Skip to main content

Setengah Telanjang

Wanita setengah telanjang.
Pengemudi berbikini.
Pengemudi setengah telanjang.
Perempuan nyaris telanjang.
Pengemudi nyaris bugil.
Pengemudi setengah bugil.

Apakah yang saya tulis ini?

 Sederhana saja, mereka adalah sebutan yang diberikan oleh kompas.com dan vivanews -keduanya media online- kepada Novi Amalia. Hari Kamis (11/10) lalu ia diberitakan menabrak tujuh orang di Jakarta Barat.

Saya tidak hendak menuliskan kasusnya, namun lebih memperhatikan penggunaan bahasa oleh dua media online besar ini. Mengapa harus menggunakan kata-kata bugil, telanjang, dan bikini?

Mungkin penggunaan kata-kata itu menarik minat pembaca untuk mampir sejenak pada situs mereka dan link-link yang disediakan di sana. Mungkin wanita berbikini atau nyaris bugil yang menabrak tujuh orang adalah berita besar yang perlu untuk diketahui semua pembaca. Mungkin masalah seks adalah masalah yang paling menarik, baik untuk media maupun masyarakat. 

Ah, tapi semua mungkin saja. Hanya saja, mungkinkah para pembaca ini sadar bahwa realitas yang mereka hadapi adalah realitas yang dikonstruksi media?

Ingin tahu apa komentar pembaca? Saya tidak tega, lebih tepatnya malas, untuk menulis semua. Saya ambil salah satu komentar dari pembaca yang dimuat oleh redaktur kompas.com, yang seakan tak ada sistem moderasi yang ketat untuk media ini:
 
TERIAK-TERIAK BERLAGAK GILA SETELAH KETANGKAP POLISI..KMRN WAKTU BERANGKAT DUGEM GAK TERIAK-TERIAK...LONTHE ASU TENAN...YANG KAYAK GINI BIAR PEREMPUAN LAYAK DITEMBAK (Heri Rahmanto) 
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/11/20343342/Wanita.Setengah.Telanjang.Tabrak.Beberapa.Pengguna.Jalan

Bagaimana, tidakkah anda berpikir ada terlalu banyak bahasa yang tidak pantas untuk diungkapkan dalam media kita?

Kota pelajar, 13 Oktober 2012

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.