Aku ingin mereka memahami kebermaknaan hidup kaum kami, berbuat yang wajar
dan tidak mencemooh kami. Tapi nyatanya, masih saja sulit. Aku bingung saja
sekarang ini, tapi pantang buatku untuk mundur.
(Herlinatiens, 2003:29)
Kutipan cerita dari novel berjudul “Garis Tepi
Seorang Lesbian” ini sedikit mewakili perasaan dan harapan dari seorang
lesbian. Mereka merasa tidak dianggap mempunyai hidup yang bermakna oleh
orang-orang di sekitarnya. Mereka merasa mendapat perlakuan yang tidak wajar
dan menerima banyak cemoohan yang membuat suasana menjadi tidak nyaman,
setidaknya bagi kaum mereka. Lesbian dan gay, mereka yang disebut kaum
homoseksual, memang terkadang mendapat perlakuan yang berbeda dari masyarakat
hanya karena perbedaan yang ada dalam diri mereka.
Dewasa ini media massa di Indonesia sempat
mengangkat isu mengenai diadakannya Q! Film Festival yang di dalamnya bercerita
tentang sekelumit kehidupan manusia yang mempunyai orientasi seksual yang
berbeda dari orang kebanyakan. Festival film yang berisi film-film dengan
cerita dan adegan yang cenderung kontroversial ini dikabarkan mendapat
penolakan keras dari para anggota organisasi masyarakat berbasis agama, yaitu
FPI (Front Pembela Islam) dan organisasi-organisasi masyarakat lainnya. Dengan
alasan keagamaan mereka menolak diputarnya film-film mengenai orang-orang yang
‘lain’ tersebut.
Dalam konteks tulisan ini permasalahan diawali
dengan adanya orang-orang yang disebut dengan singkatan LGBT (lesbian, gay,
biseksual, dan transeksual). Mereka adalah orang-orang dengan orientasi seksual
yang berbeda dari orang kebanyakan: tertarik kepada sesama jenis (lesby dan
gay), tertarik kepada sesama maupun lawan jenis (biseksual), atau bahkan
melakukan operasi pada alat kelamin (organ seks) untuk mengubah jenis kelamin
yang melekat pada dirinya (transeksual).
Di beberapa negara barat yang banyak menganut
paham liberalisme, orang-orang yang termasuk dalam kelompok LGBT mempunyai
kebebasan untuk mengekspresikan bahwa mereka adalah salah satu dari kelompok
tersebut. Pengekspresian ini biasanya ditampilkan melalui simbol-simbol,
walaupun ada juga yang terang-terangan mengaku di depan publik bahwa dia adalah
seorang gay, atau lesby. Simbol yang sering digunakan para gay adalah
penggunaan anting-anting pada satu sisi telinga saja, atau menunjukkan ujung
sapu tangan pada kantong belakang celana yang sedang dikenakan. Simbol-simbol ini digunakan supaya
masyarakat tahu akan diri mereka sebenarnya.
Paham liberalisme merupakan paham yang sangat
mendukung eksistensi mereka, sebab pada negara-negara liberal tertentu
diperbolehkan adanya pernikahan sesama jenis. Paham liberalisme kerap
diasosiasikan dengan kata kebebasan. Kebebasan berpikir, bertindak,
mengusahakan sesuatu, dan kebebasan-kebebasan lain yang mungkin tidak
didapatkan dari negara dengan paham dan budaya yang lain.
Keadaan ini tentu menjadi berbeda ketika
dihadapkan pada konteks ketimuran yang juga dimiliki oleh Indonesia. Tentu ada
orang-orang dengan orientasi seksual berbeda yang hidup dengan tenang di sini,
tetapi nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia membuat mereka menjadi orang yang dalam banyak kesempatan
menjadi bahan hinaan, kekonyolan, kelainan, dan merupakan aib bagi diri sendiri
dan keluarga. Selain nilai keagamaan, budaya yang hidup di Indonesia seringkali
menolak kehadiran orang-orang yang tidak sesuai atau tidak selaras dengan
manusia lain dalam masyarakat.
