Gambar diambil dari intisari-online.com |
Jumlah tandatangan petisi online di situs Change.org melejit
pesat. Fenomena ini terjadi di tengah jagat politik yang kian kisruh dan warga
yang makin melek internet. Teknologi ini membuka ruang partisipasi warga lebih
luas. Bermodal perangkat komunikasi dan jaringan internet di tangan, mereka
bisa terlibat secara politis dan menyebut diri mereka: aktivis.
Apa yang diperjuangkan oleh para aktivis online ini? Tujuan
perjuangan bisa jadi sangat luas, yang jelas mereka bekerja pada isu-isu
publik. Isu tersebut mencakup urusan politik hingga lingkungan. Mulai dari
memperjuangkan Pilkada langsung untuk periode berikutnya, hingga memperjuangkan
rakyat yang menderita akibat perusahaan-perusahaan tambang. Isu mereka
bisa begitu beragam dan membutuhkan partisipasi publik yang luas agar
perjuangan tersebut berhasil.
Change.org mencatat isu politik sebagai isu yang paling banyak
diperjuangkan pada tahun 2014. Mudah dipahami ketika melihat adanya pesta
demokrasi sepanjang tahun itu. Pesta tersebut mengundang sejumlah polemik dan
perdebatan di antara banyak pihak yang lalu menarik minat publik untuk turut
berpartisipasi. Namun sebenarnya bukan hanya isu politik yang diperjuangkan.
Tahun 2013 lalu mereka mencatat isu yang paling populer adalah isu lingkungan
dan kelestarian hewan langka, seperti sejumlah gajah yang mati tanpa gading.
Kecenderungan yang muncul akhir-akhir ini adalah petisi yang makin
sering dibuat dan makin sering berhasil. Petisi online adalah salah satu wujud
gerakan sosial yang punya tujuan dan tuntutan. Seperti yang sudah disinggung,
ada petisi penolakan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Petisi tersebut
ditujukan kepada Presiden Jokowi, yang belakangan memang menunda pelantikan.
Sebelumnya, ada petisi ke tujuan yang sama mengenai masalah asap di Riau yang
sangat mengganggu kesehatan. Petisi tersebut juga dianggap berhasil, meski
dengan catatan harus tetap dipantau bersama.
Menariknya, petisi seakan-akan adalah peluang baru bagi
partisipasi warga dalam politik. Padahal sebetulnya kita sudah mengenal bentuk
partisipasi publik (atau dalam konteks ini “perlawanan”) sejak Indonesia belum
berdiri. Sejarah mencatat ada petisi Soetardjo pada bulan Juli 1936 yang
ditandatangani oleh sejumlah tokoh nasional. Petisi ini dibuat oleh Soetardjo
Kartohadikoesoemo untuk Ratu Wilhelmina dan parlemen di Belanda atas kebijakan
yang merugikan bangsa ini.
Benak publik juga harus diingatkan tentang Petisi 50 pada Mei 1980
yang ditandatangani lima puluh tokoh nasional berpengaruh. Petisi ini adalah
dokumen yang mengkritik penggunaan filsafat Pancasila sebagai senjata politik
Presiden Soeharto kala itu. Hal penting yang juga mereka kritik adalah
pandangan bahwa kritik terhadap presiden adalah kritik terhadap ideologi
Pancasila. Kedua petisi tadi punya nasib berbeda dengan petisi yang baru-baru
ini. Meskipun sudah didukung dengan kuat, termasuk dukungan media massa,
rupanya kedua petisi tadi tidak berhasil.
Mengingat betapa semangat ini sudah dimulai oleh para pendahulu
bangsa, penulis bermaksud mendorong warga untuk melanjutkan semangat itu dengan
berpartisipasi dalam petisi online. Dengan menggunakan internet, petisi dapat
ditandatangani oleh warga dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat. Ada
beberapa argumentasi yang patut dipertimbangkan untuk itu.
