Skip to main content

Bocah Wingi Sore

Perihal meremehkan orang muda tampaknya jadi gejala umum. Bukan, ini bukan tentang Pilpres yang bising itu. Ini tentang refleksi saya menjadi bagian dari kelompok ‘muda’ di dalam organisasi yang dipimpin "golongan senior." 

Beberapa kali saya merasa diremehkan oleh mereka. Mungkin maksud hati mereka tidak begitu sih. Bagaimana ceritanya?

Saya akan mengawalinya dengan impian. Seorang penjual nasi goreng di Jogja dulu pernah bilang, “Kalau punya impian harus setinggi mungkin. Jangan takut. Wong punya impian itu gratis kok.”

Obrolan itu random sekali. Bagaimanapun, itu terrekam dengan cukup baik di kepala saya.

Seseorang, apalagi orang muda, berhak punya impian. Bahkan harus. Kalau bisa setinggi mungkin, sebesar mungkin, seluas mungkin, sampai langit adalah batasnya. Ini bukan omongan klise.

Impian inilah yang sebaiknya dipelihara dan dirawat. Satu demi satu, lakukan langkah kecil sampai perlahan terwujud. Sayangnya, impian ini kadang berpotensi tumbang oleh keangkuhan para senior yang lebih berpengalaman itu.

Cerita pertama datang ketika saya berada di tahap wawancara untuk rekrutmen dosen baru. Seorang pimpinan organisasi itu bertanya, “Apa yang akan anda lakukan kalau diterima jadi dosen di sini?”

Saya mengungkapkan impian saya untuk produktif melakukan penelitian. Apa komentarnya? 

Anda terlalu ambisius,” katanya.

Selama hampir tujuh tahun saya menyimpan heran. Ada orang muda yang punya impian untuk produktif melakukan penelitian, di sebuah lembaga "produsen" ilmu pengetahun. Apanya sih yang terlalu ambisius dari impian itu?

Cerita kedua datang ketika saya ikut sebuah pelatihan. Seorang pengisi materi - kebetulan seorang profesor - bertanya kepada setiap peserta: “Mengapa anda memilih profesi dosen ini?”

Ketika tiba giliran bicara, saya jawab dengan jujur, “Karena saya tertarik dengan kegiatan penelitian.”

Saya menerima reaksi yang mengejutkan. Dengan tawa kecil dan senyum sinis dia menanggapi, “Oh, belum jadi dosen tapi sudah tertarik meneliti?

Dia bicara sambil meletakkan tangan agak bawah ketika menyebut “dosen” lalu menaikkan tangan ke arah atas ketika menyebut “meneliti”.

Waktu itu saya mencoba mencerna tanggapan ganjil ini. Berbagai pertanyaan berkecamuk di otak. Apakah harus jadi dosen dulu baru bisa meneliti? Apakah harus begitu urutannya? Apakah dia ini tidak tahu kalau skripsi S1 dan tesis S2 itu ditulis berdasarkan hasil penelitian? Juga, apakah dia tidak tahu yang melakukan penelitian itu bukan hanya dosen?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini berulang kali muncul tiap kali mengingat momen ganjil itu. Sampai sekarang saya masih juga belum paham. Belum habis juga rasa heran saya.

Cerita ketiga datang ketika saya punya impian sekolah di luar negeri. Dalam perjalanan ke sana saya ditolak berkali-kali. Gagal, perbaiki, kirim lagi. Begitu terus selama beberapa tahun.

Ketika saya sedang berjuang mati-matian, muncul beberapa omongan dari mereka yang unik.

Mana ini? Katanya mau sekolah lagi kok nggak berangkat berangkat?” katanya.

Omongan ini diucap di depan lebih dari 30 orang peserta rapat. Saya sampai tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Bukankah kita semua tahu cari sekolah dan beasiswa ke luar negeri itu tidak mudah?

Parahnya lagi, seorang senior lain menimpali, “Sebaiknya realistis dan menakar kemampuan. Kalau memang tidak bisa sekolah di luar negeri ya pilih yang dalam negeri saja.”

Bahaya sekali. 

Kalimat pertama berpotensi memadamkan semangat orang yang sedang berjuang mewujudkan impiannya. Waktu itu saya tersulut. Menurut saya, orang yang sedang berjuang itu butuh dikuatkan, bukan malah digembosi. Sebagai senior, mereka pantas bertanya “Ada kesusahan apa? Apa yang bisa saya bantu?” Bukan malah seperti merasa tersaingi oleh impian besar. 

Sedangkan kalimat kedua, kesannya kok sekolah di dalam negeri itu lebih mudah. Saya meragukan kesan itu. Betul bahwa proses adaptasi bahasa dan budaya barangkali tidak serumit di luar negeri. Namun bukan berarti itu jadi lebih mudah. Tantangan dan tuntutannya berbeda.

Itu sedikit pengalaman ‘diremehkan’ hanya karena saya muda dan belum berpengalaman, tapi punya impian besar. Bagi para senior, tolong jangan pernah remehkan impian besar yang dimiliki bocah wingi sore. Anda punya kuasa yang besar untuk membimbing, bantu cari relasi, dan jadi teladan. Dukung mereka untuk jadi orang sebesar mungkin. Jangan malah merasa tersaingi.

Kala semesta sudah mewujudkan sebagian impian, mungkin saatnya untuk bikin lagi. Ingat kata bakul nasi goreng: punya impian itu gratis!


Gedawang, 1 Februari 2024

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.