Ditilik dari paragraf di atas maka bukan menjadi
hal yang mengejutkan ketika banyak pihak yang menolak dengan keras diputarnya
film-film bertemakan LGBT dalam Q! Film Festival. Banyak dari mereka yang
menganggap bahwa konsep LGBT merupakan konsep budaya yang datang dari dunia
barat, dan mereka menganggap orang-orang barat berusaha menginfiltrasikan
budaya barat tersebut melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui film.
Di lain pihak muncul argumentasi yang berbeda, dan
argumen ini bukan datang dari kaum fundamentalis agama tertentu. Argumen ini
menjunjung tinggi hak asasi manusia yang dimiliki oleh semua umat manusia tanpa
terkecuali, termasuk juga orang-orang yang disebut LGBT. Mereka mempunyai hak
untuk hidup dengan tenang, mereka mempunyai hak untuk berkumpul, berorganisasi,
memberikan pendapat, dan hak-hak lain. Di dalam kasus ini mereka mendukung
diselenggarakannya Q! Film Festival sebagai bagian dari edukasi, di samping
juga sebagai wujud dari sikap menghargai keberadaan orang-orang dengan
orientasi seksual yang berbeda.
Di sinilah permasalahan Q! Film Festival mulai
terbentuk. Perbedaan opini terjadi di antara para penolak Q! Film Festival yang
direpresentasikan oleh FPI (Front Pembela Islam) dan GARIS (Gerakan Reformis
Islam) dengan para pendukung adanya Q! Film Festival yang direpresentasikan
oleh mereka yang menyebut diri sebagai aktivis Hak Asasi Manusia, baik yang
tergabung dalam komisi negara maupun LSM. Perlu ditegaskan di sini bahwa bukan
berarti saya menyatakan bahwa FPI dan GARIS tidak menghargai adanya hak asasi
manusia, melainkan di dalam konteks ini saya menyatakan perbedaan pendekatan
yang mereka gunakan dalam melihat pelaksanaan Q! Film Festival.
Penolakan Q! Film Festival selain didasari oleh
nilai-nilai agama yang ditafsirkan menolak konsep LGBT juga disadari bahwa hal
itu tidak sesuai dengan budaya timur. Selain itu ada pula alasan yang lebih
administratif, yaitu film-film yang diputar dalam Q! Film Festival merupakan
film-film asing yang belum mendapat sensor dari pemerintah Indonesia dan belum
mengantongi ijin untuk diputar di Indonesia pula.
Sedangkan pihak yang mendukung berjalannya Q! Film
Festival lebih melihat bahwa film-film yang diputar dalam festival ini
merupakan film-film yang sarat dengan edukasi, penghargaan akan Hak Asasi
Manusia, pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Titik
fokus perhatian mereka bukan pada dosa ataupun budaya ketimuran, melainkan pada
bagaimana film-film yang diputar dalam festival ini mampu membuka mata para
penonton akan realita bahwa ada orang-orang yang termasuk LGBT di sekitar
mereka dan mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia lainnya.
Kekuatan
media
Penolakan dan dukungan terhadap berjalannya Q!
Film Festival oleh pihak-pihak tertentu bukan tanpa sebab yang jelas. Saya
berpendapat bahwa di balik cerita mengenai sekelumit kehidupan kaum LGBT yang
termarjinalisasikan itu terdapat suatu kesadaran atau keyakinan tertentu
mengenai kekuatan sebuah film. Kesadaran ini dimunculkan ketika film menjadi
media massa yang ditonton oleh publik dan mampu mempengaruhi pergerakan opini
di dalamnya.
Film sebagai media massa tidak hanya sekadar
menjadi sarana hiburan bagi masyarakat penikmat media, tetapi juga ada hal lain
yang sering tidak nampak namun memberikan efek yang luar biasa. Seperti yang
dikatakan McPhail (2006:45) bahwa “The
new attitudes, values, and social relationships that support sosial change are
frequently conveyed through mass media as well as educational systems.”
Lebih lanjut, argumen ini menjadi lebih terbukti
ketika dikaitkan dengan imperialisme teknologi yang dilakukan negara yang
termasuk dalam kategori core nation kepada
negara-negara yang dikategorikan sebagai peripheral
nation. Melalui hegemoni teknologi inilah secara tidak sadar ataupun sadar
namun tidak mampu berbuat apa-apa, peripheral
nation menyerap unsur-unsur atau nilai-nilai yang hidup pada core nation.
