Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk
di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di
lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia
menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia
tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya.
Bagi saya, itu adegan
terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah
mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007.
Pertengahan tahun 2007
itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan,
terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu
ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah
dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau.
“Sesuk natalan bareng ya
mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka.
Diam-diam saya mendengar
obrolan lirih yang sedih dan singkat. Obrolan tentang harapan sekaligus rasa
pesimis yang beradu. Dilihat dari sakit yang dialami saat itu, bisa kembali
natalan bersama keluarga adalah sebuah keajaiban. Belakangan saya baru sadar,
keajaiban itu terus saja terjadi hingga awal Maret 2015 lalu.
○○○
Pertengahan tahun 2012
saya magang kerja di Jakarta. Kebetulan saat itu Budhe Rini, yang tinggal di
Bekasi, harus masuk rumah sakit di daerah Jakarta. Bertiga, Pakdhe Tanto,
bapak, dan saya, naik mobil menyusuri jalan-jalan besar di Ibukota. Ketika
lewat tol, mau tak mau mobil Xenia yang kami tumpangi harus melaju di atas 80 km/jam.
Agak menegangkan, karena Pakdhe Tanto yang memegang kemudi mobil 1.000 cc itu.
Mengapa harus
menegangkan?
Tahun 2007 terdeteksi
ada tumor yang mendesak otak kanan Pakdhe Tanto. Desakan itu sampai membuat
garis tengah otaknya tidak terlihat. Pakdhe Tanto lalu menjalani pengobatan,
yang memang membuatnya ‘sembuh’ hingga empat tahun kemudian.
Menjelang perayaan 20
tahun ditahbiskan (2011), Pakdhe Tanto berencana berangkat ke Amerika Serikat.
Namun sayang, beberapa saat sebelum berangkat, keluarga mendapati hal-hal
ganjil yang dialami Pakdhe Tanto. Misalnya, tertidur dengan cepat, koordinasi
gerak yang tidak baik, dan sebagainya.
Keluarga memutuskan
untuk memeriksakan Pakdhe Tanto. Hasilnya mengejutkan. Rupanya ada desakan lagi
di dalam kepala, tapi kali ini wujudnya adalah cairan. Dokter memutuskan untuk
melarang Pakdhe Tanto berangkat ke Amerika Serikat. Beliau juga melakukan bedah
untuk memasang semacam selang untuk mengalirkan cairan yang ada di dalam
kepala.
Dengan kondisi kesehatan
otak yang demikian, Pakdhe Tanto rupanya masih sering bepergian sendiri naik
mobil di Jakarta. Dia memang mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF)
Driyarkara. Namun, beberapa aktivitasnya juga mengharuskan dia bepergian
mengendarai mobil, termasuk mengantar bapak dan saya menjenguk Budhe Rini
seperti saat itu. Inilah yang menegangkan dan membuat keluarga khawatir kalau
terjadi apa-apa di jalan.
Perjalanan menjenguk
Budhe Rini itu sangat berkesan bagi saya. Setidaknya saya melihat sifat Pakdhe
Tanto yang ‘mental juara’ banget. Bagaimana tidak? Pakdhe Tanto naik mobil
menggilas jalan-jalan di Jakarta dengan kondisi demikian. Di perjalanan, kami
bahkan ikut terjebak macet di Pasar Tanah Abang selama lebih dari sejam.
Akibat lelah karena macet itu, kami beberapa kali salah jalan. Akhirnya
kami mampir dulu untuk makan di foodcourt sebuah mall.
Setelah makan, saya
mengira akan langsung pulang saja. Ternyata tidak. Pakdhe Tanto masih mau
mencoba sekali lagi. Singkat kata, dia berhasil! Kami sampai di tempat Budhe
Rini dengan membawa cerita dan keyakinan: Pakdhe Tanto punya mental juara!
○○○
Rupanya “Sing Gawe Urip”
masih memperkenankan Pakdhe Tanto unjuk kekuatan mentalnya. Bukan untuk
sombong, melainkan untuk menginspirasi kami yang masih bau kencur ini.
