via initempatwisata.com |
“dab” yang digusur
“nda”—sebuah catatan
supra merah itu tak lagi
menggilas jalan godean. tidak juga menyayat aspal jakarta seperti tiga tahun
lalu denganmu. dia kini ngeden
menapaki tanjakan dan turunan licin di karangrejo hingga pawiyatan luhur.
“seperti perjalanan ke basecamp pendakian..” katanya.
bagaimanapun jalanan di
sana dan di sini masih sama saja. pagi padat, sore tersendat. bersama pekerja
yang terpaksa meninggalkan bantal pagi-pagi betul. mereka yang pulang lalu
tergesa bercinta meski bau debu-asap.
juga bersama sopir-sopir
angkutan yang gemar senggol sana-sini. meninggalkan pisuhan seiring rem yang
berhasil menghenti laju.
soal burjoan, dia bukan
raja di sini. adalah warteg, yang menancapkan bendera dengan mantap. tak jadi
soal. telur dadar-sayur-kering tempe adalah mewah. bolehlah hapus sejenak
istilah “nastel” di kamus.
jatingaleh tak pernah seperti
besole raya yang bersahabat meski sunyi. kendaraan besar melintas tiap waktu.
tapi bisingnya tol tidaklah seberapa dibanding basahnya desahan suaramu di
kuping kiriku.
yang jelas, dia juga tak
seriuh rapalan-rapalan doa yang kau ucap tiap malam sambil terpejam.
Semarang
2017