Skip to main content

Lingkaran Setan Media Sosial


Tampaknya anggapan bahwa media sosial itu beracun ada benarnya. Maka tak heran banyak orang mengkampanyekan detoks digital, yang salah satunya adalah log out sejenak dari akun-akun media sosial. Atau lebih dari itu, menghapus akun media sosial, meng-uninstall aplikasi tersebut dari telepon genggam, lalu hidup tanpa media sosial.
Tentu mengakses media sosial itu ada dampak baiknya. Saya sendiri, dengan pekerjaan saya saat ini, sangat terbantu dengan penggunaan media sosial. Bukan hanya teknologinya, tetapi juga tercukupinya kebutuhan untuk tahu informasi yang beredar di era yang begitu cepat ini. Ah, tapi soal “kebutuhan akan informasi” ini mungkin akan dibahas di lain tulisan.
Meski begitu, saat ini saya rasa ada baiknya membatasi ber-media sosial. Bukan saja perkara kuota, tapi ini soal kesehatan jiwa. Ada masa ketika otak saya merasa dipenuhi banyak sekali hal dan informasi. Kadang-kadang saya merasa itu bagus, tetapi kalau saya letakkan telepon genggam itu lalu berjalan-jalan sedikit saja, saya lalu sadar dari tadi tidak menghadapi dunia nyata saya: buang sampah, cuci piring, membantu istri, dan sebagainya.
Belum lagi kalau saya lalu ingat akan sesuatu yang perlu saya tulis dan saya kerjakan. Saya tahu harus mengerjakan itu, tetapi ketika akan memulainya mata dan otak sudah mulai lelah. Membuka-buka media sosial itu terasa sangat pasif; menerima informasi begitu saja. Ketika saya harus menyusun hal lain menjadi bangunan tulisan dan gagasan, rasanya butuh istirahat dulu karena terlalu lelah lalu ‘cunthel.’
Lalu biasanya saya rebahan sambil.. memegang hape lagi. Scrolling lagi. Kan bangsat betul.
Lingkaran setan ini harus diakhiri !

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.