Pengetahuan akan film inilah yang mungkin disadari
oleh kedua belah pihak, baik pihak yang pro maupun pihak yang kontra terhadap
keberlangsungan Q! Film Festival. Mereka sama-sama mengerti akan kekuatan media
massa, dalam konteks ini adalah film, untuk memberikan pengaruh atas
nilai-nilai yang hidup di masyarakat berbudaya tertentu. Menurut saya perbedaan
mendasar dari kedua pihak ini terletak pada ideologi dan pendekatan kultur yang
mereka anut.
Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya pihak
yang kontra atas keberlangsungan festival ini direpresentasikan oleh golongan
fundamentalis agama yang ditunjukkan oleh organisasi masyarakat FPI, GARIS, dan
sebagainya. Pihak ini berangkat dari ideologi agama yang mereka anut, ajaran
yang tertulis di dalam kitab suci di mana isinya perlu ditafsirkan secara luas,
bijaksana, dan kontekstual.
Besar kemungkinan bahwa interpretasi mereka
terhadap kitab suci menunjukkan bahwa orang-orang LGBT adalah orang-orang yang
melanggar kodrat Sang Pencipta. Kodratnya adalah hanya ada dua jenis kelamin,
yaitu wanita dan pria. Penalaran dari interpretasi ini bahwa kemudian wanita
dan pria juga memiliki dorongan seks satu sama lain. Esensi dari dorongan seks
tersebut adalah reproduksi, dengan kata lain pada dasarnya seks diciptakan demi
keberlangsungan hidup umat manusia di bumi ini. Reproduksi ini terjadi ketika
sperma dari pria membuahi indung telur dari wanita.
Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi suatu hal
yang membingungkan dan sukar diterima ketika ada orang-orang yang mempunyai
orientasi seksual kepada sesamanya. Orientasi seksual kepada sesama tentu tidak
akan melanggengkan reproduksi dan justru menghentikan siklus hidup manusia.
Inilah yang kemudian ditentang oleh kaum fundamentalis agama, termasuk juga pada
film yang ceritanya seakan membukakan jalan bagi orang-orang untuk menjadi
LGBT.
Selain orang-orang dengan orientasi seksual yang
berbeda, LGBT juga memuat orang-orang yang beranggapan bahwa dirinya terjebak
dalam kelamin yang salah. Di dalam konteks gender, ada yang dinamakan dengan
transgender. Bagi sebagian besar orang, transgender dianggap sebagai perilaku
identitas gender yang gagal. Orang-orang transgender seringkali dianggap
sebagai orang yang gagal menyesuaikan identitas seksual dan gender. (Alimi,
2004:89)
Sebagai contoh, banci adalah sebutan bagi
laki-laki yang memilih gender perempuan. Istilah 'banci' sendiri diasosiasikan
dengan hal yang negatif, istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
laki-laki yang pengecut. Dituliskan pula dalam buku ini bahwa organisasi
mahasiswa yang pasif dan malu mengkritik pemerintah, misalnya, distigmakan
sebagai banci dan sering dikirim parcel yang berisi kutang, celana dalam,
lipstik, dan bedak.
Di sisi lain kita juga menyadari bahwa manusia
sejak lahir membawa suatu hak mendasar yang perlu dipenuhi hingga akhir hayat,
yaitu hak asasi manusia. Para aktivis hak asasi manusia inilah yang menjadi
representasi dari pihak yang pro terhadap keberlangsungan Q! Film Festival.
Dengan argumen dasar bahwa orang-orang LGBT juga merupakan manusia yang
mempunyai hak asasi manusia, maka film-film yang menceritakan sekelumit
kehidupan mereka juga tidak boleh untuk kemudian dilarang untuk diputar di
depan publik dan didiskusikan.
Peraturan tentang HAM di Indonesia sudah diatur
secara tegas dalam UU RI No. 39 Tahun 1999, yang isinya sebagai berikut:
-
Setiap orang
dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
-
Setiap orang
berhak atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
-
Setiap orang
berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.
Lebih lanjut, pengertian tentang hak asasi manusia
dituliskan dengan cukup komprehensif oleh Frans Magniz Suseno.
