangkan kalau Yesus punya persepsi yang sama dengan mereka (apapun
agamanya).
Artinya,
responden yang menjawab kalau gambar-gambar itu adalah “lelucon” akan
beranggapan Yesus akan “ngakak” ketika melihat gambar-gambar tadi. Begitu?
Nggak
juga. Sebagian besar memang iya sih, tapi ada juga kok yang jawab kalau
gambar-gambar itu “hinaan” dan membayangkan Yesus akan tetap “ngakak” ketika
melihatnya. Mungkin dia beranggapan kalau Yesus akan selalu tertawa atas apapun
yang menimpa hidupnya. Mungkin begitu ya.
Apapun
jawabannya, dianggap santai saja lah. Toh ini bukan riset yang serius. Secara
metodologis banyak lubang di sana-sini yang bikin riset ini tidak memenuhi
kaidah-kaidah ilmiah. Justru karena tidak ilmiah ini, boleh dong logikanya
dijungkirbalikkan tidak karuan?
Kalau
masyarakat kita sering anggap sesuatu yang serius jadi lelucon (misal: LGBT,
bunuh diri, gangguan jiwa, dsb.) bagaimana kalau kita mulai anggap survei ora
penting ini menjadi tanda yang serius? Nggak mau juga nggak apa-apa sih, tapi
saya akan jalan terus.
Pertama,
ini tentang persepsi dan kejujuran. Seringkali kita menjawab tidak benar-benar
jujur tentang pendapat kita, tapi menjawab ‘apa yang orang harapkan kepada kita
dalam menjawab.’ Bisa jadi responden ini ingin jawab jujur dengan jawab
“hinaan” dan “misuh”, tapi kan Katolik dan Kristen adalah agama yang dewasa dan
tidak mudah marah, maka mereka pilih jawaban yang lain—yang mereka anggap lebih
diharapkan menjawab begitu.
Tentu
saja ini dugaan. Sanggahan dipersilakan di kolom komentar di artikel ini,
saudara-saudara…
Kedua,
ini tentang intoleransi di Indonesia. Kita boleh merasa kondisi kita baik-baik
saja. Semua agama damai-damai saja. Akun-akun agama garis lucu bercanda dengan
bahagia di Twitter, dan banyak dari kita menikmatinya. Namun, selama penguatan
identitas agama masih digunakan dalam pertarungan politik dan ekonomi,
intoleransi akan tetap terjadi. Yang satu akan bertarung melawan yang lain,
yang sayangnya, menggunakan tameng agama.
Butuh
bukti? Mari kita baca catatan sejarah di Indonesia dan di seluruh dunia. Saya
juga belum baca banyak hal tentang hal ini. Semoga anda para pembaca bisa share
judul-judul tulisan penting di kolom komentar…..
Ketiga,
sebagai calon peneliti yang (semoga) bukan abal-abal, saya rupanya tidak
mengimani angka. Hahahaha. Sebatas sebagai alat, boleh saja lah. Fungsinya sama
dengan patung, gambar, dupa, bunga,
apapun yang mengantar kita pada sang kebenaran yang sejati. ‘Sesuatu’ yang tak
mampu dicapai oleh nalar manusia; yang tak ter-bahasa-kan.
Nah,
saya kembali ke pertanyaan di paragraf pertama: mampukah meneladani Yesus?
Mananya Yesus yang akan diteladani? Apa benar itu sifatnya Yesus? Jangan-jangan
itu pemaknaan personal kita saja tentang Yesus? Hehehe.
Besok
kita bikin survei abal-abal lagi. Dengan pertanyaan yang lebih ambigu dan lebih
random. Supaya saya bisa ikut menyukseskan penghancuran iman orang-orang akan
angka. Salam.
No comments:
Post a Comment