Skip to main content

Jawa Ireng


(salaman)
Mas e negro? Papua?
Dudu.
Timur?
Dudu.
Ambon?
Dudu. Aku Jawa asli.
Ah, mbel. (tidak percaya)
Wah, ibue ki ra ngandel (tidak percaya). Aku ki Jawa mung luwih ireng tinimbang liyane. 
(dan bibir saya lebih tebal dari Jawa yang lain -- keturunan dari orang tua)



(pembicaraan dengan seorang pemilik warung di Desa Girimulyo, Kec. Panggang, Kab. Gunungkidul)

Saya jadi bertanya-tanya dalam hati.
Apakah dia perlu mencecar saya dengan pertanyaan itu (tebakan salah pula) ?
Apakah dia perlu menyatakan ekspresi ketidakpercayaan bahwa saya orang Jawa?
Apakah orang Jawa tidak boleh hitam dan berbibir tebal?
Lalu...kalau saya memang negro atau papua atau flores atau ambon, njur ngapa alias terus kenapa?

Tentu saya tidak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan itu,
atau seharusnya saya sampaikan ya?

Ini bukan hal yang sepele lho, buat saya ini menarik untuk dipikirkan.
Saya jadi penasaran ingin menggali apa yang ada di pikiran ibu itu (dan budaya yang membentuk pikiran dia) tentang orang berkulit hitam.

Setahu saya dalam dunia wayang warna hitam punya makna yang tidak buruk. Lihat tokoh Bima, dia punya wajah hitam. Maknanya adalah kematangan dalam kebijaksanaan, berwatak luhur, bertanggungjawab, dan sebagainya.

Tentu saya bukan Bima yang jiwanya matang,
tadi hanya sebagai contoh saja bahwa hitam bisa dimaknai seperti itu.

Hai, orang hitam. Tidak perlu terlalu bangga jadi orang hitam, tidak perlu terlalu malu juga jadi orang hitam.

Comments

  1. Hai orang lambe tebal. Tidak perlu bangga jadi lambe tebal, tidak perlu terlalu malu juga punya lambe tebal *hanya menambahkan* >:D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.