Skip to main content

D'Bodats

Saya tergabung di sebuah grup WhatsApp favorit saya yang bernama persis seperti di judul. Sudah dapat diduga, nama grup ini terinspirasi dari kata “bodat” yang dalam bahasa Batak berarti monyet. “Bodat” ini konon sering dipakai untuk mengumpat atau memaki orang lain. 

Nah, persis seperti penggunaannya dalam percakapan sehari-hari, grup ini memang awalnya dipakai untuk misuh, nyampah, dan menumpahkan kekesalan ketika menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan di kampus. Lama kelamaan grup ini bukan hanya tentang pisuhan, tapi juga berisi obrolan ilmiah yang serius, obrolan politik, gosip seputar kampus, pokoknya semua yang mengganjal.

Saya pernah dengar kalau di tempat kerja itu kita tidak akan punya teman atau bahkan sahabat; yang kita punya adalah kolega atau rekan kerja. Keberadaan grup ini mementahkan anggapan tersebut. Saya, paling tidak, merasa grup ini diisi oleh sahabat-sahabat saya. Mereka lingkaran terdekat saya di kampus, dari 2017 hingga sekarang. Mereka ruang paling aman buat saya.

Siapakah mereka itu? Ada enam orang di antara kami. Dua di antaranya sudah tidak lagi berkarya di Pawiyatan Luhur, salah satunya saya sendiri. Saya baru saja lulus dari institusi ini. Sebagai member paling muda, saya ingin bikin tulisan random ini sebagai bentuk apresiasi dan hormat saya untuk mbak-mbak dan mas-mas di sana. Saya urutkan mulai dari yang ‘lahir’ lebih dulu di kampus.

Untuk Rotu yang iyik dan kecil-kecil bisa bikin anak kecil. Mesum ora ketulungan..

Untuk Anda yang unik, wagu, dan hobinya kerja. Please nda, hobi kok kerja..

Untuk Bram yang tekun, ngisingan, dan penuh tipu daya terhadap perempuan. 

Untuk Bintang yang cerdas, tampan, dan doyan keluyuran.

Untuk Thian yang tenang, menghanyutkan, dan sulit dicari kurangnya.

Mbak, Mas, matur nuwun sudah jadi lingkaran terdekat saya di kampus. Ini kado kecil perpisahan dariku untuk kalian😊

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.