Bertahun-tahun Pakdhe Tanto bertahan dengan sakitnya. Secara rutin dia datang
ke Yogyakarta untuk melakukan pengobatan. Secara rutin juga ibu mengirimkan
obat-obatan dari Yogyakarta ke Jakarta. Beberapa kali saya yang diminta
membungkuskan dan mengirimkan obat-obatan itu ke Jakarta lewat perusahaan
pengiriman.
Menjelang akhir tahun
2014, keluarga mengalami guncangan. Pakdhe Tono, adik dari Pakdhe Tanto, harus
masuk rumah sakit karena selama sekitar tiga tahun ini mengidap sakit kanker
darah (Suatu saat akan saya kisahkan pengalaman dengan Pakdhe Tono di tulisan
lain). Hanya sepuluh hari di rumah sakit, Pakdhe Tono akhirnya dipundhut
Gusti.
Keluarga amat sangat
bersedih, tak terkecuali Pakdhe Tanto. Lelaki berbadan tinggi besar dan
biasanya terlihat gahar itu tidak mampu menyembunyikan kesedihan di mukanya.
Ketika turut memimpin ekaristi pemberkatan jenazah di Kapel Seminari Tinggi
Santo Paulus, Kentungan, saya melihat Pakdhe Tanto terus saja menangis di
altar.
Belakangan baru saya
tahu kalau saat itu kondisi kesehatan Pakdhe Tanto sedang buruk. Kondisi yang
begitu buruk, ditambah kesedihan ditinggal oleh adiknya, membuat Pakdhe Tanto
harus dirawat di rumah sakit. Rentang waktu antara Pakdhe Tono meninggal dan
Pakdhe Tanto masuk rumah sakit itu tidak lama, kira-kira seminggu.
Hasil pemeriksaan kali
ini menambah guncangan di hati keluarga. Sel tumor yang disangka telah mati
karena pengobatan tahun 2007 lalu ternyata kini sangat aktif dan mendesak otak
kanan lagi. Hal ini membuat koordinasi gerak tubuh bagian kiri menjadi lemah.
Itulah mengapa ketika pemakaman Pakdhe Tono, Pakdhe Tanto terlihat berjalan
miring dan cenderung menyeret kaki kiri ketika berjalan.
Keluarga lalu mencari
cara pengobatan yang terbaik. Pakdhe Hari, yang seorang Profesor di Kedokteran
UGM, akhirnya memutuskan membeli obat kanker di Malaysia. Dengar-dengar, obat
itu memang tidak ada di Indonesia. Akhirnya pengobatan dilakukan kepada Pakdhe
Tanto. Segala risiko pengobatan siap ditanggung.
Entah karena pengobatan
atau karena memang sakit pada organ otaknya, Pakdhe Tanto selalu menjadi kacau
setelah obatnya dimasukkan. Dia sering berhalusinasi dan memorinya
tercampur-campur. Suatu saat dia menonton televisi dan melihat pembaca acara
sedang bicara. Tiba-tiba dia bilang,
”Itu orang Indonesia itu.”
Pakdhe Tanto merasa saat
itu dia sedang tidak berada di Indonesia. Memang dia sempat tinggal di Amerika
Serikat beberapa tahun, dan rupa-rupanya pengalaman itu sangat berkesan dan
membekas di ingatannya.
Kadang kacau, kadang
kembali normal. Suatu saat saya pernah ditanyai dalam bahasa Jawa.
“Kamu ngapain ke sini?”
saya tidak mau bilang sedang menjenguk pakdhe,
takut dia sadar kalau dirinya sedang sakit
“Em.. menjemput ibu, pakdhe.”
“Ibumu kenapa?”
"Ibu kerja, Pakdhe.”
“Oh.. ibumu kerja di mana?”
“Kerja di Panti Rapih.”
“Panti Rapih itu di mana?”
“Di Jogja.”
○○○
Pembicaraan tersebut
berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang agak menggelikan, meski saya sukar
tertawa karena melihat penderitaan pakdhe kala itu. Dia berpikir tidak sedang
di rumah sakit Panti Rapih. Dan dia berpikir Panti Rapih itu bukan di Yogyakarta.
Dia juga pernah bertanya
ke saya.
“Tonijo neng endi iki Tonijo? Kok durung mrene. Isih neng Jogja kan?”
