Skip to main content

Keberanian Menghadapi Ketidakpastian

Dalam sebuah diskusi di kelas saya bertanya kepada mahasiswa mengenai minat mereka jadi jurnalis. Dari sedikit yang menjawab itu ada satu jawaban yang memprihatinkan: “Awalnya iya, Pak. Tapi setelah pandemi ini saya malas untuk punya cita-cita.”

Pelajaran paling besar dari pandemi adalah ketidakpastian itu nyata. Perubahan terjadi sewaktu-waktu, kapan saja ia mau. Persis seperti pesulap, sekali menjentikkan jari saja semua hal bisa berganti. Bukan, ini bukan tentang adaptasi terhadap teknologi. Tulisan ini tentang keberanian, dan sekaligus ketakutan, dalam menghadapi ketidakpastian.

Tidak ada yang pernah membayangkan seberapa besar perubahan yang orang alami selama pandemi. Juga, konon katanya, tidak ada negara yang betul-betul siap menangani perkara ini. Kita hanya punya sedikit referensi, dan itu sudah lama sekali. Di antara ketidakpastian itu, sangat wajar kalau kita jadi malas punya cita-cita. 

Saya dengar ada banyak kawan yang cukup percaya diri dengan bisnis yang ditekuninya, lalu berani untuk mengambil KPR atau utang lainnya. Lalu semua menjadi kalang kabut ketika Covid-19 tiba di Indonesia. Banyak sektor ambruk. Saya sampai tak berani tanya bagaimana cara mereka bayar.

Pandemi juga membuat banyak kawan harus mengurungkan niatnya untuk sekolah ke luar negeri. Selain karena perbatasan antarnegara ditutup (dan celakanya Indonesia di-daftarhitam-kan oleh banyak negara) kegagalan sekolah lanjut itu karena uang beasiswa dialihkan ke penanganan pandemi. Ada juga yang sudah sampai tahap akhir tapi menunda keberangkatan karena pandemi ini.

Tentu masih ada banyak lagi kisah menghadapi perubahan dan bersiap terhadap perubahan berikutnya di masa pandemi. Saya tak tahu harus memberi judul apa kisah itu: keberanian atau ketakutan?

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.