Pekan lalu muncul berita ironis di TribunSumsel.com. Berita itu berjudul “Kesal
Perawat Digoda, Dokter Pukul Pasien Sekali Tinju Hingga Tewas.”
Pada berita tersebut dinarasikan bahwa sang dokter dari Rusia memukul pasien
karena dianggap telah menggoda perawat. Terasa tipis aroma seksualitas pada
berita ini, yang lalu banyak dibaca dan di-like oleh jutaan pembaca
dalam hitungan menit. Isu seksualitas secara umum memang sensitif secara
kultural, sehingga sering mendapat perhatian meski sepintas saja (Mc Bride et
al, 2007).
Namun berita tersebut rupanya hoax. Ada beberapa versi mengenai
asal istilah hoax, tetapi secara umum disepakati bahwa hoax adalah
informasi yang bohong, palsu, atau tak sesuai kenyataan. Berita mengenai
kebohongan yang disebar oleh sebuah media online korporasi yang besar tentu
menjadi ironi—bila tak disebut tragedi. Parahnya, ini adalah fenomena gunung
es. Sangat terasa ketika serangan teroris “Bom Thamrin” pekan lalu informasi
tersebar begitu cepat tanpa kita bisa mengkonfirmasi. Meminjam gagasan Bucy
(2011), di era digital ini kita memang lebih cepat memproduksi informasi dari
pada mengonsumsinya.
via hoax-slayer.com |
Berita baiknya, resistensi akan
kepalsuan itu juga muncul dari media sosial sendiri. Sebut saja salah satu yang
aktif mencerahkan benak publik dari hoax itu adalah komunitas dan halaman
Facebook bernama Indonesian Hoaxes yang juga memiliki website. Dengan tagline “Membongkar Kebohongan dan
Mengekspos Penipuan” mereka bekerja secara sistematis untuk memeriksa kebenaran
sebuah informasi.
Untuk kasus berita di atas,
misalnya, mereka awalnya melakukan pembacaan ulang dari sumber berita.
Langkah awal ini digunakan terutama untuk berita-berita yang hanya
diterjemahkan dari situs web di luar negeri. Dari langkah pertama saja mereka
bisa menemukan kesalahan. Langkah kedua adalah mencari data bandingan dari
sumber lain yang lebih kredibel dan memberitakan kelanjutan dari berita
tersebut. Akhirnya mereka menemukan data hasil investigasi kasus tersebut
yang mengatakan bahwa bukan godaan yang memicu dokter naik pitam dan memukul,
tetapi karena pasien menendang perawat terlebih dahulu.
Di tengah angka 93,4 juta
pengguna Internet di Indonesia (tahun
2015) kita boleh merasa optimis lantaran masih ada segelintir pengguna
yang menunjukkan upaya cerdas untuk mencerahkan benak publik. Tindakan yang
dilakukan oleh Indonesian Hoax ini sejalan dengan apa yang disebut Jeremy Keeshin sebagai ‘pembacaan kritis’—yang
menurutnya jauh lebih penting dari kebenaran dalam media. Gagasan pembacaan
kritis ini diawali dengan selalu mempertanyakan informasi yang masuk dalam
benak kita. Setelah itu informasi diletakkan dalam konteks pengetahuan anda,
sembari tetap memegang prinsip bahwa sebuah pesan terletak pada apa yang ‘tidak
dikatakan’ oleh pengirim pesan.
Kendati optimis, masih ada
persoalan penting yang mestinya dituntut oleh warga, yakni kegagalan (media
dalam proses jurnalisme. Penyebaran berita hoax oleh media online korporasi
adalah tanda kesuraman kualitas media kita. Sebagaimana dituliskan Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel, disiplin verifikasi adalah pembeda dari
jurnalisme dengan berita hiburan, propaganda, fiksi, dan sebagainya. Verifikasi
dari informasi idealnya sudah dilakukan di proses jurnalisme sejak awal, mulai
dari wartawan di lapangan hingga redaktur di atasnya. Verifikasi yang dilakukan
oleh warga digital macam tadi sepantasnya jadi cambukan keras bagi
redaksi-redaksi media di Indonesia untuk memperbaiki kualitas pemberitaan.