“Hak asasi
manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat. Dengan demikian hak manusia bukan berdasarkan hukum positif
yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia
memilikinya karena ia manusia. Dalam paham hak asasi termasuk bahwa hak itu
tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara.” (Suseno
dalam Sihite, 2007:173) Dari kutipan ini sudah sangat jelas bagaimana hak asasi
manusia menjadi sesuatu yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Selain itu saya juga akan menyoroti dari film itu
sendiri. Proses pembuatan suatu film bukanlah hal yang mudah, bahkan bisa
dikatakan cukup rumit dan butuh persiapan yang matang. Kekuatan utama film yang
menyorot fenomena sosial tertentu adalah pada riset yang dilakukan oleh
sutradara atau pembuat skenario sebelum skenario itu dieksekusi menjadi film.
Film-film yang diputar secara internasional tentu bukan film yang sembarangan,
hanya film-film yang terpilih yang mampu memiliki kesempatan untuk itu.
Berdasarkan paragraf di atas maka nampak bahwa
para aktivis hak asasi manusia lebih menghargai film tersebut sebagai hasil
karya manusia yang patut untuk diapresiasi. Film-film yang diputar dalam
festival tersebut bukan dipandang sebagai film yang menebar maksiat yang
berujung dosa, justru sebaliknya, film-film ini yang membuka mata dan mengantar
kepada realita sosial yang terjadi di masyarakat kita.
Pergerakan
opini publik
Jika dianalisis dari media-media nasional, kita
melihat opini-opini kontroversial yang saling bergesekan. Berbeda dengan
media-media yang berhaluan suatu ideologi tertentu, konten pemberitaan mengenai
Q! Film Festival cenderung berat pada satu sisi. Hal ini merupakan suatu bukti
nyata bahwa media sama saja seperti orang-orang yang berkecimpung dalam partai
politik, mereka tidak bebas kepentingan.
Contohnya adalah ketika kita membuka media melalui
internet yang berhaluan pada FPI, maka opini yang muncul adalah kecenderungan
pada penolakan Q! Film Festival dan mencari kesalahan-kesalahan dari para
aktivis hak asasi manusia. Bukan hal yang aneh lagi ketika orang-orang yang
mempunyai blog pribadi dengan rajin mengupdate isi blognya sesuai dengan apa
yang menjadi kepentingan mereka.
Dari media berhaluan FPI yang saya baca, mereka
seakan memberikan opini yang seimbang. Dalam artian mereka juga mewawancara
aktivis hak asasi manusia yang notabene mendukung jalannya acara Q! Film
Festival, tetapi mereka menyoroti hal yang melemahkan argumen dari aktivis hak
asasi manusia itu sendiri. Sebenarnya seperti yang sudah dituliskan di atas,
bahwa halangan administratif sudah cukup untuk melakukan pelarangan pemutaran
film dan ditonton di depan publik di Indonesia. Dari sini kita mampu menilai
bagaimana komitmen pemerintah Indonesia terhadap pemutaran film.
Kemudian ada renungan yang cukup kritis dari buku
berjudul Teori-Teori Kebudayaan. Berikut kutipannya: “Pertanyaan yang muncul:
Apakah menjadi berbudaya adalah sama dengan menjadi ‘budak’ struktur
konvensional dalam masyarakat? Pada diri mereka ada keyakinan akan nilai-nilai
yang tidak masuk dalam struktur yang dianggap benar; nilai mereka barangkali
lebih manusiawi.” (Sutrisno, 2005:112)
Argumen dalam tulisan ini sekaligus mampu
digunakan untuk mengkritik orang-orang yang mengagung-agungkan budaya, atau
orang-orang yang membangga-banggakan bahwa mereka adalah orang yang berbudaya
dan orang-orang LGBT merupakan orang-orang yang tidak berbudaya. Menjadi
sesuatu yang patut dipertanyakan lebih lanjut dan direnungkan, apakah menjadi
berbudaya berati harus menjadi seragam dan selaras dengan kondisi macrocosmos?
