Skip to main content

Sana, Baca Dulu Sana..

Akhir-akhir ini saya sedang suka iseng baca tentang sosialisme. Mau tak mau komunisme ikut terbaca, meski sampai sekarang masih saja gagal paham.
 
Lalu saya iseng (lagi) gabung di grup Facebook yang bicara tentang komunisme. Anda yang masuk grup itu pasti akan merasa kalau tidak semua anggota grup itu sudah cukup baca tentang komunisme. Parahnya, mereka yang tidak cukup baca itu justru yang ramai memberi postingan. Indah dan memesona kan?

Namun, seperti biasa, saya hanya jadi pengamat. Mau nimbrung apa coba, yang dibicarakan mereka saja saya enggak ngerti. Ya, sedikit sih, tapi banyak luput pasti.

Masih dangkal sekali, tapi sebaiknya ada satu hal penting yang diketahui: komunisme tidak sama dengan atheisme.

Lantas apa penjelasannya? Apa bedanya? 
Baca dulu.

Kenapa sebagian besar dari kita berpikir mereka itu sama? 
Ya makanya, baca dulu!


Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.