Selasar lantai tiga kampus tiga Universitas Atma Jaya Yogyakarta kala itu
tampak sepi. Di kursi-kursi panjang itu terlihat beberapa mahasiswa berpakaian
atasan putih dan bawahan hitam. Beberapa dari mereka memegang setumpuk kertas
putih dengan muka gelisah yang ditenang-tenangkan. Namun siapa mengira, ada
perjuangan “hidup-mati” rentetan mahasiswa dalam ruangan-ruangan di sana.
Sendirian mencari sesosok makhluk hitam yang sedang disidang, aku tak kunjung menemukannya. Hingga akhirnya terlihat tas hitam yang kukenal. Anehnya, tak ada yang menjaga tas itu. Sangat lain dari mahasiswa lain yang sedang sidang, si pemilik tas tak ada yang menunggu. Aku yakinkan diri untuk duduk di sebelah tas itu. Lima menit kemudian keyakinan terbukti benar.
Pintu ruangan depanku persis terbuka perlahan. Makhluk hitam membuka pintu dengan agak gemetar dan pucat. Wajahmu kala itu sangat kampret. Serius.
“Gimana, bos?”
“70 persen, bos. 70 persen aku ngulang sidang,” katamu
sambil geleng-geleng kepala. Bibir yang pucat kering itu tersenyum kecut.
“Ah, taik.”
***
Itulah dirimu, Gida. Pemuda Jakarta Pamulang satu ini memang seringkali terlihat tak percaya diri dengan
kemampuannya. Ujung-ujungnya kau lulus sidang skripsi dengan revisi.
Revisinya banyak? Tidak. Materi revisi itu sebenarnya sudah ada di tulisanmu.
Hanya saja kau tak mampu menunjukkan ketika ditanyai dosen penguji. Bukan
begitu ceritamu?
Kau memang banyak menyembunyikan kemampuan. Satu-satunya yang dibuat
menonjol adalah ketika bermain sepak bola. Kemampuan berlari, menggiring, dan
menjebloskan bola ke gawang lawan jangan lagi diragukan. Tapi itu dulu, enam
hingga sembilan tahun yang lalu. Ketika kita sama-sama masih nyantri di
Muntilan. Ketika fisik masih prima dan otot perutmu terukir jelas.
Sekarang? Bisa lari keliling Tambakboyo seputaran saja kita patut
bersyukur. Lantas kita syukuran dengan bergelas-gelas es kopi dan asap pekat.
Tak lupa kita menertawakan nasib naas kita, bersama Dicky dan Bayu, dua kekasih
setiamu itu.
Hampir sepuluh tahun mengenalmu, aku tahu apa yang lebih darimu. Kamarmu
selalu rapi, bung. Setidaknya bila dibandingkan dengan kamarku.
“Sebenarnya nggak rapi, bos. Cuma yang berantakan itu gue tutupin,” ujarmu merendah.
Namun memang aku melihat banyak tirai ungu di mana-mana. Tirai yang kau
buat sendiri dari seprei bekasmu. Seprei beraroma sp*rma kadaluarsa dan
keringat lelaki dewasa.
Kamarmu yang rapi itu selalu jadi tempat tidurku. Di kontrakan kalian dulu,
selalu ada ruang luas di bagian tengah yang bisa kupakai tidur. Namun aku
selalu pilih merebah di kamarmu. Dengan bantalmu yang agak keras, aku selalu
terlelap. Semilir halus angin dari kipas kecil di ujung kamar turut menyumbang
lelapku itu. Lalu pagi-pagi sekali aku membangunkanmu—yang semalaman tidur di
sampingku.
Oh ya. Puji Tuhan, lubang pantatku masih baik. Entah dengan milikmu.
***
Sejak semester pertama di asrama, kita sudah akrab. Seingkatku, kau teman
pertama yang menginap di rumahku. Lalu suatu saat kita beli MP3 player di
Ramai. Barang itu masih tergolong mewah dan populer kala itu. Lumayan, bisa
untuk menemani mencuci dan setrika baju di asrama. Dari lagu-lagu yang kau
jejalkan, aku tahu kita sama-sama penikmat Sheila On Seven.
