Apa yang akan kita alami setelah kita
mati? Tubuh kita pasti membusuk—kecuali satu dan lain hal (misalnya tubuh kita
diawetkan / terawetkan secara alami). Namun apa yang terjadi pada kesadaran
kita? Roh, jiwa, atau apapun itu namanya, ke mana mereka akan pergi?
Agama, sebagai sebuah produk kebudayaan,
tentu memiliki jawabnya. Agama lahir pada budaya tertentu, menciptakan
aturan-aturan tertentu, lalu dibunuh peradaban dan diganti oleh agama-agama
lain yang berdiri. Maka tak heran setiap agama memiliki jawab yang berbeda.
Agama Katolik Roma (cmiiw) mengajarkan bahwa dosa manusia sudah diampuni; sudah ditebus
oleh Yesus. Maka kalau kita mati besok, kita akan langsung lewat ‘jalan tol’
untuk menuju surga.
Namun saya juga dengar kita akan masuk
api penyucian (bukan ‘pencucian’ karena kata dasarnya adalah ‘suci’ bukan ‘cuci’).
Di sana kita akan disucikan hingga dianggap pantas untuk menerima kekal.
Agama yang lain pasti punya jawabnya. Saya
merasa tak percaya diri untuk menuliskan pandangan agama-agama lain tentang apa
yang kita alami setelah mati. Ada yang memiliki jawaban tentang reinkarnasi,
ada juga yang bertemu bidadari, dan beragam versi lainnya.
Nah, siang tadi saya baru saja ngobrol
dengan seorang bapak-bapak tua yang sudah berusia cukup lanjut. Kami mengobrol
cukup lama hingga dia tiba-tiba bercerita tentang mimpi atau pengalamannya
ketika sakit keras.
Beberapa tahun lalu dia dirawat di
sebuah rumah sakit kecil karena kondisi kesehatannya yang sangat buruk. Fungsi-fungsi
tubuhnya anjlok karena dia memaksakan diri untuk berpuasa. Dalam sakitnya itu
dia mengalami hal yang mengubah pandangannya tentang hidup hingga sekarang.
“Setiap kali memejamkan mata saya
melihat lubang hitam. Tubuh saya disedot masuk ke lubang itu. Rasanya sakit
sekali. Tapi kalau saya melek, lubang hitam itu tiba-tiba hilang,” tuturnya.
Sayang, tubuhnya sudah terlalu lemah.
Dia sudah tak mampu menahan agar matanya tetap terbuka lagi. Dia berpasrah, menutup
mata, dan membiarkan diri disedot masuk ke lubang hitam itu.
“Setelah lewat lubang hitam itu saya
tiba-tiba duduk di sebuah tempat yang sangaaat luas. Di sana ada banyak sekali
orang berpakaian putih sedang duduk di bawah. Mereka semua diam saja,”
tuturnya.
Dia bercerita bahwa tempat itu unik
karena terang tapi teduh, padahal tak ada pepohonan. Tempat itu semacam padang
pasir tetapi berwarna abu-abu.
“Lalu apa yang anda lakukan di situ?”,
tanya saya tak sabar.
Dia hanya duduk saja karena melihat yang
lain juga begitu. Tiba-tiba dari belakang ada seorang sanak saudaranya—yang sudah
lama meninggal—yang membantunya untuk berdiri. Setelah bisa berdiri itu dia
mulai berjalan dan tiba-tiba saja sudah di rumah sakit lagi.
Saya yakin ada banyak sekali cerita
orang yang mati suri. Ada yang bisa melihat tubuhnya sendiri sedang ditangisi,
ada pula yang bisa ‘mempersilakan’ tamu untuk layat atas kematian tubuhnya,
macam-macam sekali pokoknya.
Saya tak tahu mana yang benar. Bisa saja
semua benar, bisa jadi juga semua salah. Kalau anda sempat membaca tulisan ini,
mohon diingat, dan dibuktikan kelak.
No comments:
Post a Comment