“Masih, pakdhe. Mungkin baru sibuk, habis ini pasti sempat kemari kok.”
Anda tahu Tonijo? Tonijo
adalah sebutan untuk Pakdhe Tono. Saya rasa hanya Pakdhe Tanto yang menyebutnya
demikian, ungkapan kedekatan sebagai sepasang kakak adik yang sama-sama menjadi
imam Katolik. Pakdhe Tanto agaknya lupa. Pakdhe Tono, yang dia harapkan
kedatangannya itu, sudah meninggal beberapa pekan lalu.
Namun, jangan salah,
bagaimanapun Pakdhe Tanto adalah seorang akademisi. Di STF Driyarkara dia
dikenal menguasai bidang Antropologi. Teori-teori sosial dan budaya sudah
merasuk, terutama sejak pendidikannya di Amerika Serikat beberapa tahun
lalu.
Suatu saat saya
menunggui Pakdhe Tanto di rumah sakit sambil belajar. Waktu itu kebetulan saya
sedang baca Teori Sistem yang digagas Talcott Parsons. Rupanya pakdhe mengerti
teori-teori yang diajarkan Parsons, lalu mulai menguliahi saya sambil tiduran
di atas tempat tidur rumah sakit. Tentu hanya beberapa menit, lalu tertidur.
Ketika terbangun, dia
langsung mengajar lagi, kali ini bukan tentang Parson. Ibu, yang saat itu
berada di dekatnya, bingung dan bertanya pelan ke saya,
”Iki pakdhe ngendika apa?”
○○○
Pakdhe Tanto sedang
unjuk kekuatan mental. Atau ini adalah keajaiban seperti yang saya tulis di
atas? Entah. Setelah beberapa lama di bangsal Carolus, Pakdhe Tanto harus
dibawa ke ICU supaya perawatan bisa lebih intensif. Beberapa saat di sana,
pakdhe kembali ke bangsal. Karena kondisi membaik dan bisa dirawat di rumah,
Pakdhe akhirnya dibawa pulang ke rumah keluarga di Patangpuluhan. Pakdhe
dirawat di kamar yang dulu ditempati Eyang kakung di hari-hari akhirnya.
Di kamar itulah
pengalaman berkesan di awal tulisan ini terjadi.
Rasanya betul-betul
seperti keajaiban. Pakdhe Tanto yang beberapa bulan ini hanya bisa tiduran,
kini bisa berdiri di samping saya. Dia bisa tertawa ketika kami memujinya
“Hebat!”
Selama di Patangpuluhan
itu dia bisa mengikuti misa Natal di Ganjuran. Dia datang natalan
keluarga di rumah Pakdhe Hari, meskipun di kamar saja. Dia juga datang di midodareni dan
pernikahan kedua keponakannya. Meski sedikit kerepotan karena harus membawa
kursi roda dan sebagainya, saya yakin keluarga tidak berkeberatan dengan hal
ini.
○○○
Januari hingga Februari. Yogyakarta sering hujan, kadang disertai angin
kencang
Tidak lama berada di
rumah, keluarga mendapati hal-hal ganjil. Pakdhe Tanto mudah sekali tertidur.
Rasanya seperti tertidur terus sepanjang hari. Pandangan matanya juga
seringkali kosong. Hal ini membuat proses fisioterapi tidak berjalan lancar.
Keputusan akhirnya mantap, Pakdhe Tanto harus diperiksa lagi. Kalau perlu,
menginap di bangsal Carolus lagi.
Hasil pemeriksaan
membuat hati keluarga lagi-lagi runtuh. Obat kanker sangat keras yang diberikan
pada Pakdhe Tanto beberapa waktu lalu memang membuat tumornya hancur. Beberapa
saat memang kondisi Pakdhe Tanto terpantau membaik. Namun rupanya ada
segelintir sel tumor yang resisten atau ‘pintar’ ketika obat itu menyerang.
Intinya sel-sel tumor itu bisa bertahan, bahkan marah. Benar-benar marah.
Setelah pengobatan dihentikan, tumor yang marah itu tidak hanya mendesak otak
kanan, tapi juga otak kiri. Bahkan terancam juga mendesak batang otak, yang
berpotensi menyebabkan pasien menjadi gagal nafas.