Lagu-lagu Sheila lalu sering jadi lagu pengiring kisah cinta kita
masing-masing. Tentang cinta yang tumbuh tanpa kendali di ladang orang. Kau
dengan dia (dan dia), aku dengan mereka dia yang lain lagi. Di kamarmu yang rapi itu kau sering bercerita sambil
aku memetik gitar lagu Sheila. Kalau aku yang bercerita, cerita itu kututup
pula dengan lagu-lagu mereka. Hingga kini, banyak lagu Sheila yang membuatku
teringat masa-masa di kamar tidurmu.
Kamarmu itu ruang serba guna, bung. Kamarmu tak hanya tempat kau berjibaku
dengan gadis-gadis lugu. Atau tempat singgah Bayu sepulang dari kantor, sebelum
dia ke kamarnya sendiri. Sebenarnya, kamarmu tak lebih dari tempat sampah
berton-ton abu daun kita berbanyak. Abu yang muncul bersama dengan permainan
kartu yang bikin kita tertawa hingga perut sakit. Abu yang sama yang menemani
omong kosong kita tentang masa depan.
Ya, tentang masa depan. Tentang umur berapa kita masing-masing akan meninggalkan masa lajang.
Tentang sepeda motor BSA yang akan kau beli sebelum uangmu habis untuk beli
susu anak. Juga tentang hal penting macam: bagaimana menyembunyikan folder film
porno di komputer kita. Kau menamainya “semi”, sedang aku menamainya “project.”
***
Soal kekuatanmu yang lain, aku sudah tahu sejak dulu. Kau adalah pendengar
yang baik. Setidaknya bila dibandingkan denganku. Aku hanya bisa tertidur
ketika Chaki curhat. Ketika Chaki selesai bercerita lantas aku bangun dan
bertanya (atau menyimpulkan?), “Dadi sajane masalahe wis rampung to?” Ya
bagaimana lagi. Lampu kamar kala itu sengaja mati, dan satu-satunya cahaya
adalah dari lilin kecil yang kita nyalakan di tengah.
Serius. Kau kadang juga lebih dari sekadar pendengar yang baik. Bagiku, kedua
telingamu adalah tempat terbaik untuk mengisahkan drama-drama percintaan remaja
yang asu bajingan marai sedih aku alami. (nyumet sik...) Pertama-tama kau akan memahami sudut
pandangku. Kedua, kau akan menyatakan pandanganmu. Ketiga, kau akan memberikan masukan.
Semua itu kau lakukan tanpa sedikitpun aku merasa sikap kita berhadap-hadapan.
Hingga kini kau masih menawarkan diri jadi pendengar yang baik. Jarak kita
saat ini terpaut 550an kilometer. Secara berkala kau menanyai bagaimana
kabarku, juga bagaimana kabar ibuku yang sedang sakit. Aku juga sering
menanyaimu. Setelah kau berhasil menjalankan nadzarmu untuk donor darah setelah
lulus sidang, bagaimana kisah pencarian kerjamu?
Berkali-kali aku bilang kalau pekerjaan itu jodoh. Mau sebagus apa kualitas
dan kapasitas seseorang, ya dia tak akan diterima kalau perusahaan tak butuh.
Barangkali dari perspektif ajaran agama, kita hanya bisa berjuang keras dan
memohon agar Tuhan memberikan yang terbaik. Sebenarnya tanpa berjuang keras pun
Tuhan akan memberikan yang terbaik—kalau Dia memang berkenan.
Contohnya?
Seperti yang aku alami ini, bung. Aku tak pernah berjuang keras menjadi
orang super baik, tapi dia memberikan kepadaku kalian, teman-teman yang sangat
baik. Kau adalah satu dari mereka yang baik-baik itu, bung.
Maka angkat dagumu segera! Kamu orang berhati baik yang akan selalu
mendapat hal baik di hidupmu. Soal hari ini usiamu sudah seperempat abad, mari
kita berbahagia. Semogalah kebahagiaan itu selalu jadi santapanmu setiap hari.
Selamat ulang tahun !