“Saya menolak itu kata penggusuran. Kata yang
benar itu pembongkaran, karena mereka memang seharusnya pindah!” ujarnya sangat
tegas.
Bau amis menari-nari di lubang hidung ketika sepeda motor kami memasuki
perkampungan nelayan di bagian utara Kota Semarang (21/06/19). Kami melintas di
depan Rumah Apung, yang didirikan (atau lebih tepatnya diapungkan) di wilayah
yang sering terkena banjir air rob.
Sore itu saya dan dua mahasiswa bermaksud mendatangi salah satu
rumah Ketua RW di wilayah Tambakrejo. Maksud kami hanya bersilaturahmi dan
meluruskan sedikit permasalahan komunikasi yang terjadi pada kegiatan kami
beberapa hari lalu.
Namun maksud tersebut melebar ke mana-mana dan jadi sedikit panas
ketika saya iseng bertanya, “Saya lihat dulu ada ramai penggusuran, itu di
daerah mana sih pak?”
Kalimat di awal tulisan tadi adalah jawaban Ketua RW. Sebagai pemangku
kepentingan di wilayah tersebut, dia terang-terangan bicara di depan kami kalau
warga yang “digusur” itu memang seharusnya pindah dari situ. Bahkan, dia
mengaku senang ketika mereka akhirnya pergi.
Apa sebab?
“Mereka itu pendatang, mas. Mereka mulai menempati wilayah itu
kira-kira tahun ’85 setelah tempat tinggal mereka sebelumnya dibongkar. Mereka lalu
tinggal liar di bantaran, tanah punya pemerintah. Jadi memang seharusnya
pindah,” katanya mengulangi.
Sebagai Ketua RW, katanya, dia juga tidak pernah merasa dilibatkan
dalam kehidupan mereka. Tidak pernah diajak bermusyawarah, tidak pernah disapa
sebagai pemimpin di wilayah yang kini mereka tempati.
“Nah sekarang untuk apa saya peduli sama mereka, mas? Kalau mereka
tidak menganggap saya sebagai bapak, untuk apa saya harus anggap mereka sebagai
anak? Biar saja orang-orang itu anggap saya tidak peduli atau apa,” ujarnya.
Dia menjelaskan duduk perkara dari ‘penggusuran’ itu dan alasan
mengapa dia lebih senang dengan istilah ‘pembongkaran’. Tentu saja ini versi
dari Ketua RW.
Pertama, mereka tinggal secara ilegal di tanah pemerintah. Dia sebut
daerah itu ‘bantaran’ dan dari dulu ada papan rambu-rambu tentang larangan
mendirikan bangunan tempat tinggal di daerah tersebut.
Kedua, mereka tak pernah memandang dirinya sebagai pemimpin di
wilayah tersebut. Dia tak pernah merasa dilibatkan dalam musyawarah, juga tak
pernah mendapat laporan apapun terkait dengan permasalahan-permasalahan yang
mereka hadapi.
Ketiga, mereka sudah dijanjikan untuk dipindah ke tempat yang jauh
lebih layak dan gratis uang sewa selama setahun. Menurut dia, solusi pindah ke
tempat lain ini adalah program pemerintah yang sangat baik.
Keempat, ini penting sekali, mereka rupanya telah diberi uang
Rp1,5 juta per rumah untuk membongkar sendiri rumah mereka. Maka hingga
waktunya habis dan belum ada aksi apapun, pemerintah memang harus tega ‘membongkarkan’
tempat tinggal mereka itu.
(Saya sengaja tak memverifikasi informasi ini karena saya memang
tidak sedang bikin produk jurnalistik. Hanya sekadar bercerita lewat tulisan
saja.)
Peran Aktivis
Peristiwa penggusuran atau pembongkaran ini banyak dibahas di
media. Saya sendiri cenderung lebih banyak mendapat informasi dari media
sosial, karena saya lebih sering mengakses itu.
Kebetulan saja akun-akun yang saya ikuti adalah akun-akun bertopik
pergerakan. Merekalah salah satu pihak yang getol menggunakan istilah sangar macam
“penggusuran” dan “perampasan lahan”, yang tak jarang diakhiri dengan slogan “PANJANG
UMUR PERLAWANAN” dan sebagainya.
Rupanya mereka juga mendatangi rumah Ketua RW ketika eksekusi itu
dilakukan. Barangkali mereka meminta dukungan dari Ketua RW untuk melawan
perlakuan pemerintah itu. Ketua RW tentu saja merasa terganggu dengan kehadiran
para aktivis dan juga mereka yang disebut ‘pengacara’ olehnya.
Dengan enteng dia hanya jawab, “Mas, saya tidak tahu arti dari
kata-kata yang kamu pakai. Saya orang bodoh, sekolah cuma sampai SMA. Saya
sebenarnya senang karena kalian peduli sama mereka. Tetapi kalau memang mereka
yang butuh, kenapa tidak mereka yang datang ke sini sendiri?”
Dia lalu menjelaskan banyak hal tentang sejarah tempat itu,
termasuk sejarah kedatangan mereka yang tempat tinggalnya dibongkar itu.
“Habis itu mereka [aktivis dan pengacara] cuma bisa diam. Lalu karena
sudah jam 11 malam, mereka saya minta meninggalkan rumah saya,” ujarnya.
Perspektif
Jangan salah. Saya tidak sedang bicara tentang sifat dan
kepribadian Ketua RW, ataupun akar persoalan yang sebenarnya terjadi di
Tambakrejo. Hal yang hendak saya tekankan adalah perspektif berbeda yang baru
saja saya temui.
Rupanya media sosial memang menyimpan informasi yang berbahaya. Selama
ini saya tahu kondisi Tambakrejo itu sangat genting dan berbahaya. Kondisi itu
disebarkan lewat media sosial, dengan visual dan narasi yang mengerikan.
Kejadian itu mengundang aksi kritik sekaligus solidaritas dari
berbagai pihak. Mereka datang ke Tambakrejo untuk mengirimkan selimut, makanan,
serta obat-obatan. Ada juga yang lalu menggelar panggung kesenian untuk
menyuarakan ‘penindasan’ ini ke seluruh dunia.... dunia maya. Kejadian itu
mengundang simpati dan empati dari banyak pihak, bahkan mungkin dari luar
Semarang.
Saya hanya tahu itu. Saya, terus terang, tak pernah membayangkan
hanya beberapa ratus meter dari tempat eksekusi itu, ada pihak-pihak yang
senang. Lebih tepatnya, ada pemangku wilayah yang mendukung agar mereka segera
pindah saja dari tempat tersebut. Mereka mendukung aksi pemerintah untuk
mengusir warga.
Fenomena ini bukan ironi, saya rasa. Terlalu dini rasanya untuk
menghakimi salah satu pihak. Barangkali memang ada persoalan sangat sangat
kompleks di wilayah tersebut yang sama sekali tidak kita ketahui. Paling tidak
saya tahu satu hal: peduli pada kemanusiaan itu konsekuensinya berat; kita bisa
saja jatuh hati mendukung habis-habisan mereka yang bersalah.
"Pertarungan abadi setan malaikat.." kata SID di Bukan Pahlawan. Mungkin mereka sedang bertarung sekarang, tapi pasti bukan di Tambakrejo. Di sana mereka sedang bercanda dan 'ijol-ijolan klambi', sampai-sampai mata rabun kita terlalu rapuh untuk menunjuk.
Gedawang,
23.06.2019
No comments:
Post a Comment