Skip to main content

ChatGPT dan Saat yang Tepat untuk Berhenti

Beberapa pekan terakhir Kompas merilis hasil investigasi mereka tentang praktik kotor di perguruan tinggi. Mereka membongkar berbagai modus kecurangan yang dilakukan para akademisi, khususnya penggunaan joki untuk menulis karya ilmiah. Persoalan ini kronis. Sebagian besar kemudian menyalahkan sistem yang memang mengunggulkan formalitas di atas segala-galanya.

Dapat diduga, grup-grup WA para dosen dibanjiri oleh karya investigasi tersebut hingga beberapa hari setelahnya. Berbagai macam “tanggapan” secara tertulis juga beredar di grup-grup tersebut. Ada yang merasa kegelisahannya selama ini terjawab, ada juga yang lalu berupaya untuk berfilosofi mengenai makna dari perguruan tinggi dan para akademisi yang berkecimpung di dalamnya. Namun, tak sedikit juga yang tampaknya bersikap “bodo amat” dan menyimpan dalam hati perkara tersebut.

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, para akademisi juga dibuat ngeri oleh kemampuan kecerdasan buatan. Dia bisa membuat outline skripsi, menulis artikel, menyusun bahasa pemrograman, dan hal-hal lain yang selama ini tak terbayangkan dapat dilakukan oleh mesin. Lebih mengerikan lagi ketika mereka tahu bahwa itu adalah versi percobaan dan gratis. Jika yang versi itu saja sudah ampuh, bagaimana dengan versi yang berbayar?

Mereka lalu berpikir untuk tidak memberi tugas esai dan penulisan makalah kepada mahasiswa. Khawatir kalau mahasiswa hanya menggunakan program tadi tanpa berpikir. Juga, betapa konyolnya kalau dosen harus memeriksa tulisan mesin. Lalu mahasiswa harus belajar apa? Atau, bagaimana caranya membentuk pola pikir analitis tanpa harus menulis? Atau sekarang memang tidak harus analitis lagi? Apakah membaca dan menulis itu kini ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan intelektual mahasiswa?

Beberapa dosen menyarankan untuk mengurangi waktu dosen ceramah dan lebih sering memberikan mahasiswa kesempatan untuk berinteraksi, berdebat, berdiskusi di dalam kelas. Saya akan pasti senang sekali dengan ide tersebut. Namun bisakah anda membayangkan sebuah diskusi dan perdebatan yang dilakukan oleh mereka yang tak pernah tahan untuk membaca tulisan panjang? Diskusi yang dilakukan oleh mereka yang sama-sama tidak memahami apa yang mau didiskusikan? Diskusi macam apa ini dan apa yang mau dipelajari darinya?

Awalnya saya mengira, serangan Covid-19 kemarin sudah cukup untuk membuat kita berhenti sejenak untuk berpikir. Menyadari persoalan. Menyadari kondisi saat ini. Berharap dan merencanakan sesuatu. Mengatur ulang strategi. Namun ternyata itu saja tak cukup, karena teknologi yang cepat juga justru mendorong orang untuk berhenti. Semoga teknologi membuat kita BERHENTI UNTUK BERPIKIR, bukan BERHENTI BERPIKIR. 


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.