Pertama, penandatanganan petisi adalah salah satu wujud dari
semangat demokrasi: pengaturan rakyat oleh rakyat. Selain bermaksud melakukan
tekanan publik, penyerahan petisi pada suatu pihak adalah salah satu bentuk
pengujian reputasi pihak tersebut. Artinya, reputasi suatu lembaga atau seorang
penguasa akan dipertanyakan ketika puluhan ribu tanda tangan (dukungan) itu
tidak ditanggapi dengan perubahan yang diharapkan. Asumsinya, semakin banyak
tanda tangan, semakin besar pula relevansi isu tersebut dengan kemaslahatan
orang banyak.
Selain itu, wujud berdemokrasi warga memang sepatutnya tidak
berhenti di bilik suara. Demokrasi tidak berhenti pada pengamanatan kuasa
rakyat kepada pihak eksekutif dan legislatif pada pemungutan suara. Adalah
tanggungjawab warga juga untuk terlibat dalam urusan politik, sekecil apapun
itu. Pemantauan kinerja, pemberian kritik, dan diskusi suatu isu adalah
aktivitas terbaik yang bisa diberikan warga demokratis.
Kedua, dari segi hukum, pembuatan dan aktivitas penandatanganan
petisi ini sudah dilandasi oleh UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal
44. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang baik sendiri maupun bersama berhak
mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usul kepada pemerintah
dalam rangka pelaksanaan pemerintahan bersih, efektif, dan efisien, baik lisan
maupun tulisan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selain aktivitas tersebut menjadi legal dilakukan, dukungan konstitusi tak lain adalah komitmen dari negara untuk memberikan peluang bagi warga untuk berpartisipasi. Di sisi lain, partisipasi pantas dimaknai sebagai wujud tanggungjawab tiap warga negara. Partisipasi dalam politik artinya turut mengawasi dan mengontrol keputusan-keputusan yang perlu diambil untuk urusan publik.
Ketiga, penandatanganan petisi online ini relatif mudah dilakukan
karena menggunakan internet. Kemudahan ini paling tidak terletak pada aktivitas
warga mengakses informasi atas isu yang sedang diperjuangkan. Setelah mengakses
informasi, mereka juga bisa mengambil tindakan dengan turut berdiskusi dalam
forum online atau turut menandatangani petisi. Dengan internet, kedua aktivitas
bisa dilakukan nyaris tanpa biaya.
Penekanan biaya adalah hal yang juga disoroti para ilmuwan sosial.
Dibandingkan ketika belum ada internet, pergerakan sosial lebih memakan biaya
dan waktu untuk berkumpul, berkonsolidasi, dan aksi turun ke jalan. Keuntungan
lain yang disoroti dari penggunaan internet ini adalah penyebaran isu secara
masif dan relatif cepat. Misalnya, petisi tentang penolakan pengangkatan Budi
Gunawan tadi mencapai puluhan ribu tandatangan hanya dalam waktu dua hari.
Tentu secara praktik, fenomena petisi online tidak jauh dari
kritik. Misalnya, melanggengkan kesenjangan teknologi dan informasi di antara
daerah-daerah di Indonesia. Katakanlah, warga di Pulau Jawa relatif lebih muda
untuk mengakses internet dibanding dengan warga di pulau lain. Kesenjangan ini
berdampak pada isu lokal Jawa yang seringkali dinasionalkan. Sebaliknya,
isu-isu berurgensi tinggi di belasan ribu pulau lain berpotensi tidak tersentuh
oleh para aktivis virtual ini.
Meski demikian, kita tak boleh patah arang. Solusi akan datang
seiring aktivitas komunikasi yang makin rasional. Maka sebagai penganut negara
demokrasi, mari gunakan alat komunikasi kita untuk memperkaya wawasan dan turut
berpartisipasi dalam urusan publik. Jadilah aktivis! [selesai]
Tulisan ini dimuat dalam rubrik opini di Jogjakartanews.com
No comments:
Post a Comment