Saya menganalisis bahwa kondisi LGBT selain karena
faktor dari dalam diri orang itu sendiri juga disebabkan oleh kondisi sosial
yang cukup keras. Perlu diketahui bahwa kondisi-kondisi traumatis dapat
menyebabkan seseorang yang 'normal' menjadi seseorang yang 'abnormal'. Jika
diasumsikan bahwa orang-orang LGBT merupakan orang-orang yang abnormal, maka
permasalahan menjadi semakin jelas.
Dalam banyak kasus ditemui bahwa pada awalnya para
wanita lesbi juga mempunyai orientasi seksual kepada pria, akan tetapi mungkin mereka menemui kejadian-kejadian
traumatis yang menyebabkan mereka tidak lagi menaruh orientasi seksual kepada
pria. Hal yang sering ditemui adalah ketika kecil banyak terjadi kekerasan yang
dilakukan oleh pria di depan mata mereka, hal ini tentu dapat memberikan kesan
yang buruk akan pria. Dengan membenci pria dan tidak ingin menerima kekerasan
yang serupa, bisa jadi mereka berkehendak untuk memilih pasangan hidup
perempuan.
Bisa jadi mereka juga menganggap bahwa berhubungan
lesbian merupakan suatu cara untuk menghentikan kesewenang-wenangan pria
terhadap wanita. Bisa juga tindakan lesbi merupakan kritik terhadap para
penggiat feminisme. Mereka, para kaum feminis, dianggap sebagai pembela kaum
perempuan terhadap penindasan yang dilakukan oleh laki-laki, terutama melalui
ideologi patriarkisme.
Akan tetapi mereka dianggap tidak melakukan hal
yang nyata untuk mendukung penolakan mereka terhadap patriarkisme, buktinya
mereka tetap menikah dengan laki-laki dan hidup dalam struktur budaya yang
demikian menindas mereka sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa motivasi menjadi
LGBT merupakan motivasi yang tidak selalu muncul dari dalam diri, tetapi bisa
juga muncul dari luar tidak terkecuali orang-orang yang mengatasnamakan sebagai
orang-orang religius penyembah Tuhan yang selalu menjalankan perintah-Nya.
Kemudian, ditilik dari isi UU tentang hak asasi
manusia “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama
dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.” Sebenarnya perlu juga
dicermati bahwa pasal ini merupakan pasal yang berisikan hal-hal yang bersifat
multi-interpretatif dan bersifat utopia.
Saya berpendapat demikian, sebab pada kenyataannya
tidak setiap manusia menyadari apa itu hati nurani, bagaimana peran hati nurani
dalam pengambilan keputusan dalam hidup mereka, dan pertanyaan-pertanyaan lain
berkaitan dengan hati nurani. Kita mesti menyadari bahwa kita mempunyai
kepentingan-kepentingan tertentu ketika melakukan keputusan-keputusan dalam
hidup. Apakah kepentingan yang kita miliki itu juga mempengaruhi hati nurani?
Jadi, bagaimana perbedaan hati nurani mampu menyelaraskan kehidupan?
Kemudian dari poin yang kedua “Setiap orang berhak
atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.” Merupakan hal
yang sia-sia ketika hukum di Indonesia dan di dunia ini masih bersifat constructed.
Artinya hukum adalah produk dari penguasa, atau pihak yang menjadi ujung tombak
dari pihak mayoritas (maka dapat dibayangkan betapa besar kekuasaan yang
dimiliki oleh para pembuat hukum).
Hukum yang bersifat constructed inilah yang
membuat interpretasi hukum adalah terbatas. Dalam artian bahwa orang yang lebih
bebas berhak melakukan interpretasi terhadap hukum adalah orang yang
menciptakan hukum itu sendiri. Dan hampir dapat dipastikan ada rasa
ketidakdilan di dalamnya sebab seperti yang sudah dituliskan bahwa orang pasti
mempunyai kepentingan dalam melakukannya.
Kemudian dari poin ketiga yang isinya “Setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
tanpa diskriminasi.” Pasal ini menurut saya merupakan pasal yang paling
mendukung adanya LGBT, terlihat dari kata 'diskriminasi'. Diakui memang bahwa
orang-orang yang dianggap tidak normal (abnormal) memang seringkali mendapat
perlakuan diskriminatif.