Pakdhe Tanto masuk ICU.
Dengan nada yang sedih sekaligus tegar, Pakdhe Hari menjelaskan apa yang
dialami Pakdhe Tanto ke saya.
“Kalau sampai mendesak batang otak, bisa gagal nafas. Kira-kira paling lama
bisa bertahan sampai tiga bulan,” jelas Pakdhe Hari.
Terlihat dia berusaha
tegar ketika mengatakannya. Saya hanya bisa menelan ludah, sambil menahan air
mata.
Bangsal Carolus kembali
menjadi tempat tidur Pakdhe Tanto. Saya termasuk keponakan yang jarang datang
ke sana. Namun, ibu saya hampir setiap hari tidur menginap menunggui Pakdhe
Tanto. Keluarga besar tahu bahwa Pakdhe Tanto ini punya hubungan khusus dengan
adiknya yang satu ini. Entah kenapa, rasanya lebih care, termasuk
ke Mbak Karin, kakak saya.
Sementara itu, keluarga
besar masih mencari alternatif tindakan yang mungkin dapat dilalui Pakdhe
Tanto. Mulai dari operasi, pemotongan pakai sinar, dan pengobatan-pengobatan
lain yang rasanya asing sekali buat saya. Mohon maaf kalau proses pengobatannya
tidak saya ceritakan dengan detil. Saya hanya bisa cerita banyak tentang apa
yang saya alami saja.
Di akhir hidupnya,
Pakdhe Tanto sudah jarang membuka mata. Dia makan melalui selang. Dia juga
jarang berbicara. Karena kerongkongannya berlendir, suara Pakdhe Tanto ketika
bicara malah terdengar seperti geraman. Awalnya saya merasa ngeri. Seperti
orang marah, menggeram, tapi terasa lemah. Meski begitu, saya yakin, Pakdhe
Tanto bisa bertahan selama ini karena dia adalah Pakdhe Tanto.
Barangkali Gusti memberi
kesempatan ke Pakdhe Tanto untuk mengajari kami—yang masih hidup—agar membangun
mental baja macam dia.
○○○
Suatu Minggu pagi, 1
Maret 2015. Minggu pagi biasanya indah, tidak kali ini. Ibu, yang malam
sebelumnya bisa pulang ke rumah, ditelepon untuk segera datang ke rumah sakit.
Kami segera mandi dan berangkat. Ban mobil baru menggelinding beberapa meter,
telepon kembali berdering. “Mas Tanto wis dipundhut,” kata Budhe Tini di ujung
telepon.
Seketika ibu menangis.
“Mas Tanto kok ora ngenteni aku..” katanya tersedu.
○○○
Pakdhe Tanto sudah
kembali ke rumah yang abadi. Rumah yang selama hidupnya dia wartakan melalui
berbagai cara. Dia sudah bertemu Tonijo, sosok super sederhana yang dia cari
selama sakitnya. Mungkin mereka sedang ribut-ribut sekarang. Pakdhe Tanto
mungkin sedang memarahi adiknya yang masih saja merokok sambil melukis wajah
cantik Bunda Maria.
Pakdhe Tanto sudah
bertemu bapak dan ibunya. Keduanya meninggal dan dimakamkan tanpa kehadiran
dirinya. Mungkin Pakdhe Tanto, Eyang Putri, dan Eyang Kakung sedang mengobrol
santai di teras rumah. Sambil ngeteh, atau sambil minum Fanta hijau kesukaan
Eyang Putri. Sesuatu yang sepertinya jarang dilakukan di perjalanan ini.
Bagi saya, Pakdhe Tanto
meninggalkan narasi tentang mental juara. Tentang sikap hidup yang tetap
bergairah meski lemah, tetap mendongak ketika dihajar dunia, tetap berharap
meski peluang itu sangat kecil atau bahkan tak ada.
Semoga bahagia, Pakdhe
Tanto. Selamat menonton sepak terjang keluargamu dari jauh. Jangan lupa
berteriak menyemangati kami ketika kami jatuh tersungkur. Sampai bertemu lagi
di sana :’)
Dari Ryan,
keponakan.