Skip to main content

Perihal Menilai



Saya sering dengar kata-kata macam “Sebaiknya kenali dulu luar dan dalam, baru bisa menilai. Jangan baru kenal atau baru lihat sudah buru-buru menilai.”

Apakah anda sering, atau setidaknya pernah, mendengar kata-kata serupa?

Awalnya saya berpikir kata-kata itu sangat bijak. Untuk menilai sesuatu kita perlu tahu banyak hal yang terjadi di sekelilingnya. Kalau perlu, kita juga bisa melihat sejarahnya. Baru kita bisa menilai.

Pokoknya kata-kata itu terdengar sangat bijak di telinga saya, pada waktu itu.

Semakin ke sini, saya semakin sangsi. Apakah kita memang harus menilai? Kok seakan-akan menilai sesuatu adalah keniscayaan. Seakan-akan semua orang harus melakukannya, sampai-sampai perlu diajari cara menilai yang benar.

Bagi saya menilai itu pekerjaan yang tidak mudah. Mungkin terdengar mudah, cukup dengan memberi angka atau huruf. Namun sungguh, pertimbangan memberi nilai tidak semudah itu.

Misalnya, apakah tugas (makalah, video, dsb.) yang biasa-biasa saja perlu diberi nilai bagus? Untuk mengapresiasi, mungkin perlu. Namun bagaimana kalau peserta didik jadi cepat puas? Bahaya yang lebih besar adalah mereka merasa bisa, padahal di luar sana karya itu sungguh tak seberapa.

Masih banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak pernah terpikirkan oleh saya ketika dulu ambil kuliah lagi.

Maka, pertanyaan saya masih sama: apakah kita memang harus menilai? Apa tujuan kita memberi nilai? Atas dasar apa penilaian kita? Bukankah tidak berdosa untuk mengenal luar dalam dan sejarah tentang seseorang/sesuatu tanpa dalam rangka untuk menilai?

Menurut saya kita tidak harus menilai apapun. Kita bukan siapa-siapa.

[dari kalangan pekerja yang sedang kelelahan memberi nilai; dan menanggapi mereka-mereka yang meminta revisi nilai. kalian kira kalian sehebat apa sih, bgst.]

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.