Tetapi perlu dicermati dari kutipan berikut “Tapi
tidak semua perilaku yang menyimpang secara sosial bisa dianggap abnormal atau
terganggu secara psikologis. Sebagai contoh, banyak orang yang sampai sekarang
menganggap homoseksualitas sebagai hal yang menyimpang, meski hal itu tak lagi
digolongkan sebagai gangguan mental.” (Matsumoto, 2008:204)
Perlu ditekankan dari kutipan ini bahwa
homoseksual saat ini tidak lagi digolongkan sebagai gangguan mental. Maka
menjadi jelas di sini bahwa mereka tidak boleh mendapat perlakuan
diskriminatif, mereka harus mendapat perlakuan yang sama dengan manusia
lainnya.
Uraian di atas menjelaskan tentang keberagaman
sikap dan kontroversi mengenai LGBT jika ditilik dari dua sudut pandang yang
berlawanan. Keberagaman sikap dan kontroversi ini juga terjadi pada kepanjangan
tangan dari konsep LGBT, yaitu film yang bertemakan tentang LGBT. Tidak jauh
berbeda dengan kontroversi yang terjadi pada konsep LGBT, demikian juga yang
terjadi pada Q! Film Festival.
Tetapi perlu dicermati bahwa ternyata penerimaan
LGBT di dalam lingkungan masyarakat memang tidak mudah dilakukan. Di bagian
awal tulisan ini saya menuliskan bahwa negara liberal memang memberikan
kebebasan untuk mendukung adanya orang-orang LGBT yang akan menikah dan
berkeluarga, tentu dengan sesama kaumnya. Jika dikaitkan dengan negara yang
dengan kuat mewakili ideologi liberalisme, maka kita tentu sepakat bahwa tolok
ukur dari negara liberal adalah negara Amerika Serikat. Tetapi saya menemukan
kutipan yang cukup mencengangkan, demikian saya kutip:
“Saya orang yang tidak bisa menerima perkawinan
sejenis. Saya sudah pernah mengatakan bahwa hal itu bukan sesuatu yang langsung
dapat diterima oleh masyarakat. Menurut saya, dalam berbagai hal dan bagi
banyak orang, hal itu dapat membingungkan pemahaman mereka tentang perkawinan.
Namun, saya juga berfikir bahwa kita harus menciptakan persatuan warga sipil
untuk para gay dan lesbian yang memungkinkan mereka memiliki hak-hak dasar
sebagaimana orang lain.” ( Presiden AS Barrack Obama; dalam Lisa, 2008:63)
Meski dalam akhir kalimatnya Presiden Barrack
Obama berfikir untuk menciptakan persatuan antara warga sipil dan LGBT, tetapi
pada kalimat paling awal beliau menegaskan bahwa beliau tidak bisa menerima
perkawinan sejenis. Sebagai presiden pada negara liberal, pernyataan ini
sedikit menunjukkan kontroversi.
Fenomena ini mesti dicermati oleh negara
Indonesia, bahwa budaya baratpun ternyata juga tidak semua penganutnya menerima
adanya LGBT dan perkawinan sejenis. Tetapi tidak menerima bukan berarti
penolakan dengan keras, bahkan menolak film-film sebagai karya seni yang
menggambarkan realita tersebut. Dengan menciptakan persamaan hak dan
penghapusan kekerasan maka warga sipil dan orang-orang LGBT akan hidup
berdampingan. Maka tercapailah cita-cita hak asasi manusia dalam poin pertama,
yaitu hidup dalam persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, Moh Yasir.2004.Dekonstruksi Seksualitas
Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama.Yogyakarta: PT LkiS
Pelangi Aksara Yogyakarta.
Herlinatiens.2003.Garis Tepi Seorang Lesbian.Yogyakarta:Galang
Press.
Lisa Rogak.2008.Barack Obama in His Own Words.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Matsumoto, David.2008.Pengantar Psikologi Lintas
Budaya.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
McPhail, Thomas L.2006.Global
Communication: Theories, Stakeholders, and Trends.Malden: Blackwell
Publishing
Sihite, Romany.2007.Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan.Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
Sutrisno, Mudji. ed. 2005.Teori-Teori Kebudayaan.Yogyakarta:Kanisius.
[maaf, ini tulisan lama, sekitar tahun 2010 atau 2011. saya sedang membongkar file di komputer milik orangtua]
No comments:
Post a Comment