01 February 2024

Bocah Wingi Sore

Perihal meremehkan orang muda tampaknya jadi gejala umum. Bukan, ini bukan tentang Pilpres yang bising itu. Ini tentang refleksi saya menjadi bagian dari kelompok ‘muda’ dalam sebuah organisasi yang dipimpin mereka yang tergolong senior. 

Beberapa kali saya merasa diremehkan oleh mereka, meski mungkin maksud hati mereka tidak begitu. Bagaimana ceritanya?

Saya akan mengawalinya dengan impian. Seorang penjual nasi goreng di Jogja dulu pernah bilang, “Kalau punya impian harus setinggi mungkin. Jangan takut. Wong punya impian itu gratis kok.”

Obrolan itu random sekali. Bagaimanapun, itu terrekam dengan cukup baik di kepala saya.

Seseorang, apalagi orang muda, sangat berhak punya impian. Bahkan harus. Kalau bisa setinggi mungkin, sebesar mungkin, seluas mungkin, sampai langit adalah batasnya. Ini bukan omongan klise.

Impian inilah yang sebaiknya dipelihara dan dirawat. Satu demi satu, lakukan langkah kecil sampai perlahan terwujud. Sayangnya, impian ini kadang berpotensi tumbang oleh keangkuhan para senior yang lebih berpengalaman itu.

Cerita pertama datang ketika saya berada di tahap wawancara untuk rekrutmen dosen baru. Seorang pimpinan organisasi itu bertanya, “Apa yang akan anda lakukan kalau diterima jadi dosen di sini?”

Saya mengungkapkan impian saya untuk produktif melakukan penelitian. Apa komentarnya? 

Anda terlalu ambisius,” katanya.

Selama hampir tujuh tahun saya menyimpan rasa heran. Ada orang muda yang punya impian melakukan banyak penelitian, di sebuah lembaga yang memang WAJIB melakukan penelitian. Apanya sih yang terlalu ambisius dari impian itu? Atau dia memang sudah tua dan tak lagi punya impian?

Belakangan saya juga tahu kalau rezim ini juga mencatat secara kuantitatif jumlah penelitian yang dilakukan dosen. Semakin banyak jumlahnya, semakin baik skornya. Saya makin bertanya-tanya, di mana sih letak ambisiusnya?

Cerita kedua datang ketika saya ikut sebuah pelatihan. Seorang pengisi materi, dia punya jabatan fungsional akademik paling tinggi, bertanya kepada setiap peserta: “Mengapa anda memilih profesi dosen ini?”

Ketika tiba giliran bicara, saya jawab dengan jujur, “Karena saya tertarik dengan kegiatan penelitian.”

Tanggapannya mengejutkan. Dengan tertawa kecil dan senyuman sinis dia menanggapi, “Oh, belum jadi dosen tapi sudah tertarik meneliti?

Dia bicara sambil meletakkan tangan agak bawah ketika menyebut “dosen” lalu menaikkan tangan ke arah atas ketika menyebut “meneliti”.

Waktu itu saya mencoba mencerna karena rasanya kok aneh. Berbagai pertanyaan berkecamuk di otak. Apakah harus jadi dosen dulu baru bisa meneliti? Apakah harus begitu urutannya? Apakah dia ini tidak tahu kalau skripsi S1 dan tesis S2 itu ditulis berdasarkan hasil penelitian? Juga, apakah dia tidak tahu yang melakukan penelitian itu bukan hanya dosen?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini berulang kali muncul tiap kali mengingat momen ganjil itu. Sampai sekarang saya masih juga belum paham. Belum habis juga rasa heran saya.

Cerita ketiga datang ketika saya punya impian sekolah di luar negeri. Dalam perjalanan ke sana saya ditolak berkali-kali. Gagal, perbaiki, kirim lagi. Begitu terus selama beberapa tahun sambil beranak-pinak dan tetap bekerja seperti biasa.

Ketika saya sedang berjuang mati-matian, muncul beberapa omongan dari mereka yang unik.

Mana ini? Katanya mau sekolah lagi kok nggak berangkat berangkat?,” katanya.

Omongan ini terlontar di depan lebih dari 30 orang peserta rapat. Saya sampai tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Bukankah kita semua tahu kalau bisa diterima sekolah dan dapat beasiswa di luar negeri itu sangatlah tidak mudah?

Parahnya lagi, seorang senior lain menimpali, “Sebaiknya realistis dan menakar kemampuan. Kalau memang tidak bisa sekolah di luar negeri ya pilih yang dalam negeri saja.”

Bahaya sekali. Kalimat pertama berpotensi memadamkan semangat orang yang sedang berjuang mewujudkan impiannya. Waktu itu saya tersulut. Menurut saya, orang yang sedang berjuang itu butuh dikuatkan, bukan malah digembosi. Sebagai senior, juga sebaiknya bertanya “Ada kesusahan apa? Apa yang bisa saya bantu?”, bukan malah seperti merasa tersaingi oleh impian besar. Sedangkan kalimat kedua, kesannya kok sekolah di dalam negeri itu lebih mudah. Saya meragukan kesan itu. Betul bahwa proses adaptasinya barangkali tidak sebanyak sekolah di luar negeri, tapi bukan berarti itu jadi lebih mudah.

Itu sedikit pengalaman ‘diremehkan’ karena saya orang muda, belum berpengalaman banyak, tapi punya impian yang besar. Semoga ada perubahan yang lebih baik. Bagi para senior, tolong jangan pernah remehkan impian besar yang dimiliki bocah wingi sore. Anda punya kuasa yang besar untuk membimbing, bantu mereka cari relasi, dan memberi semangat secara moral. Dukung mereka untuk jadi orang sebesar mungkin, jangan malah merasa tersaingi.

Sekarang, impian-impian tadi sudah sebagian terwujud, belum semua memang. Namun kalau jalannya sudah mulai terlihat, tak ada salahnya meng-upgrade impian lagi, bukan? Lebih besar, lebih tinggi, lebih luas, dan langit adalah batasnya.


Gedawang, 1 Februari 2024

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain