Skip to main content

Pulang ke 2 senti

Punya rambut gondrong? Tak pernah sedikitpun terpikir oleh saya, sampai tiba-tiba pandemi melanda seluruh dunia. Biasanya saya punya rambut 2 cm saja. Panjang sedikit, potong. Namun pada momen pandemi itu saya biarkan saja rambut tumbuh, tanpa benar-benar bermaksud mau gondrong. Hal yang tak saya duga, punya rambut gondrong ternyata menghadirkan pengalaman sosial yang menarik. Bagaimana ceritanya?

Menjelma seniman

Berkali-kali orang yang baru pertama kali bertemu bertanya semacam “Kerja di mana mas? Jadi apa?” Banyak dari mereka yang mengira saya seniman, entah musisi, pelukis, atau semacamnya. Ada yang sampai memaksa lalu bilang, “Oh, komunikasi.. pantes. Itu yang biasanya bikin desain-desain kan?” Ada juga yang berkali-kali bilang “Wah, mas Ryan seperti rocker.” Sampai ada yang memaksa sambil tanya, “Tapi pasti bisa main musik kan mas?”

Dikira "anggota"

Pernah lihat video penangkapan / penggerebakan oleh para ‘polisi berpakaian preman’? Mereka biasanya gondrong, pakai kaos oblong warna gelap, berpostur besar, dan kadang pakai tas slempang. Kadang juga mereka juga pakai kacamata hitam ditaruh di atas dahi. Tanpa bermaksud menyerupai, tapi memang begitulah cara saya kadang-kadang berpakaian. Tidak heran ada beberapa orang yang mengira saya itu bagian dari mereka.

Diikuti pandangan

Anda pasti merasa kalau ada orang yang mengamati anda, ya ‘kan? Semogalah saya tidak gegedhen rumangsa alias GR. Suatu malam saya pergi ke angkringan. Kebetulan saya parkirkan motor di seberang jalan. Di angkringan itu ada bapak-bapak yang sudah mengamati saya. Pandangannya melekat. Saya tahu tapi pura-pura tak peduli. Dia lihat saya turun dari motor, lalu jalan menyeberang ke angkringan. Ketika saya melangkah mendekat ke angkringan dia buru-buru bergerak menjauh, seakan kehadiran saya mengancam. “Pak, aku mung nggolek sega sambel..” batin saya.

Dikira “penunggu”

Semarang kadang luar biasa panas. Maka kalau malam-malam, kadang sampai tengah malam, saya duduk di teras tanpa pakai baju. Lampu teras tentu saya matikan karena saya malu perut ke mana-mana. Nah, kebetulan tempat tinggal saya dulu pasti dilewati tetangga ketika pulang. Beberapa tetangga yang melihat pasti menyapa. Di antara mereka itu ternyata ada yang melihat, tapi tidak menyapa. Dia mengira saya adalah makhluk tak kasat mata. Suatu saat ada seorang tetangga perempuan bilang ke istri, “Maaf ya Bu Ryan, waktu itu malam-malam saya pulang itu kaget dan takut ada sosok besar hitam di teras. Saya kira itu nganu..”

...

Namun cerita-cerita itu sudah berakhir. Saya kembali ke rambut 2 cm. Rasanya kembali ke identitas yang dulu. Banyak orang dekat bertanya “Kenapa potong rambut? Sedang ada nadzar apa?” ketika melihat saya. Sebagian yang lain bahkan sampai pangling dan tidak mengenali. Mungkin karena identitas rambut gondrong telanjur melekat? Entahlah. Yang jelas, suatu saat saya ingin gondrong lagi, tanpa perlu dihantam pandemi :) 



Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.